tirto.id - Tak lama setelah pencoblosan Pilpres 2019 dilakukan di hampir seluruh TPS di Indonesia, sejumlah lembaga survei merilis hasil hitung cepat mereka. Secara nasional pasangan Jokowi-Ma’ruf unggul atas pasangan Prabowo-Sandiaga. Namun di Provinsi Banten, daerah kelahiran Ma’ruf Amin, ia dan Jokowi justru kalah.
Berdasarkan hasil hitung cepat yang dilakukan Charta Politika, Jokowi-Ma’ruf hanya meraup suara 40,9 persen, sementara Prabowo-Sandiaga 59,1 persen. Sedangkan dalam hitung cepat SMRC, raihan suara Jokowi-Ma’ruf di Banten sebesar 37,44 persen, dan Prabowo-Sandiaga 62,56 persen. Hitung cepat Indikator Politik Indonesia juga menunjukkan hal yang sama, yakni Jokowi-Ma’ruf 37,22 persen dan Prabowo-Sandiaga 62,78 persen.
Lima tahun lalu, Jokowi yang saat itu berpasangan dengan Jusuf Kalla, juga tak berdaya di provinsi yang dulu menyatu dengan Jawa Barat ini. Mereka hanya meraih suara sebesar 42,90 persen, sedangkan suara Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa sebesar 57,10 persen.
Sejumlah usaha sebetulnya telah dilakukan Ma’ruf Amin untuk meraih simpati warga Banten. Selama masa kampanye ia menegaskan identitas kedaerahannya. Misalnya pada Senin (12/11/2018), bertempat di kediamannya, Ma’ruf Amin sempat mengungkapkan salah satu alasan kenapa dirinya dipilih untuk mendampingi Jokowi, yakni dianggap sebagai putra Jawa Barat. Selain itu, ia juga menegaskan jika dirinya kelahiran Banten.
“Kalau enggak milih orang Banten jangan ngaku orang Banten,” ucapnya.
Saat menyatakan akan berkeliling Jawa Barat untuk menyambangi calon pemilihnya, ia menyatakan bahwa tingkat kedipilihan pasangan Jokowi-Ma’ruf di Banten menang tipis atas pasangan Prabowo-Sandiaga.
Sementara pada Rabu (20/2/2019) saat berkunjung ke Takalar, Sulawesi Selatan, Ma’ruf Amin mendapatkan gelar adat Karaeng Manaba dari Kerajaan Galesong. Menurut pihak kerajaan, Mallarangeng Abdullah Karaeng Gassing, gelar tersebut diberikan kepada Ma’ruf Amin karena Kerajaan Galesong mempunyai hubungan erat dengan Kesultanan Banten.
“Syekh Yusuf (ulama kesohor kelahiran Sulawesi) adalah menantu Sultan Banten yang masih punya hubungan darah dengan Ma’ruf Amin,” ungkapnya.
Namun, Ma’ruf Amin yang kelahiran Banten dan selama masa kampanye beberapa kali menonjolkan identitas kedaerahannya, nyatanya tak mampu mengubah suara mayoritas rakyat Banten.
Sampai tanggal 15 Mei 2019 pukul 11.05 WIB, dalam perhitungan resmi KPU, pasangan Prabowo-Sandiaga masih memimpin perolehan suara di Banten dengan raihan 2.850.253 (61,71 persen). Sementara Jokowi-Ma’ruf hanya 1.768.858 (38,29 persen).
Tak Ditargetkan Menang
Menurut Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Usman Kansong, sejak awal peran Ma’ruf Amin adalah menjaga suara pasangan 01 di Jawa Barat dan Banten agar tidak mengalami penurunan.
TKN sadar di dua provinsi dengan pemilih Muslim yang besar itu, lima tahun lalu suara Jokowi kalah dari saingannya. Pasangan Prabowo-Hatta bahkan hampir menyapu bersih Banten.
Mereka unggul di tujuh kabupaten/kota yakni di Kabupaten Serang, Kota Serang, Kabupaten Pandeglang, Kota Tangerang, Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Lebak. Sementara Jokowi-Kalla hanya unggul di Kota Tangerang Selatan.
“[Agar] tidak terlalu drop, terutama di Jawa Barat dan Banten. Harapan kami ingin dapat lebih besar. Tetapi yang utama menahan, jangan sampai suara terlalu drop,” ujarnya seperti dilansir Tempo.
Sementara menurut pengajar Ilmu Politik UIN Syarief Hidayatullah Adi Prayitno, kekalahan Jokowi-Ma’ruf di Banten disebabkan tingginya sentimen anti-Jokowi. Ia tak menjelaskan alasan tingginya sentimen tersebut, tapi yang pasti kondisi itu tak mampu diredam oleh kehadiran Ma’ruf Amin sebagai orang Banten, juga meski didukung keluarga besar Ratu Atut sebagai patron oligarki politik Banten.
“Kehadiran Ma’ruf Amin nyatanya tak mampu menetralisir sentimen anti-Jokowi,” ujarnya seperti juga dikutip Tempo.
Banten dan Jawa Barat Satu Suara
Jika melihat hasil pilpres pada tahun-tahun sebelumnya, wajar jika TKN tak menargetkan Jokowi-Ma’ruf menang di Banten dan hanya berusaha agar suaranya tidak menurun. Sejak Pilpres pertama pada 2004, dukungan masyarakat Banten terhadap calon yang diusung PDIP sama persis dengan di Jawa Barat.
Kesamaan ini tak bisa dilepaskan dari latar kultural kedua provinsi yang semula menyatu dalam satu wilayah administratif, dan secara sosial budaya mempunyai sejumlah persamaan sehingga ekspresi politiknya pun tak jauh berbeda.
Kita urut sejak Pilpres 2014 di mana raihan suara Jokowi-Kalla di Banten hanya 42,90 persen. Pada Pilpres 2009, pasangan Megawati-Prabowo hanya meraih suara sebesar 26,98 persen, kalah telak dari pasangan SBY-Budiono. Dan pada Pilpres 2004, baik putaran pertama maupun putaran kedua, Megawati-Hasyim Muzadi selalu kalah dari SBY-Kalla.
Identitas keagamaan lagi-lagi tak dapat dipisahkan dari hasil pilpres, tahun ke tahun, dan hal itu menjadi kewajaran tersendiri sehingga seakan-akan tak perlu diakhiri. Maksudnya, masyarakat berhak memilih dan mengaitkan dirinya dengan calon presiden berdasarkan keyakinannya bahwa calon yang mereka pilih lebih mewakili kelompoknya, baik berdasarkan agama, etnis, maupun budaya.
Dinamika capres dan cawapres sejak 2004 menunjukkan bahwa dukungan masyarakat Banten terhadap para calon tak mengacu pada popularitas, akar tokoh, dan oligarki lokal yang begitu kuat sejak zaman Orde Baru.
SBY yang populer sejak berkonflik dengan Megawati memang menang berturut-turut di Banten, tapi Jokowi yang namanya meroket sejak menjadi Wali Kota Surakarta buktinya tak berkutik ketika berhadapan dengan Prabowo—“pemain lama” dari rahim sebuah orde yang baru diruntuhkan.
Tokoh yang berasal dari ormas keagamaan yang ikut dalam kontestasi juga tak mempan untuk memenangkan hati rakyat Banten. Selain contoh terbaru kekalahan Ma’ruf Amin, Hasyim Muzadi yang mendampingi Megawati pada Pilpres 2004 juga tak mampu bicara banyak dalam mendongkrak suaranya di tanah para jawara. Padahal, baik Ma’ruf Amin maupun Hasyim Muzadi keduanya berasal dari NU, organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.
Pengaruh dinasti Ratu Atut yang sulit goyah di Banten lewat bendera Golkar juga tak selalu paralel dengan hasil pilpres. Mereka boleh saja kokoh dalam setiap pemilihan kepala daerah, tapi dalam pilpres mereka lebih kerap tak berguna dalam memenangkan pasangan yang mereka dukung.
Putaran kedua Pilpres 2004, misalnya. Golkar saat itu mendukung pasangan Megawati-Hasyim dan mereka kalah. Lalu pada Pipres 2009, pasangan Kalla-Wiranto yang diusung Golkar justru suaranya jeblok dan menjadi juru kunci.
Baru pada Pilpres 2014 dukungan Golkar sejalan dengan kemenangan pasangan yang mereka usung di Banten. Namun, ini pun lebih dominan karena faktor polarisasi dukungan yang mengerucut menjadi sentimen agama. Pelbagai isu agama dan warisan politik yang menyerang Jokowi membuatnya dipersepsikan sebagai capres yang tak mewakili Islam.
Hal tersebut diperkuat oleh komposisi dukungan partai politik bercorak Islam kepada Prabowo-Hatta, yakni PAN, PKS, PPP, dan PBB. Sementara partai bercorak Islam yang mendukung Jokowi-Kalla hanya PKB.
Dan tahun 2019, polarisasi tersebut semakin meruncing. Sejak kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menimbulkan gelombang unjuk rasa umat Islam, ekspresi politik identitas pun kembali menguat.
Menggandeng Ma’ruf Amin, ulama kelahiran Banten, juga dukungan dinasti Ratu Atut, sekali lagi tak dapat memenangkan Jokowi di Banten. Berdasarkan laporan sementara KPU, pasangan Jokowi-Ma’ruf hanya menang di Kota Tangerang Selatan, persis seperti pilpres lima tahun sebelumnya.
Sedangkan Prabowo-Sandiaga lagi-lagi hampir menyapu bersih Banten. Mereka unggul di Kota Cilegon, Kota Serang, Kota Tangerang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Tangerang.
Di titik ini peran Ma’ruf Amin bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, jika ia diharapkan akan mendobrak suara pemilih di Banten sehingga pasangan Jokowi-Ma’ruf mampu mengalahkan Prabowo-Sandiaga, jelas gagal.
Kedua, jika mengacu pada pernyataan TKN bahwa fungsi Ma’ruf Amin sekadar mempertahankan suara yang telah ada agar tidak merosot drastis, tentu berhasil. Indikatornya sama, yakni selama dua kali pilpres hanya Kota Tangerang Selatan yang mampu dimenangkan Jokowi.
Editor: Ivan Aulia Ahsan