tirto.id - Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin mengungkap alasan di balik seringnya kandidat mereka mengeluarkan narasi dan diksi menyerang beberapa waktu terakhir. Misalnya, pernyataan “politisi genderuwo” yang disampaikan Jokowi dan pernyataan “buta dan budek” dari Maruf Amin.
Juru Bicara TKN Arya Sinulingga menyatakan, diksi menyerang itu dilakukan Jokowi-Ma'ruf lantaran susahnya pesaing mereka menerima data dan fakta dalam menanggapi isu yang beredar di masyarakat.
Menurut Arya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kerap ngotot mempertahankan argumen tanpa data sehingga mau tak mau Jokowi-Ma'ruf menggunakan diksi-diksi tersebut.
"Jadi itu karena ini dikasi data enggak mau, dikasi bukti enggak mau, ya kami bilang genderuwo ini nakut-nakutin saja. Jadi diksi genderuwo lebih kepada untuk menjawab ketidakmauan mereka terima data dan tetap ngotot terhadap angka-angka yang kami berikan," kata Arya di Posko Pemenangan Jokowi-Ma'ruf, Jakarta, Kamis (15/11/2018).
Politikus Partai Perindo itu juga menyebut, posisi Jokowi sebagai petahana di Pilpres kali ini ikut mempengaruhi berubahnya model komunikasi dia dalam berkampanye dan menanggapi berbagai isu.
Menurut Arya, pada Pilpres 2014 lalu, Jokowi tak sering mengeluarkan diksi yang bertendensi menyerang lantaran tidak berposisi sebagai petahana. Hal sebaliknya berlaku saat ini.
"Bedanya di situ, karena Pak Jokowi sudah melakukan banyak hal, dan apa yang diomongkan mereka [Prabowo-Sandiaga] tidak benar," kata Arya.
"Soal membandingkan dengan 2014, saat itu kan kedua belah pihak posisinya tidak ada yang petahana, karena itu kampanyenya sama-sama menjual kebaikan program. Sekarang ada petahana sehingga ada serangan kepada petahana, sayangnya serangan berupa tadi itu yang tidak berdasarkan data fakta," kata Direktur Komunikasi Politik TKN Usman Kansong menambahkan.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Alexander Haryanto