Menuju konten utama

Mengalirkan Layanan Keuangan untuk Perempuan hingga ke Tepian

Perempuan kunci untuk capai target 80% kepemilikan rekening di Indonesia tahun 2024. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi digital menjadi penopangnya.

Mengalirkan Layanan Keuangan untuk Perempuan hingga ke Tepian
Suasana Seminar Nasional "Kolaborasi dan Inovasi untuk Keuangan Inklusif bagi Perempuan". (FOTO/Istimewa)

tirto.id - Mbak Sih (47), pedagang daging di pasar tradisional Arjasa, Jember, Jawa Timur tidak pernah memiliki rekening tabungan seumur hidupnya. Seluruh keperluan keuangan, mulai dari membayar biaya pendidikan anak hingga arisan, dibayar dengan uang tunai. Aplikasi perbankan di ponsel adalah makhluk asing baginya.

Beragam alasan muncul ketika Mbak Sih ditanya perihal mengapa ia tidak pernah memiliki rekening. Pertama, kebiasaan ini adalah turun-temurun dari leluhurnya, yang selalu menyimpan uang di dekatnya. Entah di bawah kasur atau di dompet. Kedua, dia takut suatu hari uangnya bisa hilang. Ketiga, Mbak Sih tahu kalau menabung di bank akan kena potongan.

“Kan mending saya naruh uang di celengan atau di dompet saja, Mas. Gak akan kurang,” katanya.

Namun metode ini bukannya tanpa perkara. Dia sering kali tidak mampu melacak pendapatannya, seperti ke mana uang hasil penjualan daging minggu lalu. Mbak Sih hanya bergantung pada ingatannya, yang tergerus seiring waktu.

Mbak Sih adalah potret dari banyak perempuan di pasar tradisional, terutama di luar kota-kota besar, yang berada di tepian luar layanan keuangan: tanpa akses, literasi, dan informasi. Laporan Pelaksanaan SNKI 2023 melaporkan bahwa perempuan masih tertinggal dari laki-laki dalam hal kepemilikan rekening. Tingkat kepemilikan akun perempuan adalah 74,3 persen, sedangkan laki-laki 78,3 persen. Kesenjangan juga tampak antara desa dan kota. Di mana tingkat kepemilikan akun di perdesaan mencapai 70,7 persen dan di kota 80,3 persen.

Menurut Deputi I Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan, perempuan berperan penting dalam upaya Pemerintah Indonesia untuk mencapai target kepemilikan rekening sejumlah 80 persen di tahun 2024. Urgensi ini juga didasarkan bahwa perempuan memang kurang terlayani, atau kurang mendapat akses ke berbagai layanan keuangan ketimbang laki-laki.

Guna memperluas akses layanan keuangan perempuan, pemerintah meluncurkan Satuan Tugas (Satgas) Jejaring Advokasi Inklusi Keuangan Digital Perempuan di Jakarta, Rabu (13/11), yang dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Ferry Irawan dan Kepala Departemen Ekonomi Keuangan Inklusif dan Hijau Bank Indonesia Anastuty Kusumawardhani.

Dalam peluncuran tersebut Kemenko Perekonomian berkolaborasi dengan sejumlah pihak yakni Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Women’s World Banking.

Satgas sendiri telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 6 Tahun 2024, dan melingkupi bidang kerja akses dan layanan keuangan, layanan keuangan digital serta teknologi informasi, dan pemanfaatan data terpilah berdasarkan jenis kelamin.

“Keberadaan Satuan Tugas ini menjadi wadah koordinasi, komunikasi sekaligus pemantauan dan evaluasi agar semua pihak yang terlibat dapat belajar dari satu sama lain. Kolaborasi dan inovasi menjadi kunci penting agar kita bisa menghasilkan kebijakan-kebijakan yang lebih berdampak pada inklusi keuangan perempuan,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Ferry Irawan saat membuka peluncuran Satgas Jejaring Advokasi Inklusi Keuangan Digital Perempuan dalam Seminar Nasional “Kolaborasi dan Inovasi untuk Keuangan Inklusif bagi Perempuan.”

Pendekatan Menyeluruh untuk Kesejahteraan Finansial

Upaya untuk mencapai inklusi keuangan perlu dijalankan dengan mempertimbangkan juga aspek penting seperti peningkatan pendapatan perempuan.

Direktur Inklusi Keuangan OJK Edwin Nurhadi, dalam paparannya, menyebutkan tiga tahapan dalam piramida kesejahteraan sosial untuk mencapai inklusi keuangan. Di bagian pondasi, ada literasi keuangan. Dalam tahapan ini, perempuan harus memahami karakteristik jasa layanan keuangan, mulai dari hak, manfaat, hingga mekanisme pengaduan andai terjadi satu kesalahan.

Di bagian tengah ada inklusi keuangan. Di tahap ini, tujuannya adalah para perempuan bisa mengakses produk/ layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan atau kemampuan. Sedangkan di puncak piramida adalah pemberdayaan finansial. Di titik ini, diharapkan penggunaan layanan keuangan ini bisa memberikan kesempatan dan peluang ekonomi.

“Nantinya katakanlah ada kredit yang digunakan untuk permodalan, untuk UMKM perempuan, jadinya ada peningkatan pendapatan. Dan kami juga berharap peningkatan pendapatan, ada juga peningkatan pengeluaran, untuk kesehatan, pendidikan, dan investasi. Pada akhirnya, semua ini bermuara pada kesejahteraan finansial,” kata Edwin.

Untuk memastikan terpenuhinya layanan keuangan, perlu juga dilihat aspek permintaan dan penawaran akan layanan keuangan. Riset Women’s World Banking (2024) terkait akses dan layanan keuangan untuk perempuan perdesaan menemukan serangkaian tantangan dari sisi penawaran dan permintaan yang membatasi perempuan yang kurang terlayani dan belum terlayani untuk terlibat secara aktif dan bermakna dalam layanan keuangan formal.

Body Artikel SC WWB 2
Vitasari Anggraeni - Deputy Director of Policy, Southeast Asia pada acara peluncuran Satgas Jejaring Advokasi Inklusi Keuangan Digital Perempuan. (FOTO/Istimewa)

Di sisi penawaran, tantangan operasional, masalah konektivitas, dan buruknya infrastruktur membatasi kemampuan penyedia jasa keuangan untuk terhubung dengan nasabah dengan cara yang sama seperti yang mereka lakukan di wilayah dengan kepadatan penduduk lebih tinggi. Di sisi permintaan, meskipun terdapat kepercayaan yang tinggi terhadap sistem keuangan, perempuan harus berjuang menghadapi mobilitas, keterbatasan waktu, kesadaran, dan kurangnya interoperabilitas antar tawaran layanan yang terbatas.

Terkait sisi permintaan layanan keuangan, beberapa inisiatif telah dilakukan Jejaring Advokasi Inklusi Keuangan Digital Perempuan melalui anggota-anggotanya. Women’s World Banking, salah satunya bermitra dengan organisasi masyarakat sipil untuk membangun literasi dan kecakapan keuangan digital perempuan. Pelatihan ini juga mencoba membangun kepercayaan diri perempuan untuk mengenal dan menggunakan layanan keuangan, yang selama ini dianggap berjarak.

Melalui organisasi Rahima, misalnya, literasi dan inklusi keuangan disampaikan melalui ulama perempuan melalui kegiatan pengajian. Menurut Direktur Rahima Pera Sopariyanti, pandangan terhadap perbankan di perdesaan harus diubah dengan perlahan. Para ulama perempuan adalah ujung tombak yang bisa memberikan literasi keuangan kepada perempuan di perdesaan, atau di daerah di mana resistensi masyarakat terhadap layanan keuangan konvensional masih tinggi.

“Ulama perempuan yang menerima pendampingan Rahima menggunakan pendekatan yang humanis, yang adil gender. Menurut saya, komunitas mereka ini khas dan unik. Mereka sudah berhasil memberikan inspirasi, bagaimana komunitas majelis taklim ini menjadi sebuah gerakan yang bicara hal yang nyata terkait ekonomi, yang dihadapi sehari-hari,” kata Pera.

Perkuat dan Perluas Digitalisasi

Inisiatif yang sudah berlangsung ini akan terus dikawal melalui Satgas. Salah satu isu yang akan diperkuat adalah digitalisasi, mengingat potensinya untuk melintasi batas-batas geografis dan memastikan layanan keuangan yang bisa diakses hingga ke pelosok.

Deputi Direktur Kebijakan Asia Tenggara Women’s World Banking Vitasari Anggraeni mengatakan bahwa digitalisasi untuk UMKM perempuan, termasuk perempuan disabilitas dan perdesaan menjadi prioritas ke depannya. “Riset Women’s World Banking menemukan bahwa perempuan di perdesaan menjadi ujung tombak di mana layanan keuangan dapat diperluas. Dengan kolaborasi multipihak, kita bisa mengeksplorasi lebih lanjut aksi-aksi yang tepat untuk mencapai tercapainya inklusi keuangan,” ujarnya.

Peluncuran Satgas adalah kerja multipihak yang bibitnya telah disemai sejak tahun 2022 melalui kerja sama dengan pemerintah, penyedia layanan jasa keuangan, organisasi masyarakat sipil, dan mitra pembangunan. Dari ini lahir beragam inisiatif seperti literasi keuangan bagi perempuan, lokakarya inklusi disabilitas untuk penyedia layanan jasa keuangan, dan dialog kebijakan lintas sektor.

Aksi-aksi ini akan diamplifikasi agar menyentuh dan berdampak bagi lebih banyak perempuan. Dengan demikian, perempuan seperti Mbak Sih memiliki alat dan kapasitas untuk mencatat dan merencanakan keuangannya, serta mengembangkan usahanya, agar ia lebih berdaya dan percaya diri menatap masa depan.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis