tirto.id - Kerajaan itu telah berdiri selama 13 abad, dan kini dipimpin seorang ratu. Umpu Sekekhummong atau Ratu Sekerumong gelarnya. Sialnya, ratu ini adalah penguasa terakhir Kerajaan Sekala Brak sekaligus generasi pamungkas orang-orang Suku Tumi yang kerap diyakini sebagai leluhur asli orang Lampung.
Pada perjalanan abad ke-16 Masehi itu, Sekala Brak kedatangan rombongan tamu tak diundang. Mereka adalah empat pangeran Kerajaan Pagaruyung beserta pasukan dan pengikutnya. Pagaruyung yang berpusat di Batusangkar, Sumatera Barat, itu sudah menjadi kerajaan Islam. Sementara Sekala Brak masih menganut ajaran leluhur dan Hindu.
Ratu Sekerumong bertahan sekuat tenaga menghadapi serangan dari orang-orang Pagaruyung itu. Namun, upaya tersebut sia-sia. Kerajaan Sekala Brak akhirnya jatuh. Orang-orang Suku Tumi pun tercerai-berai, kabur ke segala arah demi menyelamatkan diri. Era baru di bumi Lampung pun segera dimulai.
Baca Juga: Salakanagara, Kerajaan (Sunda) Tertua di Nusantara
Eksistensi Kerajaan Suku Tumi
Nama dan penyebutan Sekala Brak punya banyak versi. Ada yang menyebutnya dengan istilah Sakala Bhra, Sekala Beghak, Segara Brak, hingga Skala Brak. Namun yang pasti, semuanya merujuk sebuah unit masyarakat yang didirikan Suku Tumi pada abad ke-3 Masehi. Pusatnya terletak di lereng Gunung Pesagi, dekat Danau Ranau, Lampung Barat.
Pendiri Sekala Brak diketahui bernama Raja Buay Tumi (William Marsden, Sejarah Sumatra, 2008). Sebelum mendirikan pemerintahan yang lebih tertata dalam konsep kerajaan, Buay Tumi adalah pemimpin orang-orang Suku Tumi.
Baca Juga: Siapakah Pribumi Asli Jakarta?
Orang Suku Tumi masih menganut ajaran nenek moyang sebelum berinteraksi dengan agama Hindu. Agama yang berasal dari India ini sudah masuk ke Lampung sejak abad ke-1 Masehi. Dengan kata lain, kedatangan Hindu mengakhiri masa pra sejarah di kawasan ini (Depdikbud Provinsi Lampung, Sejarah Daerah Lampung, 1997).
Itu artinya, Sekala Brak sedari mula didirikan merupakan kerajaan yang menganut agama Hindu meskipun ada pula rakyatnya yang memeluk ajaran Buddha serta kepercayaan lokal macam animisme atau dinamisme.
Ada sebuah pohon bernama Belasa Kepampang yang sangat disucikan oleh orang-orang Tumi di Sekala Brak. Pohon ini memiliki dua cabang, yaitu cabang nangka dan cabang sebukau, yang keduanya mengandung getah (R. Sudradjat, dkk., Sistem Pemajemukan Bahasa Lampung Dialek Abung, 1991).
Jika terkena getah cabang sebukau, orang bisa terkena penyakit kulit dan berbahaya apabila dibiarkan begitu saja. Namun, ternyata ada obatnya, yakni getah dari cabang nangka. Adanya dua cabang dengan dua getah yang bertolak belakang dalam satu pohon inilah yang membuat Belasa Kepampang dikeramatkan.
Kepercayaan ini tak hanya diyakini penduduk Kerajaan Sekala Brak saja, melainkan diterima juga oleh warga dari daerah lain yang bermukim di sepanjang aliran Way Komering, Way Semangka, Way Sekampung, Way Seputih, Way Tulangbawang, Way Umpu, Way Rarem, dan Way Besai (Teguh Prasetyo, Masa Lalu di Lampung Barat, 2005).
Baca Juga: Jejak Para Transmigran Jawa di Lampung
Bahwa kerajaan di lereng Gunung Pesagi itu dirintis Suku Tumi dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah peninggalan, seperti batu-batu, tapak bekas kaki, altar upacara, hingga tempat untuk eksekusi mati. Louis-Charles Damais (1995) dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara menyimpulkan, prasasti tersebut merupakan peninggalan Kerajaan Sekala Brak pada era Suku Tumi.
Kerajaan Sekala Brak bertahan sangat lama. Hingga akhirnya pada abad ke-16 M, tibalah empat pangeran dari Paguruyung yang ingin melebarkan kekuasaan dan berhasil mengalahkan Kerajaan Sekala Brak. Konsep kerajaan Hindu digantikan pemerintahan Islam yang disebut dengan istilah Kepaksian.
Sekala Brak: Dari Hindu ke Islam
Setelah berhasil menggulingkan Ratu Sekerumong selaku penguasa terakhir Kerajaan Sekala Brak, wilayahnya pun dipecah menjadi empat bagian. Masing-masing wilayah dimiliki empat pangeran Pagaruyung itu, yakni Inder Gajah, Belunguh, Sikin, dan Pak Lang (Ali Imron, Kuntara Raja Niti; Transkripsi Naskah Kuno dan Analisis Sejarah, 1991).
Mereka menyandang gelar sebagai Umpu Bejalan Di Way, Umpu Belunguh, Umpu Nyerupa, dan Umpu Pernong. Masing-masing Kepaksian tersebut memiliki wilayah, rakyat, dan adat-istiadatnya sendiri, serta mempunyai kedudukan yang sama.
Baca Juga: Melayu, Islam, dan Politisasi Pribumi ala Kolonial
Kehadiran orang-orang Pagaruyung itu sebenarnya tidak sekadar ingin menguasai wilayah Sekala Brak semata, melainkan juga sekaligus dakwah agama Islam di kawasan tersebut.
Maka itu, Belasa Kepampang yang sebelumnya sangat disucikan oleh orang-orang Suku Tumi ditebang. Kayu dari pohon Belasa Kepampang kemudian digunakan untuk membuat singgasana atau yang dikenal dengan istilah Pepadun.
Atas kesepakatan di antara 4 Kepaksian Sekala Brak, Pepadun ini disimpan dan baru dikeluarkan setiap kali ada acara penobatan pemimpin dari masing-masing Kepaksian. Pepadun sengaja disimpan untuk menghindari potensi perebutan kekuasaan antar-Kepaksian di kemudian hari.
Ditebangnya Belasa Kepampang juga menjadi titik balik memudarnya pengaruh orang-orang Suku Tumi di Lampung.
Tersingkirnya Suku Tumi tidak hanya disebabkan kehadiran orang-orang Islam dari Paguruyung. Ada faktor-faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya migrasi oleh orang-orang Suku Tumi, seperti perselisihan internal, aturan adat, hingga bencana alam. Mereka kemudian tersebar ke berbagai tempat di Sumatera, bahkan hingga ke pesisir Banten.
Baca Juga: Raja Banten, Sultan "Resmi" Pertama di Nusantara
Peradaban Sekala Brak berkembang pesat di bawah kendali empat Kepaksian tadi. Sekala Brak, misalnya, disebut pernah menjalin relasi dagang dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, bahkan dengan India dan Cina (Ahmad Yanuana Samantho, Atlantis Nusantara, 2015).
Sempat mengalami masa-masa sulit selama masa penjajahan Belanda, Kepaksian Sekala Brak ternyata tetap mampu bertahan melintasi zaman. Keturunan para pemimpin Kepaksian pun masih berusaha melestarikan adat dan budaya Sekala Brak kendati sudah tidak memiliki wewenang secara politik lagi.
Sejak 2014 lalu, diadakan Festival Sekala Brak. Selain untuk memperingati hari lahir Lampung Barat, agenda budaya ini diadakan untuk mempertahankan eksistensi Kepaksian Sekala Brak yang sebenarnya sudah muncul sejak awal Masehi di Lampung dengan segala dinamikanya, termasuk terusirnya Suku Tumi dari tanah asalnya sendiri.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS