Menuju konten utama
Periksa Data

Mengapa Kasus Diabetes Melitus pada Anak Meroket?

Persentase kelompok usia 3-4 tahun yang mengonsumsi makanan dengan kadar gula tinggi, sebanyak satu kali atau lebih per hari, mencapai 59,6 persen.

Mengapa Kasus Diabetes Melitus pada Anak Meroket?
Header periksa Fakta Diabetes anak. tirto.id/Quita

tirto.id - Mungkin kebanyakan orang mengasosiasikan penyakit diabetes melitus (DM) dengan penyakit orang dewasa. Padahal, anak-anak pun bisa mengidap DM. Lebih parahnya lagi, data teranyar dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) awal Februari lalu menunjukkan bahwa prevalensi penyakit DM di antara anak-anak di Indonesia meningkat sangat tajam 13 tahun terakhir.

Menurut data IDAI yang diterima Tirto, prevalensi DM tipe-1 pada anak di bawah 18 tahun melesat hingga 70 kali lipat dari tahun 2010 ke 2023, dari angka 0,028 per 100.000 jiwa menjadi 2 per 100.000 jiwa.

“DM pada anak itu kebanyakan memang DM tipe-1, sedangkan DM tipe-2 pada dewasa. Tapi di anak-anak juga 5-10 persennya ada DM tipe-2,” terang Ketua Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Muhammad Faizi dalam temu media virtual terkait ”Diabetes pada Anak,” Rabu (1/2/2023).

Kini total kasus DM pada anak dan remaja yang terdaftar di IDAI per 31 Januari 2023 berjumlah 1.645 pasien, dengan persentase terbanyak yakni perempuan berjumlah 59,3 persen dan sisanya laki-laki. Sebaran proporsi usianya mayoritas kelompok 10-14 tahun (46,23 persen), diikuti anak umur 5-9 tahun, anak 0-4 tahun, dan remaja berusia lebih dari 14 tahun.

Menurut IDAI, catatan tersebut didasarkan pada kasus yang terlapor dari 13 daerah, termasuk DKI Jakarta, Surabaya, Palembang, Padang, Medan, Bandung, Semarang, DI Yogyakarta, Solo, dan Denpasar.

Apa itu Diabetes Melitus?

Perlu diketahui, dikutip dari laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes), DM atau penyakit kencing manis adalah gangguan metabolisme yang timbul akibat peningkatan kadar gula darah di atas normal yang berlangsung secara kronis. Penyebabnya yaitu gangguan pada hormon insulin yang dihasilkan kelenjar pankreas.

Padahal insulin berfungsi untuk mengatur penggunaan glukosa oleh otot, lemak atau sel-sel lain di tubuh. Maka saat produksi insulin berkurang, kadar gula dalam darah menjadi tinggi dan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein menjadi terganggu.

Perbedaan tipe kasus DM pun mencerminkan penyebabnya yang juga lain. Masih merujuk Kemenkes, DM tipe-1 diakibatkan oleh interaksi dari banyak faktor di antaranya kecenderungan genetik, faktor lingkungan, sistem imun, dan rusaknya sel beta pankreas.

Sementara itu, DM tipe-2 berkaitan erat dengan gaya hidup tidak sehat seperti berat badan berlebih, obesitas, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi atau tekanan darah tinggi, dislipidemia alias kondisi saat kadar lipid (lemak) dalam darah tidak normal, diet tidak seimbang, serta kebiasaan merokok.

Lantas, apa masalah utama melonjaknya kasus DM pada anak saat ini? Bagaimana kaitan kasus DM dengan pola hidup yang tidak sehat dan apa yang menjadi tantangan pengelolaan kasus DM di Indonesia?

Pandemi COVID-19 Berkontribusi?

Menyoal faktor DM tipe-1, Aman B. Pulungan sebagai Direktur Eksekutif International Pediatric Association (IPA) menyatakan beberapa kondisi di mana kasus DM tipe-1 terbukti meningkat, misalnya pasca pandemi COVID-19 dan setelah kemunculan penyakit tangan, kaki, dan mulut (HFMD) yang umumnya menyerang anak-anak.

“Jadi masih banyak sekali penelitian terhadap tipe-1 ini. Tapi yang jelas faktor virus ada, autoimun ada, dan faktor lain-lain. Dan belakangan faktor vitamin D juga,” katanya saat temu media, sepekan setelah pemaparan update kasus DM dari IDAI, Rabu (8/2/2022).

Sementara Faizi dari IDAI menyatakan bahwa kenaikan laporan kasus DM pada anak ini bisa jadi disebabkan tumbuhnya tingkat kesadaran di kalangan masyarakat. Kendati begitu, menurutnya, jumlah kasus DM yang tak terdiagnosis di lapangan pasti lebih tinggi dari angka yang tercatat.

Apabila meninjau data International Diabetes Federation (IDF) dalam IDF Atlas Reports, jumlah anak di bawah 20 tahun penyandang DM tipe-1 di Indonesia tercatat 13.311 kasus pada tahun 2022, tertinggi di Asia Tenggara.

Meski begitu, IDF menekankan dalam laporannya bahwa data DM tipe-1 untuk mereka yang berusia kurang dari 20 tahun tidak memperhitungkan potensi perubahan insidensi dan mortalitas (angka kematian) dari waktu ke waktu. Membaca data ini pun perlu melihat populasi anak di setiap negara.

Lebih jauh mengenai data IDF, secara global, pada tahun 2022, ada sekira 8,75 juta orang hidup dengan DM tipe-1, di mana 1,52 juta atau sebanyak 17,4 persen di antaranya berusia kurang dari 20 tahun. Jumlah kasus DM tipe-1 pada anak usia 0 – 19 tahun itu naik dibanding tahun sebelumnya, yakni sebanyak 1,21 juta kasus.

Adapun 3 negara dengan jumlah kasus baru DM tipe-1 per 100.000 anak usia 0 hingga 14 tahun tertinggi ditempati Finlandia (52,2 per 100.000 anak), menyusul kemudian Swedia (44,1 per 100.000 anak) dan Kuwait (41,7 per 100.000 anak). Data tersebut bersumber dari Statista tahun 2021.

Sementara terkait DM tipe-2 di Indonesia, Aman mengatakan kasus DM tipe-2 juga sangat meningkat dari tahun ke tahun terutama saat pandemi. Ketua Pengurus Pusat IDAI Piprim B. Yanuarso bilang, melesatnya angka DM tipe-2 di Indonesia dan seluruh dunia berhubungan dengan gaya hidup manusia modern.

“Penyakit diabetes tipe-2 yang biasanya menyerang orang dewasa yang sudah umur-umur 40 ke atas mungkin ya, sekarang banyak yang menyerang remaja. Jadi lebih cepat lagi kejadiannya, padahal diabetes tipe-2 ini kan penyakit aging ya, terkait dengan penuaan. Ini juga disebut sebagai new lifestyle diseases, penyakit yang terkait dengan gaya hidup baru,” katanya di kesempatan yang sama saat pemaparan oleh IDAI.

Kenaikan kasus DM pada anak baik tipe-1 maupun tipe-2 pun dijumpai di Amerika Serikat (AS). Data yang dirilis Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) dan Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS lewat Morbidity dan Mortality Weekly Report (MMWR) bertanggal 14 Februari 2020 menunjukkan tren kenaikan kasus baru (insiden) diabetes di kalangan anak di bawah 20 tahun dalam kurun waktu 2002 – 2015.

Data menunjukkan bahwa jumlah insiden atau kasus baru diabetes tipe-1 di AS untuk anak di bawah 20 tahun meningkat dari 19,5 per 100.000 jiwa pada 2002-2003 menjadi 22,3 per 100.000 jiwa pada 2014-2015.

Sementara itu, di antara penduduk AS berusia 10-19 tahun, kasus baru tipe-2 meningkat dari 9 per 100.000 jiwa pada 2002-2003 menjadi 13,8 per 100.000 jiwa pada 2014-2015.

Meski kenaikannya dalam 14 tahun tak sampai 2 kali lipat baik pada kasus DM tipe-1 dan tipe-2, jumlah insiden di AS tiap tahun bisa dibilang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi kasus DM pada anak di Indonesia.

Anak-anak Banyak Konsumsi Manis dan Kurang Sayur?

Lain halnya dengan DM tipe-1, Piprim dari IDAI bilang bahwa kasus DM tipe-2 sangat terkait erat dengan pola makan. Dengan kata lain, apabila makanan seorang anak selalu tinggi karbohidrat, tinggi gula, tinggi tepung, apalagi ditambah tinggi minyak, itulah yang menjadi cikal bakal DM tipe-2.

Sebab kata Piprim, jika anak-anak diberi makanan dengan kadar glycemic index yang tinggi berupa makanan cepat saji, gula darah mereka cepat naik kemudian turun drastis.

“Mereka lapar lagi craving [ingin], makan yang seperti itu lagi terus seperti itu, sehingga insulinnya akan diproduksi terus menerus. Insulinnya terus menerus tinggi kadarnya dalam darah, sehingga pankreas bekerjanya terlalu over [berlebih],” terang Piprim, masih pada saat temu media “Diabetes pada Anak.”

Hal ini didukung oleh data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terbaru tahun 2018. Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa anak-anak sering makan makanan instan, mayoritas mengonsumsi 1-6 kali per minggu.

Kelompok usia anak-anak (5-9 tahun, 10-14 tahun, dan 15-19 tahun) juga tercatat paling tinggi kategori konsumsi makanan instan dengan frekuensi 1 kali atau lebih per harinya dibanding kelompok usia lain.

Adapun makanan instan yang dimaksud termasuk mi instan, bubur instan, dan makanan instan lainnya.

Masih bersumber dari Riskesdas, semakin muda golongan usia maka semakin sering pula konsumsi makanan manis. Hal itu terlihat dari persentase kelompok usia 3-4 tahun yang mengonsumsi makanan dengan kadar gula tinggi, sebanyak satu kali atau lebih per hari, mencapai 59,6 persen.

Persentase ini terhitung tinggi dibandingkan 30,9 persen pada kelompok usia lebih dari 65 tahun.

Tren serupa bisa dilihat juga di kategori konsumsi minuman manis. Kelompok usia 3-4 tahun dan 5-9 tahun mencatat persentase paling besar dibanding kelompok usia lain dalam dalam kebiasaan konsumsi minuman manis sebanyak satu kali atau lebih dalam sehari.

Pimprim menyarankan untuk mengutamakan makan makanan protein hewani pada anak-anak dan mengubah gaya hidup seperti terlalu banyak bermain HP dan kurang gerak, minim olahraga, dan kurang tidur. Kebiasaan tersebut akan mempercepat penyakit degeneratif.

“Karena kalau anak-anak kita diberi makanan sehat dengan protein hewani dan sayuran hijau, ini kenyangnya lama. Jadi mereka nggak akan kalap makan snack-snack, karena protein hewani itu mengenyangkan. Ini saya kira satu jalan ya untuk perbaikan new lifestyle,” ujarnya.

Sayang, jika melihat Riskesdas 2018, konsumsi sayur dan buah di kalangan anak-anak nampaknya masih kurang. Persentase untuk kelompok umur 5-9 tahun, 10-14 tahun, dan 15-19 tahun yang tergolong “kurang” makan sayur dan buah masing-masing adalah 96,9 persen, 96,8 persen, dan 96,4 persen. Data ini menunjukkan bahwa proporsi anak-anak yang cukup makan buah dan sayur tak sampai 4 persen keseluruhan populasi anak.

Penduduk dikategorikan “cukup” konsumsi sayur dan buah apabila mengonsumsi sayur dan/atau buah (kombinasi sayur dan buah) minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu.

Minimnya Kesadaran Masyarakat dan Tenaga Ahli

Direktur Eksekutif IPA Aman membeberkan beberapa tantangan pengelolaan kasus DM pada anak di Indonesia, termasuk minimnya tenaga ahli dan kesadaran masyarakat. Ia menjelaskan, dari 37 provinsi di Indonesia, hanya 17 provinsi yang memiliki dokter anak Endokrinologi atau dokter ahli yang menangani masalah kesehatan sehubungan dengan sistem endokrin anak.

Sistem endokrin terdiri dari organ-organ yang berperan sebagai kelenjar endokrin dalam tubuh, di antaranya kelenjar adrenal, paratiroid, indung telur, testis, tiroid, dan pankreas.

Sementara itu, kesadaran masyarakat bisa dimulai dengan mewaspadai gejala DM pada anak meliputi banyak makan, banyak minum, banyak kencing dan mengompol, penurunan berat badan yang drastis dalam 2-6 minggu sebelum terdiagnosis, serta kelelahan dan mudah marah.

Pada DM tipe-2 sering disertai pula dengan adanya kulit menjadi lebih gelap. Resistensi insulin atau gangguan pada kerja insulin menyebabkan beberapa area kulit anak berubah menjadi lebih gelap seperti ketiak dan leher.

Oleh karena peningkatan DM tipe-2 diketahui dipengaruhi oleh obesitas, dilansir Kemenkes, pencegahan bisa dilakukan dengan mempertahankan berat badan ideal. Jika anak memiliki berat badan berlebih, maka upayakan untuk menguranginya sekitar 5-10 persen demi meminimalisasi risiko. Cara pencegahan ini berbeda dengan DM tipe-1 yang tidak dapat dicegah dan siapapun dapat mengalaminya.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty