tirto.id - Kubu paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno masih percaya bahwa mereka unggul perolehan suara untuk pilpres 2019 kali ini. Namun, dasar kepercayaan mereka adalah hasil survei internal alih-alih hasil sigi lembaga survei nasional.
Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Dahnil Anzar menyebut keunggulan Prabowo-Sandiaga ada di angka 54 persen, sedangkan Jokowi-Ma'ruf hanya 40 persen. Hasil survei yang mereka percayai ini cenderung berbeda hasil dengan beberapa lembaga survei nasional lainnya.
Sebagai perbandingan, hasil survei Litbang Kompas--yang menunjukan hasil berbeda dibanding SMRC, LSI Denny JA, atau Charta Politika--saja masih menyatakan Jokowi-Ma'ruf unggul dibanding Prabowo-Sandi. Pada survei Litbang Kompas itu, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf hanya di bawah 50 persen.
Namun, para pendukung Prabowo-Sandiaga malah menganggap lembaga survei nasional tidak netral dalam melakukan penelitiannya. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, yang juga pendukung Prabowo-Sandiaga, mendukung pernyataan Prabowo bahwa memang ada lembaga survei yang mendukung paslon tertentu.
"Sebaiknya dia [lembaga survei] mengumumkan bahwa dia bukan lembaga survei independen, tetapi dia lembaga survei yang bekerja untuk kandidat. Karena, kan, kemudian tiba-tiba lembaga survei ini dibayar semua oleh kandidat tertentu, akhirnya punya core, begitu," ujar Fahri saat di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (25/3/2019).
Pernyataan Fahri dibantah peneliti dari Lingkaran Survei Denny JA, Adjie Alfaraby. Ia bilang hasil pengecekan dari lembaga survei tidak bisa dianggap enteng atau disalahkan begitu saja oleh Prabowo-Sandiaga.
Sejauh ini, pemilu di luar negeri ataupun Indonesia masih menjadikan survei sebagai satu-satunya alat ukur yang bisa dipertanggungjawabkan untuk mengukur elektabilitas kandidat peserta. Secara umum, survei mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi.
Adjie mengakui memang beberapa survei meleset, tapi hasilnya biasa tak berbeda jauh. Beberapa kesalahan yang terjadi, kata dia, tak lantas menjadikan survei tidak signifikan.
"Justru survei internal itu, kan, enggak jelas metodologi dan respondennya. Kalau survei hanya digunakan untuk menyenangkan hati, ya, bisa saja, sih. Tapi, kan, nanti jadi enggak objektif," kata Adjie kepada reporter Tirto.
Adjie mencontohkan hasil survei pada 2014. Saat itu, sejumlah lembaga survei memprediksi dengan tepat bahwa tren penurunan memang terjadi. Namun, hasil itu tak serta-merta mengubah hasil akhir.
Beberapa lembaga survei seperti SMRC misalnya memprediksi elektabilitas Jokowi-Jusuf Kalla pada Maret 2014 sebesar 57,7 persen, unggul 34,6 persen dari pasangan Prabowo-Hatta Rajasa yang elektabilitasnya hanya sebesar 23,10 persen.
Kemudian, pada April 2014, elektabilitasnya turun menjadi 50,80 persen. Angkanya terus menurun hingga mencapai 47,60 persen pada periode 30 Juni-3 Juli 2014. Sebaliknya, elektabilitas Prabowo-Hatta terus meningkat hingga satu bulan sebelum hari pemilihan presiden. Meski trennya menurun, elektabilitas Jokowi-JK tidak pernah berada di bawah Prabowo-Hatta.
Pada hasil survei Indikator periode 20-26 April 2014, elektabilitas Jokowi-JK sebesar 51,00 persen. Dalam survei Poltracking periode 26 Mei-3 Juni 2014 angka elektabilitas Jokowi 48,50 persen.
Sementara itu, pasangan Prabowo-Hatta, elektabilitasnya terus mengalami peningkatan meski tidak pernah melebihi elektabilitas lawannya.
Hasilnya, Prabowo-Hatta akhirnya kalah dengan suara 46,85 persen dan Jokowi-JK menang dengan meraih 53,15 persen. Meski hasilnya berbeda dengan angka prediksi lembaga survei, tetapi hasil akhir tetap sama, Jokowi-JK unggul dan menang.
Sedangkan di Pilkada 2018, hasil yang sesuai dengan realitas juga tergambar dari lembaga survei. Di Jawa Barat, baik lembaga survei Indikator, SMRC, dan Poltracking menyatakan Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum unggul di antara lawannya. Hasilnya, mereka menang.
Di Jawa Timur, SMRC dan Litbang Kompas memprediksi Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak menang. Hasilnya, Khofifah dan Emil menjadi kepala daerah Jawa Timur.
"Makanya, saya bilang kalau kondisinya stabil, enggak ada masalah yang terlalu berat yang terkait 01 atau tidak ada hal yang luar biasa dikerjakan 02, maka tidak banyak berubah. Sama ini dengan 2014, semua terprediksi," kata Adjie lagi.
Sedangkan Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya menyatakan, beberapa lembaga survei memang tidak main-main dalam melakukan pekerjaannya. Mereka yang terindikasi tidak objektif dan mempunyai metode yang betul, bisa dikeluarkan dari Asosiasi Lembaga Survei.
Oleh karena itu, ia tak setuju jika lembaga survei kebanyakan dikatakan sebagai lembaga berbayar.
"Saya berharap sekali bantahan-bantahan itu muncul bukan melalui tuduhan-tuduhan seperti itu, tapi mereka keluarkan data juga, kita kaji bersama-sama secara ilmiah," kata Yunarto, Senin siang.
Perang Psikologis
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, apa yang dilakukan Prabowo-Sandiaga adalah perang psikologis. Dia menduga ada dua skema yang diharapkan terjadi oleh Prabowo-Sandiaga dengan mendelegitimasi lembaga survei.
Yang pertama adalah membuat masyarakat tak percaya dengan lembaga survei dan mendukung Prabowo-Sandiaga lebih giat lagi. Prabowo-Sandiaga kembali memakai narasi bahwa mereka dizalimi dan menjadi musuh berbagai pihak dan harus dibela.
Kedua adalah meraih orang-orang yang takut memilih kubu yang kalah. Ujang menilai, pemilih yang belum menentukan pilihannya cenderung memilih kubu pemenang agar aman. Beberapa pihak juga bisa jadi mengalihkan dukungan kepada calon pemenang agar tidak salah.
Hal ini sekaligus menguatkan persepsi di masyarakat bahwa Jokowi sesuai dengan apa yang dikatakan Prabowo-Sandiaga. Dengan mengklaim diri mereka unggul, masyarakat akan percaya bahwa isu kepada Jokowi yang selama ini diembuskan Prabowo-Sandiaga memang benar adanya.
"Membalikan situasi memang strategi mereka," kata Ujang kepada reporter Tirto. "Yang penting klaim dulu. Itu psikologi politik untuk pengaruhi psikologi massa."
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih