tirto.id - Aurora adalah fenomena alam yang menyerupai pancaran cahaya yang menyala-nyala pada lapisan ionosfer, yang terlihat di Kutub Utara atau Selatan. Tampilannya mirip lampu warna-warni biru, merah, kuning, hijau, dan oranye bergeser dengan lembut dan berubah bentuk seperti tirai yang bertiup lembut.
Aurora terlihat hampir setiap malam di dekat Lingkaran Arktik dan Antartika, yang berjarak sekitar 66,5 derajat utara dan selatan Khatulistiwa. Aurora biasanya terjadi di terjadi sekitar 97-1.000 kilometer (60-620 mil) di atas permukaan bumi.
NASA menyebutnya sebagai pertunjukan cahaya yang indah di langit. Aurora memiliki nama berbeda di setiap kutub. Di Kutub Utara disebut aurora borealis atau cahaya utara. Di Kutub Selatan dinamakan aurora australis atau lampu selatan.
Momen sempurna saat melihat aurora yaitu malam hari. Padahal, fenomena aurora terjadi disebabkan oleh Matahari.
Momen Terjadinya Aurora
Dilansir dari National Geographic, aktivitas yang menciptakan aurora dimulai dari matahari. Matahari adalah bola gas super panas yang terdiri dari partikel bermuatan listrik yang disebut ion. Ion-ion yang terus mengalir dari permukaan matahari disebut angin matahari.
Saat angin matahari mendekati Bumi, bertemu dengan medan magnet Bumi. Tanpa medan magnet yang melindungi planet ini, angin matahari akan menerbangkan atmosfer bumi yang rapuh, sebagian besar angin matahari terhalang oleh magnetosfer, dan ion-ion, yang dipaksa mengelilingi planet, terus bergerak lebih jauh ke dalam tata surya.
Meskipun sebagian besar angin matahari terhalang oleh magnetosfer, beberapa ion terperangkap di daerah penahan berbentuk cincin di sekitar planet. Daerah ini, di wilayah atmosfer yang disebut ionosfer, berpusat di sekitar kutub geomagnetik bumi. Kutub geomagnetik menandai sumbu miring dari medan magnet bumi, terletak sekitar 1.300 kilometer (800 mil) dari kutub geografis, tetapi bergerak perlahan.
Di ionosfer, ion angin matahari bertabrakan dengan atom oksigen dan nitrogen dari atmosfer bumi. Energi yang dilepaskan selama tumbukan ini menyebabkan lingkaran cahaya berwarna-warni di sekitar kutub, disebut aurora.
Atau saat badai matahari menghampiri bumi, sebagian energi dan partikel kecil dapat bergerak menuruni garis medan magnet di kutub utara dan selatan menuju atmosfer bumi. Kemudian, partikel berinteraksi dengan gas di atmosfer bumi hingga menghasilkan tampilan cahaya yang indah di langit.
Aurora paling aktif terjadi saat angin matahari paling kuat. Angin matahari biasanya cukup konstan, tetapi cuaca matahari--pemanasan dan pendinginan--dapat berubah setiap hari.
Cuaca matahari sering kali diukur dalam bintik matahari (bagian terdingin dari matahari dan muncul sebagai gumpalan gelap di permukaannya yang panas). Suar matahari dan lontaran massa koronal dikaitkan dengan bintik matahari. Aktivitas bintik matahari dilacak selama siklus 11 tahun. Aurora yang cerah dan konsisten paling sering terlihat selama puncak aktivitas bintik matahari.
Beberapa peningkatan aktivitas angin matahari terjadi selama setiap ekuinoks. Fluktuasi reguler ini dikenal sebagai badai magnet. Badai magnet dapat menyebabkan aurora terlihat di garis lintang tengah sekitar musim semi dan musim gugur. Tak hanya di kutub, tampilan aurora juga telah terlihat sejauh selatan Semenanjung Yucatan di Meksiko.
Badai magnet dan aurora aktif terkadang dapat mengganggu komunikasi, menyebabkan terhambatnya sinyal radio dan radar. Badai magnet yang intens bahkan dapat menonaktifkan satelit komunikasi.
Warna Aurora
Warna aurora bervariasi, tergantung pada ketinggian dan jenis atom yang terlibat. Jika ion menabrak atom oksigen tinggi di atmosfer, interaksi menghasilkan cahaya merah.
Saat rona hijau-kuning, terjadi saat ion menghantam oksigen di ketinggian yang lebih rendah. Cahaya kemerahan dan kebiruan yang sering muncul di tepi bawah aurora dihasilkan oleh ion-ion yang menyerang atom nitrogen. Ion yang mengenai atom hidrogen dan helium dapat menghasilkan aurora biru dan ungu. Namun mata manusia jarang dapat mendeteksi bagian spektrum elektromagnetik ini.
Penulis: Desika Pemita
Editor: Yulaika Ramadhani