tirto.id - Nyaris tak ada yang istimewa dari mobil hitam dengan bak terbuka itu. Suara mesinnya yang kasar, catnya yang mengelupas, tarikan giginya tak terdengar mulus. Pada dini hari yang cukup bikin badan menggigil, ia berjalan pelan bersama seorang pengemudi yang terus mengamati trotoar di bilangan Slamet Riyadi, Solo, dua tahun silam.
Si pengemudi rupanya tak sendirian. Tiga orang lainnya berdiri di bak yang sama-sama memusatkan perhatiannya ke jalanan sekitar. Tak lama kemudian, mobil berhenti. Satu orang dari mereka lantas turun dengan membawa tas plastik berwarna putih. Ia melangkahkan kakinya menuju pengemudi becak yang baru terbangun dari tidurnya.
“Sugeng enjang, Pak. Ini buat sahur, nggih,” ucapnya lembut seraya menyodorkan bingkisan.
Mobil kembali berjalan pelan dan berhenti tatkala rombongan kecil ini bertemu dengan siapapun yang mereka temui di jalan guna menyerahkan menu santap berisikan ayam goreng, sayur kacang panjang, pisang, serta sebotol air putih.
Ketika jam menunjukkan pukul 03.30, mereka menyudahi misinya. Keempat orang itu turun dan mengambil jatah bungkusan masing-masing. Di bawah rindangnya pohon serta temaramnya lampu kota, mereka dengan segera melahap menu sahurnya.
“Rasanya senang ketika berbagi di bulan Ramadan. Ada semacam kepuasan batin,” ujar pimpinan rombongan.
Asal Usul yang Samar
Tentu Anda kerap mendengar pernyataan bahwa bulan puasa adalah bulan penuh berkah. Bulan di mana seribu kebaikan tersebar sepanjang waktu dan umat muslim di seluruh dunia berlomba-lomba mendapatkan manfaatnya.
Selain dirayakan secara spiritual, kehadiran bulan puasa disambut pula dengan gempita akan tradisi-tradisi yang sudah lama melekat di dalamnya. Di Indonesia sendiri, tercatat banyak tradisi yang bermunculan di bulan puasa. Dari pembagian takjil menjelang waktu buka, parade kembang api menjelang lebaran, sampai seremoni malam takbiran.
Tradisi yang juga terasa selama Ramadan adalah Sahur On the Road (SOTR), sebagaimana yang dilakukan rombongan berisi empat orang itu.
Sulit memastikan asal usul SOTR. Nyaris tak ada literatur maupun referensi yang spesifik menyebut bagaimana dan kapan SOTR lahir. Berbeda dengan tradisi membangunkan orang kala sahur yang mengakar kuat di masyarakat serta dijadikan simbol budaya setempat macam Pocong Patrol (Banyuwangi), Percalan (Salatiga), Dengo-Dengo (Sulawesi Tengah), hingga Bagarakan Sahur (Kalimantan Selatan), SOTR diyakini tak punya latar belakang historis yang jelas.
Kendati begitu, fenomena SOTR sendiri diyakini sudah marak sejak periode 2000an. Kala itu, mengutip Liputan6, SOTR diadakan oleh tayangan hiburan "Halo Selebriti" di wilayah Daan Mogot dan Tomang, Jakarta Barat. Berdasarkan laporan Liputan6, sekitar 28 mobil dan pengendara sepeda motor yang tergabung dalam NSR Club turut mengiringi sejumlah artis seperti Krisna Mukti, Kristina, Dorce, Anwar Fuadi, Melly "Putri Malam," dan Dina Mariana berkeliling bersama.
Dalam kesempatan ini, rombongan membagikan makanan sahur kepada sejumlah penduduk di kawasan tersebut. Mereka, catat Liputan6, "tetap semangat meski mengantuk dan tak merasa segan berbaur dengan masyarakat yang sebagian besar berprofesi pemulung."
"Benar-benar nendang ke hatiku," kata Melly "Putri Malam" tentang pengalamannya mengikuti SOTR.
Menurut Hayadin, peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan di Kementerian Agama RI, aktivitas SOTR merupakan bentuk “kreativitas masyarakat dalam merayakan dan menjalankan ibadah puasa.”
Perayaan tersebut, jelas Hayadin, diikuti puluhan bahkan ratusan orang mengendarai sepeda motor dan mobil, memenuhi jalan, serta berkonvoi menuju tempat-tempat tertentu seperti panti asuhan dan kantung-kantung masyarakat miskin dan tuna wisma. "Untuk membagi-bagikan makanan sahur," jelasnya. Dari situ, kegiatan dilanjutkan dengan acara makan bersama, pengajian, dan ditutup dengan ibadah subuh berjamaah di masjid terdekat.
Kegiatan SOTR memang tak jauh-jauh dari kumpul bersama, berkeliling kota, dan membagikan menu santap sahur. SOTR bisa dilakukan siapa saja, mulai dari organisasi masyarakat, warga sipil, artis, muda-mudi, sampai para politisi.
“Substansi dari SOTR adalah berbagi (rezeki dan kegembiraan), sedekah, peduli, dan solidaritas sosial. Karena substansi kebaikan tersebut, maka banyak lembaga sosial dan lembaga pendidikan yang ikut melakukannya,” tutur Hadiyin.
Seiring waktu, dengan pesatnya perkembangan kota dan teknologi, SOTR mengalami transformasi bentuk dan cakupan aktivitasnya. "Dulu saat sebaran masyarakat belum seluas sekarang dan teknologi masih terbatas, SOTR hanya terjadi dalam zona dan lokasi yang kecil dan tidak menggunakan kendaraan,” ujar Hadiyin seraya menjelaskan bahwa peserta SOTR rata-rata adalah tetangga dan keluarga.
Tapi, formula tersebut berubah. Kegiatan SOTR lebih mampu mengakomodir banyak massa karena kemudahan mengakses informasi yang diberikan internet pada khalayak ramai. “Melalui teknologi informasi, maka sebaran ajakan untuk berkumpul, mengkordinasikan kegiatan, dan memilih sasaran lokasi juga menjadi lebih mudah," pungkas Hadiyin.
Medan Kekerasan
Namun, kegiatan SOTR tercoreng oleh aksi vandalisme dan kekerasan dalam beberapa tahun terakhir. Setidaknya pekan lalu ada kelompok peserta SOTR yang mencoret-coret fasilitas publik di Mampang. Ada pula yang tawuran.
Berdasarkan data yang dihimpun tim riset Tirto, tak sekali dua kali saja ada korban dalam penyelenggaraan SOTR. Tahun 2014, seorang pemuda kritis setelah dibacok segerombolan orang yang menggelar SOTR di Kemanggisan, Palmerah. Dua orang juga ditusuk dan disabet di perempatan Jalan MH Thamrin dan Jalan Wahid Hasyim.
Pada 2017, sekelompok pemuda yang tengah menyelenggarakan SOTR menyerang anggota TNI Angkatan Darat di Kemayoran, Jakarta Pusat. Prajurit Dua Ananda Puji Santoso, 22 tahun, harus menjalani perawatan di rumah sakit karena luka tusuk di perut. Masih di tahun yang sama, sekelompok anak muda peserta SOTR diserang gerombolan pengemudi motor yang menggunakan bendera VOC di Jalan Penjernihan, Jakarta Pusat. Delapan orang terluka.
Baru-baru ini di Jakarta Selatan, polisi mengamankan barang bukti berupa 12 parang dan arit, potongan besi, dan kembang api yang digunakan pelaku tawuran ketika SOTR. Sementara di Jakarta Timur, rombongan SOTR menyiram seorang warga dengan air keras yang menegur mereka karena dirasa mengganggu.
Kasus-kasus vandal di atas itulah yang membuat pemerintah provinsi DKI Jakarta, dari era Fauzi Bowo hingga Anies Baswedan, mengimbau kepada masyarakatagar tak ikut-ikutan SOTR.
Tak cuma di Jakarta, pelarangan SOTR juga muncul di daerah lain seperti Bogor. Dua tahun silam, pemerintah kota Bogor melarang warganya untuk melakukan kegiatan SOTR selama bulan puasa. Larangan tersebut dibuat menyusul seringnya SOTR dimanfaatkan untuk hal-hal yang dinilai kurang pantas seperti aksi corat-coret fasilitas umum, kebut-kebutan di jalanan, sampai tawuran.
“Soal pelarangan SOTR, saya sudah melakukan rapat musyawarah pimpinan daerah (muspida). Alhamdulillah, semuanya mendukung, termasuk tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat. Kepolisian pun menyambut positif soal kebijakan ini,” ucap Arya Bima, Walikota Bogor, mengutip Kompas.
Berubahnya SOTR dari ajang berbagi antarsesama menjadi vandalisme dan tawuran dinilai sosiolog sekaligus Rektor Universitas Ibnu Chaldun, Musni Umar, sebagai masalah sosial di lingkungan masyarakat, terutama di kalangan anak-anak muda di Jakarta. Ia berpendapat “penyakit” ini masih belum terselesaikan dari tahun ke tahun karena belum ada pembenahan dari awal.
Pokok masalahnya, kata dia, berasal dari keluarga. Musni menyebut tawuran atau vandalisme yang dilakukan anak-anak muda biasanya dimulai dari seorang pemuda yang berwatak mendominasi. Sosok dominan ini biasanya merupakan orang yang kurang mendapat perhatian dari keluarga atau tumbuh di lingkungan yang kerap memperlihatkan praktik-praktik kekerasan. “Misalnya di permukiman-permukiman warga miskin yang kumuh dan padat penduduk,” jelasnya.
Musni menilai pemerintah kurang memberi perhatian terhadap lingkungan pergaulan anak-anak di Jakarta. Kalaupun ada program, paparnya, "hal itu tidak bisa merangkul dan mengarahkan anak-anak tersebut untuk melakukan kegiatan yang lebih positif." Ia menambahkan pemerintah, masyarakat, dan guru di sekolah semestinya punya peran penting dalam mencegah vandalisme dan aksi kekerasan.
Sementara Rezka Aditya, pemuda yang kerap mengadakan acara SOTR bersama komunitas kecilnya mengungkapkan bahwa salah satu alasan mengapa SOTR berubah jadi aksi vandal karena para pelaku “tidak menangkap spirit kebersamaan di bulan puasa.”
“Bayangkan saja, lo bangun pagi-pagi cuma buat berantem. Tapi, kedok lo adalah SOTR. Itu 'kan, jelas-jelas kalau mereka ini enggak bisa nangkep (spirit) itu,” jelasnya.
Editor: Windu Jusuf