tirto.id - Plt Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat dilantik menjadi Gubernur DKI oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Kamis (15/6/2017). Djarot akan menjadi Gubernur DKI Jakarta ke-18, masa jabatannya merupakan yang paling singkat dalam sejarah yakni hanya 3,5 bulan. Djarot akan digantikan Anies Baswedan yang merupakan pemenang Pilkada DKI 2017.
Djarot naik menjadi Plt Gubernur setelah Gubernur DKI sebelumnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok divonis hukuman dua tahun penjara atas kasus penodaan agama. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pun memerintahkan agar terdakwa Ahok ditahan.
Mengacu pada Pasal 65 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka kepemimpinan sehari-hari Pemprov DKI mesti diberikan pada Djarot. Alhasil Djarot pun diangkat sebagai Plt (Pejabat sementara).
Ahok bisa saja kembali jadi gubernur jika bandingnya ke Pengadilan Tinggi diterima oleh hakim, namun dia malah mencabutnya pada 22 Mei lalu. Selang sehari kemudian, Ahok pun mengirimkan surat pengunduran diri dari jabatan Gubernur DKI ke Kemendagri.
Mundurnya Ahok otomatis membuat posisi Djarot sebagai Gubernur definitif tidak akan tergantikan sampai masa kepemimpinan Ahok-Djarot selesai bulan Oktober. Dan posisi Gubernur definitif itu akhirnya diresmikan hari ini.
Jika Djarot terus melanjutkan status sebagai Plt maka ada beberapa hal yang tidak bisa dilakukan. Dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan (UUAP) batasan-batasan ini diatur. "Plh atau Plt melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian termaktub dalam Pasal 34 ayat 2 UU tersebut.
Pasal ini amat rancu karena tidak merinci secara detail pembatasan tugas dan wewenang. Beruntunglah pembatasan ini lalu diperjelas dalam beleid surat Badan Kepegawaian Negara (BKN) No. K.26.30/V.20.3/99 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian. Surat ini dibuat tanggal 5 Februari 2016.
Dalam surat itu disebutkan “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran”.
Dari penjelasan pada akhir kalimat di atas itu artinya Djarot tidak berhak melakukan perubahan status kepegawaian, baik itu mengangkat, merotasi atau memecat pegawai di lingkungan pemprov DKI.
Seperti diketahui pada awal Mei lalu, Kejaksaan Agung menetapkan Kepala Suku Dinas Tata Air Jakarta Utara, Herning Wahyuningsih dan Kepala Satuan Pelaksana Badan Air Kota Administrasi Jakarta Barat Pahala Tua sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek pengendalian banjir di Suku Dinas Pekerjaan Umum Tata Air Jakarta Pusat (Jakpus) tahun anggaran 2013. Keduanya merugikan negara sekitar Rp92,2 miliar dalam tahun anggaran 2013 hingga 2015.
Dalam Undang-undang Aparatur Sipil Negara Nomor 5 Tahun 2014, PNS yang terjerat kasus hukum statusnya akan diberhentikan sementara. Tidak peduli sudah ditetapkan sebagai terpidana sekalipun status si PNS itu tetap pemberhentian sementara.
Dalam kasus ini, kepada media Djarot ingin memecat dua PNS ini jika keduanya terbukti melakukan korupsi. "Kalau betul-betul sudah terbukti, maka dia harus kami proses, dipecat sebagai kasudin. Kalau semua terbukti betul maka akan kami tingkatkan, kami usulkan pemberhentian sebagai PNS," ujar Djarot di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Rabu (10/5).
Sepekan lalu, sseorang PNS Pemkot Jakpus EM ditangkap Satgas Pidana Khusus Kejari Jakarta Selatan karena diduga melakukan pungli terhadap sejumlah pengusaha makanan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dia mengancam akan melakukan penertiban dan tempat usaha tak berizin jika sejumlah uang yang diminta tidak diberikan oleh para pengusaha.
Kepada awak media, Djarot pun mengaku sedang memproses pemecatan ini. "Kalau pungli, proses saja kalau terbukti ya diberhentiin. Beberapa kali aku ngomong, kalau terbukti pungli terus menerus ya sudah kami akan ajukan berhenti," katanya.
Berdasarkan aturan BKN, jika status Djarot masih sebagai Plt maka ketiga PNS ini tidak bisa dipecat olehnya.
Selain berkutat soal pengangkatan, mutasi dan pemecatan pegawai. Status Plt pun membuat Djarot tidak bisa menandatangani perencanaan anggaran. Lantas andai status Plt tidak segera dinaikan lalu siapa yang akan menandatangi APBD-Perubahan Pemprov DKI 2017 jika tidak selain Djarot.
Lalu bagaimana dengan Soni Sumarsono? Bukankan pejabat Kemendagri yang sempat jadi Plt Gubernur pengganti Ahok itu juga bisa menandatangani APBD 2016 saat Ahok cuti kampanye. Kasus Soni tentu berbeda dengan Djarot.
Khusus menghadapi Pilkada serentak 2017, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Permen khusus, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 74 tahun 2016. Dalam Permen ini, Plt kepala daerah diperbolehkan menandatangani Perda APBN dan melakukan penggantian atau pengisian pejabat setelah mendapat persetujuan menteri. Aturan ini tidak berlaku saat ini, karena Ahok absen tidak untuk urusan Pilkada namun karena jerat pidana.
Tidak hanya soal APBD, status Plt pun akan menghambat Djarot mengeluarkan Pergub atau Perda. Sebelum masa jabatannya berakhir Djarot sedang menggodok beberapa Pergub di antaranya Pergub Angkutan Online, Pergub Pembebasan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) di bawah Rp2 miliar dan Pergub visum gratis bagi korban kekerasan rumah tangga (KDRT) di Puskesmas dan RSUD milik Pemprov. Selain itu Djarot pun bersikukuh membuat Perda Pengelolaan RPTRA yang kini sedang diperdebatkan di DPRD.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti