tirto.id - Kabupaten Donggala dan Kota Palu diguncang gempa. Beberapa saat kemudian tsunami menghantam kedua kota tersebut. Peristiwa pada Jumat (28/9/2018) petang itu telah menyebabkan ratusan korban jiwa. Gempa berkekuatan 7,4 magnitudo ini bukan yang pertama di Sulawesi Tengah.
Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dalam waktu 85 tahun terakhir setidaknya telah terjadi sepuluh kali gempa di provinsi ini, yakni pada 1927, 1930, 1938, 1994, 1996 (terjadi dua kali), 1998, 2005, 2008, dan 2012. Sejumlah gempa tersebut beberapa di antaranya disertai tsunami.
Sementara 159 tahun silam, di wilayah yang berdekatan dengan Sulawesi Tengah, yakni Sulawesi Utara, naturalis Alfred Russel Wallace mencatat pengalamannya merasakan gempa bumi ketika ia singgah di Rurukan, Tomohon.
Pada 29 Juli 1859 itu, gempa dengan skala rendah terus terjadi, dan sesekali guncangannya menguat yang menyebabkan warga berhamburan ke luar rumah. Ketika gempa berhenti, Wallace dan warga kembali masuk rumah. Tapi tak berapa lama mereka keluar kembali karena gempa berskala kuat lagi-lagi mengguncang.
“Perbedaan antara tragedi dan komedi sangat tipis di sini,” tulis Wallace.
Ia mengungkapkan itu karena gempa seolah-olah membelah dua sisi yang amat kontras. Di satu sisi, kekuatan alam yang dahsyat tengah mengancam jiwa. Di sisi lain, beberapa getaran ringan yang terbukti tidak berbahaya telah membuat warga berkali-kali keluar-masuk rumah, sehingga ia dan warga lain menganggapnya seperti permainan.
“Banyak di antara penduduk yang ikut tertawa geli bersama saya, walaupun sambil saling mengingatkan bahwa urusan ini sebenarnya tidak pantas ditertawakan,” tambahnya.
Empat belas tahun sebelum Wallace mengalami gempa di Tomohon, pada 1845 gempa besar juga mengguncang Minahasa yang mengakibatkan ribuan rumah rusak, puluhan korban jiwa, dan ratusan lainnya luka-luka.
Pertemuan Tiga Lempeng
Di Kepulauan Nusantara, Sulawesi adalah salah satu pulau yang paling rawan gempa. Pulau ini menjadi pertemuan tiga lempeng utama yang menimbulkan dampak geologi yang sangat kompleks dan beragam. Ketiga lempeng besar tersebut yakni lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat, lempeng Eurasia yang bergerak ke arah selatan-tenggara, dan lempeng yang lebih kecil yaitu lempeng Filipina.
“Karena mereka saling bergerak, saling tabrakan, akhirnya energinya terkumpul di beberapa tempat dan membentuk tekanan-tekanan, patahan-patahan. Lalu pada satu titik, kalau tidak kuat lagi menahan, ya energinya menjadi gempa bumi,” ujar Sukmandaru Prihatmoko, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).
Proses tumbukan antarlempeng itu, menurut Armstrong F. Sompotan dalam Struktur Geologi Sulawesi (2012), membuat Sulawesi seolah-olah dirobek oleh berbagai sesar seperti sesar Palu-Koro, sesar Poso, sesar Matano, sesar Lawanopo, sesar Walanae, sesar Gorontalo, sesar Batui, sesar Tolo, sesar Makassar, dan lain-lain. Berbagai jenis batuannya juga bercampur sehingga posisi stratigrafinya menjadi sangat rumit.
Dalam Gempa: Kumpulan Artikel Iltek TEMPO (2013) dijelaskan bahwa sekitar 30 juta tahun lalu, Sulawesi masih terpisah-pisah yang sebagian menempel di Pulau Kalimantan dan sebagian lagi menempel di Pulau Jawa. Pulau Sulawesi diperkirakan terbentuk pada 1 juta tahun silam.
Menurut Dina Anggraeni Sarsito, pengajar di Fakultas Ilmu dan Teknik Kebumian ITB, dalam buku tersebut, dari penelitian geodinamika diketahui bahwa daerah di sekitar tumbukan tiga lempeng itu— yang salah satunya membentuk Sulawesi—remuk.
“Tak ayal lagi, pulau-pulau di atasnya, seperti Sulawesi, Maluku, dan Halmahera, ikut menjadi carut-marut oleh sesar atau patahan kulit bumi. Wilayah itu terfragmentasi seperti remah-remah, dan tiap blok kecil itu bergerak saling melepaskan diri akibat jepitan dan hunjaman tiga lempeng yang mengelilinginya,” tulisnya.
Hal ini, menurut Dina, menjadikan wilayah Indonesia timur tempat yang paling rawan gempa dan tsunami.
Proses tumbukan ketiga lempeng yang membentuk Sulawesi, menurut Armstrong F. Sompotan, menyebabkan pulau ini memiliki empat buah lengan dengan proses tektonik yang berbeda-beda dan membentuk satu kesatuan mosaik geologi.
Mitigasi Bencana
Dihubungi Tirto pada Minggu (30/9/2018), Sukmandaru Prihatmoko menyampaikan bahwa kondisi Kepulauan Nusantara, khususnya Sulawesi yang rawan bencana gempa, membuat masyarakat dan pemerintah seharusnya menyadari hal tersebut dan membuat serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana.
“Yang aktif banyak sebetulnya, sesar Palu-Koro salah satunya. Makanya kita harus perhatikan,” ujarnya.
Salah satu upaya yang dibuat Sukmandaru bersama organisasi yang dipimpinnya adalah melakukan Ekspedisi Palu-Koro pada Agustus 2018. Menurutnya, tujuan ekspedisi tersebut adalah untuk memberikan penyadaran, baik kepada masyarakat maupun pemerintah, agar lebih mewaspadai potensi bahaya dari sesar tersebut dan segera melakukan mitigasi bencana.
Lebih lanjut ia mengutarakan bahwa mitigasi yang pertama adalah penyadaran masyarakat dan pemerintah tentang potensi bencana yang bersifat nyata. Jika hal tersebut telah berhasil, selanjutnya disampaikan cara-cara merespons bila terjadi gempa dan tsunami.
“Setelah tahu bahwa daerah kita adalah daerah rawan, kita tentu harus menyiapkan diri. Kalau bikin rumah di zona-zona yang dianggap rawan, ya harus mengikuti kode-kode bangunan, misalnya yang tahan gempa. Dan itu harus dipatuhi. Kepatuhan ini tidak hanya harus dilakukan oleh masyarakat, tapi juga oleh aparat-aparat pemerintah,” imbuh Sukmandaru.
Saat ditanya apakah selama ini pemerintah memperhatikan potensi bencana gempa di pelbagai tempat dan melakukan mitigasi dengan baik, Prihatmoko menjawabnya dengan nada prihatin.
“Biasanya kalau baru kejadian gini [pemerintah] akan sangat bagus, responsif. Tapi nanti kalau sudah lama, sudah tenang, ya mulai dilupakan lagi. Sebetulnya itu yang ingin kita rombak, ingin kita ubah. Karena kita ini tinggal di daerah yang memang rawan bencana. Jadi kita tidak boleh lengah walaupun sedang tidak ada bencana. Itu sebenarnya target yang kita ingin kerjakan,” pungkasnya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan