Menuju konten utama

Mengapa Kominfo Kalah dari Anak Usaha Lippo Group di PKPU?

Pembayaran BHP frekuensi radio sebesar Rp463 miliar dari 2016-2018 yang ditagih Kominfo terpaksa harus ditangguhkan setelah PKPU berakhir damai.

Mengapa Kominfo Kalah dari Anak Usaha Lippo Group di PKPU?
ilustrasi pemakaian data internet. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bernasib apes. Tagihan utang sebesar Rp463 miliar yang mereka tagih kepada produsen modem Bolt harus ditangguhkan. Utang ini merupakan tunggakan Biaya Hak Pakai Penggunaan (BHP) frekuensi radio dari 2016-2018

Penangguhan tak lepas dari putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menerima perjanjian damai (homologasi) yang diajukan PT Internux selaku produsen modem Bolt kepada para krediturnya. Putusan disampaikan Ketua Majelis Hakim Abdul Kohar dalam sidang perkara penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) PT Internux, Rabu (14/11/2018) kemarin.

Dalam pertimbangannya, Kohar menyampaikan semua persyaratan dalam homologasi telah dipenuhi debitur --PT Internux--sebagaimana dirumuskan dalam UU No 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran.

“Dalam laporan hakim pengawas, kami tidak menemukan adanya alasan untuk menolak homologasi sebagaimana ditentukan Pasal 285 ayat (2) UU 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Sehingga rencana perdamaian wajib disahkan,” kata Kohar, di ruang sidang Mudjono, PN Jakarta Pusat.

Upaya Penagihan Lewat Pengadilan

Internux merupakan entitas anak usaha PT First Media Tbk, yang tergabung dalam Lippo Group. Perusahaan ini masuk belenggu PKPU dari permohonan PT Equasel Selaras, dan PT Intiusaha Solusindo yang didaftarkan pada 20 Agustus 2018 dengan perkara No. 126/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst.

Pada 17 September 2018, Pengadilan Niaga menerima permohonan tersebut dan mengharuskan Internux merestrukturisasi utang-utangnya selama PKPU dengan jangka waktu 45 hari. Equasel kemudian mendaftarkan tagihan utang kepada Internux senilai Rp3,21 miliar, sementara Intiusaha sebesar senilai Rp932 juta.

Dalam rentang waktu itu ternyata ada 281 kreditur lain yang juga mendaftarkan tagihannya--termasuk Kemenkominfo lewat Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI). Total tagihan Internux dalam perkara PKPU tersebut mencapai Rp4,9 triliun.

Terkait dengan tagihan di Kemenkominfo, Ditjen SDPPI sudah mengeluarkan surat peringatan agar anak usaha Lippo Group itu segera membayar utang. Direktur Operasi Sumber Daya SDPPI Dwi Handoko mengatakan surat peringatan itu sudah dikirimkan pada 26 Oktober, melalui surat bernomor 2883/SP1/KOMINFO/DJSDPPI.3/SP.02.04/10/2018.

Dalam suratnya, Ditjen SDPPI menagih BHP Frekuensi Radio Zona 4 tahun 2016-2017 sebesar Rp343,58 miliar yang belum dibayarkan Internux. Penagihan tersebut, kata Dwi, sesuai dengan ketentuan dalam pasal 55 (4) Peraturan Kemenkominfo Nomor 5/2017.

Belakangan, surat itu digugat Internux ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan nomor perkara 266/G/2018/PTUN.JKT. Alasan Internux: pembayaran BHP tersebut masih bergulir di PKPU dan baru bisa ditagihkan kembali setelah PN Jakpus mengeluarkan putusan berkekuatan hukum tetap.

Kalah Karena Klausul Ekstra

Bergabungnya Kemenkominfo ke dalam PKPU Internux supaya mereka dapat jaminan dari anak usaha Lippo Group untuk segera membayar utang. Saat pendaftaran di PKPU, Kemenkominfo bahkan memasukkan tunggakan pembayaran tahun 2018 yang jatuh tempo pada 17 November mendatang.

Itu sebabnya, total tagihan utang yang dilayangkan Kemenkominfo kepada Internux mencapai Rp463 miliar.

Kasubbag Bantuan Hukum Ditjen SDPPI, Fauzan Priyadhani menyampaikan tagihan itu bersifat preferen atau prioritas, lantaran BHP frekuensi radio akan masuk sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Saat PKPU berjalan, Internux malah mengajukan proposal perjanjian damai kepada Kemenkominfo dan kreditur lain. Berdasarkan salinan proposal yang diterima Tirto, Internux mengkategorikan seluruh utangnya ke dalam enam jenis, yakni: utang usaha; afiliasi; provider tower; biaya frekuensi; pembiayaan; dan outsourcing.

Kecuali outsourcing, Internux menjanjikan utang dicicil dalam waktu 10 tahun--dengan cicilan per tahun sebesar 5-15 persen dari porsi utang. Namun pada poin lainnya, Internux punya opsi menangguhkan utang dan mengakumulasikan ke akhir jatuh tempo berikutnya, terus-menerus hingga tahun kesepuluh.

Yang jadi masalah, ada aturan tambahan yang menyebutkan Internux masih punya waktu 30 tahun melunasi utang, jika mereka belum bisa membayar lunas dalam 10 tahun. "Ini jelas memberatkan lantaran bertentangan dengan aturan perundang-undangan," kata Fauzan.

Fauzan menerangkan Izin Pita Spektrum Frekuensi Radio (IPSFR) yang jadi dasar tagihan BHP hanya berlaku 10 tahun. Internux sudah diberi izin sejak 2009 dan akan berakhir pada 2019.

Soal izin ini, Pasal 17 (1) Undang-undang Nomor 33 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2000, menuliskan penetapan IPSFR harus dilelang ulang dan setiap perusahaan bisa memperpanjang IPSFR sebanyak satu kali. Ini berarti batas maksimal IPSFR Internux hanya sampai 2029 alias 20 tahun.

Jika batas homologasi yang disetujui PKPU ini disepakati, Kemenkominfo sama saja memberikan IPSFR selama 30 tahun kepada Internux pascaperjanjian damai dijalankan. Ini karena dalam salah ketentuan di proposal itu tertulis pula semua perjanjian, kesepakatan yang ada sebelum homologasi dapat ditiadakan, termasuk IPSFR yang diberikan Kemenkominfo.

"Klausul tersebut bertentangan dengan UU 36/1999 tentang Telekomunikasi," ujarnya usai pembacaan putusan PKPU Internux di PN Jakpus.

Poin-poin dalam proposal perjanjian yang jadi keberatan ini telah disampaikan kepada majelis hakim dalam sidang yang berlangsung Rabu kemarin. Dengan alasan tersebut, Fauzan berharap majelis hakim dapat membatalkan permohonan homologasi dan jadi salah satu pertimbangan yang dapat membuat Internux pailit.

Namun, kata dia, sekonyong-konyong muncul poin tambahan yang berbunyi, "jika ada klausul yang bertentangan dengan undang-undang, klausul tersebut tidak dapat dilaksanakan dan para pihak akan menegosiasikan klausul baru."

Dalam poin tambahan berikutnya lagi disebut pula klausul yang didiskusikan itu tidak boleh terlalu jauh dengan rencana perjanjian damai.

"Sebenarnya sama saja, kan, artinya tidak ada yang baru. Sehingga kembali berpotensi melanggar regulasi telekomunikasi," keluh Fauzan.

Pengurus PKPU Internux, Tommy Sugih, membantah klausul yang memenangkan Internux muncul sekonyong-konyong. Ia berdalih rencana damai dan perjanjian damai adalah 2 hal berbeda. Dalam rencana (proposal) perjanjian damai poin tersebut boleh jadi tidak dimasukkan. Namun dalam perjanjian damai, poin ekstra muncul karena para kreditur sudah sepakat dalam penawaran proposal.

Tommy juga menyebut, hampir seluruh kreditur sepakat dengan proposal yang diajukan Internux dalam voting perjanjian damai. 79,6% suara kreditur konkuren menyetujui perdamaian, sementara para kreditur separatis 100% persen setuju.

"Karena perjanjian perdamaian itu, kan, yang ditandatangani kreditur juga sebelum diputuskan. Tapi kalau kemudian ada yang berbeda itu sudah urusan kreditur dan debitur, pengurus hanya membuat perjanjian perdamaian lebih ramping,” kata dia.

Sementara Presiden Direktur Internux, Dicky Meochtar bersama kuasa hukumnya, Sarmauli Simangunsong dari Kantor Hukum Nindyo & Associates, enggan memberikan tanggapan terkait hal tersebut. Saat dicecar berbagai pertanyaan usai sidang, keduanya bungkam dan mempercepat langkahnya meninggalkan para wartawan.

Baca juga artikel terkait MODEM BOLT atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Teknologi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz