tirto.id - Indonesia memiliki 133,54 juta perempuan dan hampir tiga perempat (70,34 persen) berada di usia produktif, yakni 15-64 tahun, menurut Sensus Penduduk 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Artinya, perempuan memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.
Peran ini tercermin pula dalam komposisi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Sekretariat Kabinet menyebut dalam siaran persnya bahwa 64 persen pelaku UMKM Indonesia adalah perempuan. Artinya, upaya untuk memberdayakan UMKM akan memberdayakan perempuan pula.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun melalui salah satu pidatonya pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Roma, Italia, pada 30 Oktober 2021 lalu, mengatakan bahwa G20 harus terus mendorong penguatan peran UMKM dan perempuan melalui sejumlah aksi nyata, mengutip siaran pers yang sama.
“Pertama, meningkatkan inklusi keuangan UMKM dan perempuan. Inklusi keuangan adalah prioritas Indonesia. Indeks keuangan inklusif kami telah mencapai 81 persen dan kami targetkan mencapai 90 persen di tahun 2024,” jelas Presiden Jokowi.
Jokowi mengatakan bahwa digitalisasi adalah kunci penggerak (key enabler) ekonomi Indonesia di masa pandemi, terutama e-commerce dengan nilai yang akan mencapai 24,8 miliar dolar Amerika Serikat (AS) tahun 2021. Ia mengklaim bahwa 54 persen dari 8,4 juta UMKM Indonesia yang memasuki ekosistem digital merupakan perempuan.
Kendati demikian, bagaimana kenyataan inklusi keuangan bagi perempuan di Indonesia, termasuk untuk layanan finansial digital? Apa saja yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan tersebut? Lalu apa rekomendasi berbagai pihak untuk mengembangkan layanan keuangan yang inklusif bagi perempuan?
Semakin Inklusif, Tetapi Belum Setara
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat dalam Strategi Nasional Literasi Keuangan 2021-2025 bahwa inklusi keuangan sejak 2013 meningkat. OJK mendefinisikan inklusi keuangan sebagai sebuah kondisi ketika setiap anggota masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan formal.
Survei Financial Inclusion Insights (FII) pada 2018 pun menunjukkan bahwa kepemilikan rekening sudah hampir setara antara antara perempuan dan laki-laki pada 2017. Hal ini kontras dengan kondisi pada 2014 ketika lebih dari 34 persen laki-laki memiliki rekening di Indonesia sementara baru sekitar 28 persen perempuan memiliki rekening pada waktu itu.
Namun, OJK dalam data yang sama mencatat bahwa inklusi keuangan perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, meskipun kesenjangan tersebut mengecil pada 2019. Indeks inklusi keuangan laki-laki pada 2019 berada di 77,2 persen, sedangkan indeks tersebut pada perempuan sebesar 75,2 persen.
Untuk layanan keuangan digital, Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) mengutip survei FII pada 2020 dalam artikelnya yang menunjukkan bahwa 56 persen laki-laki “siap secara digital” namun hanya 50 persen perempuan yang memiliki kesiapan yang sama. Seseorang “siap secara digital” jika mereka memiliki ponsel cerdas dan dapat menggunakannya untuk mengunduh aplikasi dan menjelajahi web.J-PAL menambahkan bahwa ketidaksetaraan gender dapat menciptakan kendala waktu dan mobilitas, sehingga menghambat akses layanan keuangan bagi perempuan. Rendahnya literasi keuangan, kemampuan, dan kesiapan digital juga masih menghambat perempuan untuk mengadopsi layanan keuangan digital, terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan dan berpenghasilan rendah.
OJK mencatat, terdapat jarak antara indeks literasi (36,13 persen) dan inklusi keuangan (75,2 persen) untuk perempuan. Artinya, terdapat sekitar 75 orang dari setiap 100 perempuan yang memiliki akses layanan keuangan formal namun hanya sekitar 36 orang yang memiliki tingkat literasi yang tinggi.
“Seiring dengan perkembangan layanan keuangan digital di Indonesia, upaya untuk menutup kesenjangan ini perlu terus dilakukan agar manfaat layanan keuangan digital juga dapat dirasakan oleh perempuan,” ungkap J-PAL dalam artikel yang sama.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengatakan bahwa budaya yang cenderung mendorong perempuan untuk tidak bekerja di Indonesia memengaruhi kebutuhan terhadap rekening bank, sehingga inklusi keuangannya pun lebih rendah dibandingkan laki-laki.
BPS mencatat, persentase tenaga kerja perempuan dalam sektor formal selalu lebih rendah dibandingkan laki-laki sejak 2015. Per Agustus 2021, BPS juga mencatat bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan (53,34 persen) juga jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki (82,41 persen).
"Akhir-akhir ini, kebutuhan pekerja semakin banyak, makanya mereka membutuhkan rekening bank. Makanya angka inklusi keuangan untuk kaum perempuan naik namun memang startnya lebih rendah dibandingkan laki-laki," ucapnya.Aksi Nyata?
Indonesia meluncurkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif Perempuan (SNKI Perempuan) pada 9 Juni 2020 untuk memastikan bahwa semua perempuan di Indonesia memiliki pengetahuan, kapasitas, sumber daya dan peluang untuk mencapai dan menikmati pemberdayaan ekonomi, jelas Agustina Erni, Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
“Keberadaan SNKI Perempuan semakin menegaskan bahwa segmen perempuan sebagai salah satu segmen prioritas untuk mencapai target inklusi keuangan 90 persen pada tahun 2024,” ujar Agustina dalam konferensi daring pada 17 Desember 2021.
Ia menambahkan, SNKI Perempuan berupaya meningkatkan jumlah keluarga penerima manfaat yang “lulus” dari Program Keluarga Harapan. SNKI ini juga hendak mengurangi kesenjangan gender di pasar kerja, mengadopsi definisi nasional tentang usaha yang dimiliki atau dipimpin perempuan, serta mendukung perempuan untuk mengejar peluang bekerja bagi yang belum bekerja.
Sebelumnya, Indonesia pernah meluncurkan Program Produktif Usaha Mikro sebesar 1,1 miliar dolar AS dengan 63,5 persen diantaranya diterima pengusaha perempuan, mengutip siaran pers. Khusus untuk pengusaha perempuan mikro dan ultra-mikro, Indonesia mengembangkan skema permodalan khusus yang disebut program "Mekaar" (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera).
“Dalam Bahasa Inggris, mekar berarti to grow, to blossom. Melambangkan semangat bagi tumbuh berkembangnya peran ekonomi perempuan,” imbuh Jokowi dalam pidatonya di G20 pada 30 Oktober 2021.
Jokowi memaparkan dalam pidatonya di G20 pada 30 Oktober 2021 bahwa “hingga saat ini” terdapat lebih dari 10,4 juta nasabah Mekaar dengan total pembiayaan 1,48 miliar dolar AS dan kredit macet yang rendah, yakni 0,1 persen.
Jalan Menuju Inklusi?
Menanggapi upaya pemerintah, Nailul dari INDEF berharap pinjaman Mekaar tidak akan menjadi pendanaan utama bagi UMKM, melainkan sebagai batu loncatan hingga mereka dapat memenuhi persyaratan kredit bank (bankable). Menurut Nailul, UMKM yang bankable menunjukkan bahwa mereka memiliki catatan keuangan yang bagus dan mampu membayar hutangnya.
Menurutnya, bank-bank saat ini masih sulit memberikan kredit UMKM karena risikonya tinggi. "Inklusi keuangan itu bukan cuman mereka dikasih duit dari Mekaar namun [mereka] bisa berkembang, pelaku UMKM bisa dipercaya oleh bank," ungkap Nailul.
Ia juga menekankan pentingnya memadukan SNKI Perempuan dengan upaya menciptakan penghasilan bagi perempuan melalui layanan ekonomi digital, terutama e-commerce, seiring menurunkan kesenjangan digital sebagai solusi yang berkelanjutan.
Kenyataanya, hanya 17 persen UMKM yang dikelola perempuan dalam survei FII melakukan transaksi melalui e-commerce, sebutJPAL dalam keterangan tertulisnya. Artinya, masih ada ruang untuk meningkatkan pemanfaatan e-commerce bagi perempuan yang memiliki UMKM di Indonesia.
Survei tersebut menemukan bahwa UMKM dengan pengalaman e-commerce mempunyai kemungkinan lebih besar untuk memiliki antara lain rekening keuangan formal, kartu debit dan internet banking daripada UMKM yang dikelola perempuan tanpa pengalaman e-commerce, menukil artikel yang sama.
J-PAL dalam artikelnya terpisah juga mendorong peningkatan literasi keuangan atau adopsi pembayaran digital khusus untuk perempuan. Pemerintah juga dapat menambah variasi pinjaman yang dapat diberikan untuk pemilik bisnis perempuan.
Pengumpulan data terpilah gender dan pengukuran dampak dari program pemberdayaan perempuan juga perlu dilakukan, tambah J-PAL.
“Hal ini penting agar para pemangku kebijakan memahami apakah program yang telah dijalankan menghasilkan perbaikan kesejahteraan dan taraf hidup yang berarti bagi perempuan,” ungkap lembaga ini.
Editor: Farida Susanty