Menuju konten utama

Mengapa Rotasi 14 Pejabat KPK Disebut Tak Transparan?

Wadah Pegawai KPK mempertanyakan wacana rotasi sejumlah eselon II dan III oleh pimpinan KPK. 

Mengapa Rotasi 14 Pejabat KPK Disebut Tak Transparan?
Kantor komisi pemberantasan korupsi (kpk). tirto/andrey gromico

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali bergolak menyusul wacana rotasi terhadap 14 pejabat eselon II dan eselon III. Resistensi ini muncul dari internal komisi antirasuah yang tergabung dalam Wadah Pegawai (WP) KPK. Mereka menilai proses mutasi itu dilakukan secara tidak transparan sehingga berpotensi merusak independensi KPK.

“Rotasi dan mutasi merupakan hal lumrah dalam proses berorganisasi. Menjadi persoalan ketika proses mutasi dan rotasi dilakukan tanpa adanya kriteria, transparansi, dan tata cara yang jelas sehingga berpotensi merusak independensi KPK,” kata Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap lewat keterangan tertulisnya, Rabu (15/8/2018).

Yudi mengkhawatirkan proses rotasi yang dilakukan sepihak ini akan mengakibatkan lunturnya kekritisan dan profesionalitas KPK. Menurut dia, rotasi tanpa proses sistem yang benar, akan berpotensi menyebabkan kemunduran dari pengelolaan manajemen sumber daya manusia KPK.

Selain itu, kata Yudi, proses rotasi yang dilakukan sepihak tanpa kriteria yang jelas berpotensi dapat menjadi sarana untuk menyingkirkan orang-orang yang berupaya untuk tetap kritis dalam menjalankan roda organisasi.

Kritik serupa juga diungkapkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak. Ia melihat upaya rotasi yang dilakukan oleh kelima pimpinan KPK ini sebagai lanjutan dari taktik “Kuda Troya” untuk melemahkan komisi antirasuah tersebut.

“Masih segar di ingatan kami, pada 2015 masyarakat sipil menyatakan bahwa terdapat strategi Kuda Troya ke KPK karena adanya orang-orang luar yang ditempatkan di KPK, namun memiliki misi untuk melemahkan KPK,” kata Dahnil.

Perkiraan soal pihak-pihak yang hendak menghancurkan KPK dari dalam memang bukan barang baru. Dugaan ini menyeruak pada awal 2018 lalu saat Direktur Penyidikan KPK, Brigjen Pol Aris Budiman hadir dalam Pansus Hak Angket KPK di DPR.

Kehadiran mantan Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri itu pun menjadi perbincangan lantaran KPK memutuskan tidak hadir memenuhi undangan pansus tersebut. Apalagi, dalam rapat Pansus Hak Angket KPK di DPR itu, Aris berkicau bahwa idenya untuk merekrut perwira menengah Polri ke dalam KPK mendapat penolakan dari internal KPK lainnya.

Selain itu, Dahnil juga mengaitkan masalah “Kuda Troya” ini dengan mandeknya beberapa kasus penting, seperti kasus rekening gendut perwira Polri dan perusakan alat bukti oleh penyidik terkait kasus impor daging sapi.

Menurut Dahnil, perlawanan yang muncul dari internal KPK merupakan salah satu indikasi bahwa rotasi ini adalah bagian dari taktik “Kuda Troya.” Ia menilai proses rotasi di dalam tubuh KPK dilakukan tidak mempertimbangkan rekam kerja dan prinsip akuntabilitas.

Padahal, menurut dia, dalam melakukan mutasi atau rotasi, pimpinan KPK mesti berpatokan pada Peraturan KPK RI No.7 Tahun 2013 tentang Nilai-Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku KPK.

Ketentuan tersebut, kata Dahnil, mengatur beberapa etika pimpinan terkait dengan kepegawaian, antara lain pimpinan harus menilai kinerja orang yang dipimpinnya secara objektif dengan kriteria yang jelas (huruf E angka 4), dan pimpinan harus memberikan apresiasi terhadap hasil kerja dan prestasi setiap individu dan mendorong setiap pegawai yang dipimpinnya untuk meningkatkan hasil kerjanya (huruf E angka 7).

Ia mencontohkan pada 2010, Direktur Pendaftaran dan Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (PP LHKPN) mesti menjalani proses seleksi saat hendak dipindah menjadi Direktur Gratifikasi.

“Jangan dibayangkan oleh 5 pimpinan KPK yang punya latar belakang PNS ini [bahwa] KPK seperti kantor-kantor mereka sebelumnya, di mana pimpinan bisa seenaknya memindahkan, merotasi tanpa ada jelas argumentasi dan latar belakang pemindahannya itu,” kata Dahnil kepada Tirto, Rabu (15/8/2018).

Infografik CI Rotasi Pegawai KPK

Respons Pimpinan KPK

Ketua KPK Agus Rahardjo akhirnya buka suara terkait gejolak dan saling tuding yang ada di dalam tubuh KPK saat ini. Ia bahkan mempertanyakan pihak yang menuntut masalah transparansi dalam rotasi ini. Menurut Agus, urusan transparansi baru relevan ditanyakan bila ada kenaikan jabatan.

“Kamu kalau ada menteri angkat eselon 1 [atau] eselon 2 pernah tanya [soal transparansi] enggak? Makanya saya tanya, pernah nanya enggak? Itu yang berlaku umum kan, enggak pernah tanya. Yang transparan itu adalah proses orang itu naik jabatan, itu pasti ada penilaian yang transparan,” kata Agus di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (15/8/2018).

Agus berkata, rotasi yang dilakukan pihaknya ialah dengan menggeser 14 orang internal dari pos yang lama ke pos lainnya, tapi masih dalam posisi setingkat. Alasannya, karena yang bersangkutan telah menempati satu posisi itu selama bertahun-tahun. Bahkan, ada yang sudah 8 tahun tidak pindah.

Agus juga menampik isu “Kuda Troya” seperti yang diungkapkan Dahnil. Agus menegaskan, tidak ada orang luar KPK yang akan dimasukkan. “Direktur yang lama pindah posisi aja, sama-sama direkturnya apa masalahnya? Kepala bagian yang lama pindah posisi, posisinya sama,” kata Agus.

Menurut Agus, rotasi ini adalah hal yang lumrah dilakukan, bahkan seharusnya rotasi dilakukan oleh KPK setiap dua tahun sekali.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz