tirto.id - Bukan satu dua kali Presiden Jokowi menunjukkan kegeramannya di media manakala melihat kinerja investasi di Indonesia yang loyo. Minggu malam (14/7), di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, Jokowi kembali menunjukkannya.
Dalam pidato berdurasi sekitar 23 menit itu, Jokowi tampak berapi-api saat menyampaikan visinya. Sebanyak lima hal utama yang disampaikan Jokowi, investasi salah satunya.
Jokowi mengatakan investasi sangat penting demi membuka lapangan kerja baru. Untuk itu, segala hal yang menghambat investasi harus dipangkas, mulai dari perizinan yang lambat, berbelit-belit hingga persoalan pungli. "Hati-hati, ke depan saya pastikan akan saya kejar, akan saya kontrol, akan saya cek, dan akan saya hajar kalau diperlukan," kata Jokowi yang langsung disambut riuh ribuan warga yang berada di SICC.
Sebelum pidato di Bogor, Jokowi terakhir kali menunjukkan kekecewaannya terkait investasi saat menggelar rapat terbatas di Kantor Presiden pada 19 Juni 2019. Dalam rapat terbatas itu, presiden ditemani sejumlah menteri dan pimpinan lembaga.
Para menteri yang hadir termasuk Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Kemudian, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong.
Kalah dari SBY
Kemarahan Jokowi beralasan. Pasalnya, investasi asing—atau biasa disebut dengan Penanaman Modal Asing (PMA)—yang masuk ke Indonesia selama periode pertama pemerintahannya tidak begitu bagus. Tren pertumbuhan PMA bisa dikatakan stagnan.
Rata-rata pertumbuhan nilai PMA di era Jokowi hanya naik 1 persen per tahun. Capaian mantan Gubernur DKI Jakarta ini jauh lebih rendah saat Indonesia dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang rata-rata pertumbuhannya sekitar 18 persen per tahun.
Pada 2010—awal periode kedua kepemimpinan SBY—realisasi PMA mencapai 16,21 miliar dolar AS. Di akhir jabatan SBY pada 2014, realisasi PMA tercatat mencapai 28,53 miliar dolar AS, atau naik 76 persen.
Sementara itu, Jokowi pada tahun pertamanya sebagai presiden mencatatkan angka realisasi PMA sebesar 29,27 miliar dolar AS pada 2015. Kemudian pada 2018, realisasi PMA mencapai 29,30 miliar dolar AS atau naik tipis sebesar 0,1 persen.
Akademisi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi menilai hasil PMA sejak Jokowi menjabat sebagai presiden hingga saat ini tidak mengherankan lantaran persoalan klasik yang menghambat investasi juga belum tuntas.
"Persoalannya masih itu-itu saja, birokrasi yang berbelit-belit, kebijakan yang tidak konsisten dan lain sebagainya. Di lain pihak, negara tetangga justru yang lebih sigap," katanya kepada Tirto.
Ambil contoh Vietnam. Investasi asing yang masuk ke negara tersebut mencapai 35 miliar dolar AS sepanjang 2018, naik 99 persen dari tahun sebelumnya, sekaligus mengalahkan capaian PMA Indonesia untuk pertamakalinya.
Kekalahan dari Vietnam ini juga sempat membuat geram Jokowi. Sampai-sampai, mantan walikota Solo ini sempat meminta PTSP dan pemda untuk "tutup mata" soal perizinan jika ada investor yang ingin masuk.
Tak hanya investasi yang loyo, jumlah tenaga kerja yang diserap dari investasi asing itu juga semakin menurun setiap tahunnya. Rata-rata penurunan tenaga kerja yang diserap dari PMA itu sebesar 15 persen per tahun.
Pada 2015, nilai PMA sebesar 29,27 miliar dolar AS berhasil membuka sebanyak 930.905 tenaga kerja di Indonesia. Namun pada 2018, nilai PMA sebesar 29,30 miliar dolar AS hanya menyerap 490.368 tenaga kerja, anjlok 47 persen.
Bisa dikatakan, dampak investasi asing terhadap penyerapan lapangan kerja di era Jokowi ini kian tipis. Pada 2015, untuk setiap 1 juta dolar AS yang masuk, lapangan pekerjaan yang terbuka mencapai 32 orang.
Pada tahun-tahun berikutnya, tenaga kerja yang diserap dari setiap PMA senilai 1 juta dolar AS yang masuk ke Indonesia naik turun dengan tren menurun, yakni 33 orang pada 2016, 24 orang pada 2017 dan 17 orang pada 2018.
Sebaliknya, pada masa pemerintahan SBY, dampak PMA terhadap penyerapan tenaga kerja cukup konsisten. Selama periode kedua SBY, tenaga kerja yang diserap untuk 1 juta dolar AS yang masuk ke Indonesia selalu di atas 30 orang.
Namun, semakin tipisnya tenaga kerja yang diserap dari PMA sebetulnya sudah diprediksi sejak satu dekade yang lalu. Produktivitas tenaga kerja dalam negeri yang sulit meningkat, termasuk kebijakan upah buruh menjadi salah satu penyebab utama.
"Labour cost kita kurang kompetitif, sehingga investor itu menghindari padat karya. Apalagi, pertumbuhan produktivitas SDM kita juga tidak sesuai dengan kenaikan upah. Produktivitas pekerja manufaktur, misalnya, naik 2-3 persen per tahun, sementara upah itu bisa naik 8-10 persen," tutur Faisal.
Tren investasi asing yang semakin padat modal juga diakui European Business Chambers of Commerce (EuroCham) Indonesia, selaku asosiasi yang menaungi perusahaan-perusahaan asal Eropa yang memiliki kepentingan bisnis di Indonesia.
Menurut organisasi kamar dagang Uni Eropa, Eurocham, terdapat sejumlah sektor yang menjadi sasaran perusahaan-perusahaan asal Eropa di Indonesia seperti sektor otomotif, logistik dan farmasi, di mana ketiga sektor itu merupakan sektor padat modal.
"[Perusahaan] Eropa memang lebih ke padat modal, jadi tidak perlu banyak pekerja. Tapi, cari pekerja yang ber-skill juga tidak mudah di Indonesia," kata Eka Wahyuni, Project & Adcovacy Manager Eurocham kepada Tirto.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara