tirto.id - Ketika Buce Watimena memulai karirnya 12 tahun yang lalu sebagai guru SMA di kota Ambon, Maluku, koneksi internet dan kepemilikan gawai seperti ponsel merupakan hal mewah dan langka. Jangankan internet, sinyal telepon saja pada saat itu sangat lambat dan hanya tersedia di daerah-daerah tertentu.
Kondisi saat ini sudah jauh berbeda. Sebagian besar muridnya sudah mempunyai gawai masing-masing dengan akses internet dan jaringan seluler yang mencukupi, meskipun masih belum merata di seluruh kota Ambon.
Pandemi menjadi titik loncatan pula bagi guru-guru di sekolahnya untuk beradaptasi dengan pembelajaran jarak jauh. Para guru yang dulu melakukan pengajaran tatap muka, kini menyampaikan materi pembelajaran lewat Google Classroom dan alat daring serupa.
"Pandemi ini mengajarkan kita, mau tidak mau, sebagai guru, kita harus bisa beradaptasi dengan kemajuan teknologi, meskipun di tengah kekurangan," ujar Buce, yang saat ini berumur 40 tahun, kepada Tirto, Senin (21/6/2021).
Memang, tidak semua masyarakat menikmati perkembangan yang sama. Oktariyadi, seorang guru SD di Desa Belatung, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, mengatakan bahwa tidak ada koneksi internet di sekolahnya maupun di dusun tempat tinggal siswa-siswinya. Jaringan telepon pun hanya tersedia di tempat-tempat tertentu, sedangkan koneksi internet terdekat yang disediakan sebuah perusahaan swasta berjarak sekitar 2 kilometer dari sekolah.
"Belajar jarak jauh susah," ucapnya kepada Tirto, Senin (21/6/2021). Alhasil, guru-guru pun harus meminta murid-muridnya untuk datang ke sekolah sekali seminggu untuk mengumpulkan atau menerima tugas dari guru, serta untuk menerima pemberitahuan dari sekolah.
Bercermin dari cerita-cerita tersebut, bagaimana sebenarnya kondisi pemerataan akses teknologi informasi dan telekomunikasi (TIK) secara nasional dan apa saja tantangan-tantangannya? Kemudian, apa saja yang telah dilakukan pemerintah untuk menangani masalah ini dan apa saja yang bisa jadi pembelajaran untuk Indonesia?
Tumbuh Pesat, Tapi Belum Merata
Survei Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan bahwa 73,75 persen rumah tangga Indonesia mengakses internet pada 2019, atau naik hampir dua kali lipat dari 2015, yakni sekitar 41,98 persen. Pertumbuhan penggunaan internet ini diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk yang menggunakan telepon seluler, walaupun rumah tangga yang memiliki komputer dan telepon tetap cenderung menurun.
Data ini sejalan dengan temuan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang menemukan bahwa selama periode 2019-2020 kuartal kedua saja, terdapat 25,5 juta pengguna internet baru di Indonesia. Kebanyakan responden mengakses internet melalui ponsel pintar, dibanding dengan perangkat lainnya.Di Asia Tenggara, tingkat adopsi internet Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga di kawasan, dengan angka 73,3 persen, menurut laporan We Are Social dan Hootsuite pada Januari 2021. Indonesia hanya berada di belakang Singapura dan Malaysia dalam tingkat adopsi internet di Asia Tenggara.
Kendati berkembang dengan pesat, pemanfaatan TIK masih belum merata. Menurut data BPS, persentase rumah tangga di perkotaan yang memiliki atau menguasai komputer hampir tiga kali lipat dari pedesaan. Kesenjangan ini pun terjadi untuk indikator-indikator TIK lainnya.Sementara itu, APJII menemukan bahwa pengguna Internet di pulau Jawa berkontribusi kepada lebih dari separuh (55,7 persen) terhadap penetrasi internet di Indonesia. Jika dilihat menurut provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki jumlah pengguna internet tertinggi, sadangkan Papua Barat, Gorontalo dan Kalimantan Utara memiliki jumlah pengguna internet terendah.
Secara regional, Indonesia menduduki peringkat 5 dari 9 negara Asia Tenggara dan ke-66 secara global dalam Inclusive Internet Indexpada 2021. Skor Indonesia untuk indikator "keterjangkauan harga" (Affordability) dan "kesiapan" (Readiness) relatif rendah jika dibandingkan indikator lainnya.
Secara global, dalam keterjangkauan harga, Indonesia berada di posisi ke-84, di bawah Kamboja di posisi 82 dan Singapura di posisi 27. Sedangkan untuk kesiapan, Indonesia berada di posisi ke-74, di bawah Vietnam di posisi 52 dan Malaysia di posisi 6. Artinya, Indonesia masih relatif mengalami ketertinggalan dalam menerapkan internet yang inklusif jika dibandingkan beberapa negara tetangga.
Pengamat telekomunikasi dari Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Nonot Harsono menjelaskan bahwa tidak meratanya akses digital di Indonesia disebabkan oleh masalah perencanaan dan pendataan, yang berhubungan dengan kurangnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam penggelaran jaringan telekomunikasi.
Pasalnya, keterbatasan data survei lapangan mempersulit operator swasta untuk menghitung biaya penggelaran infrastruktur di suatu daerah. Padahal, operator telekomunikasi perlu mencari cara agar bisa balik modal, mengingat besarnya biaya yang dikeluarkan untuk menggelar kabel di wilayah yang luas dengan penduduk yang sedikit. Alhasil, penggelaran kabel dan stasiun pemancar (BTS) untuk jaringan seluler dan internet pun tidak merata.
“Sudah sulit dijangkau, setelah [operator] ada di situ, enggak laku juga pulsanya,” jelas Nonot kepada Tirto, Kamis (18/6/2021). Ia berkata, selain daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T), banyak daerah di Indonesia memiliki potensi besar untuk dipasangkan internet, seperti sentral-sentral perkebunan atau pariwisata.
Kebijakan Pemerintah
Untuk mendukung pembangunan infrastruktur TIK, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate pada 5 April 2021 menyebut akan membangun jaringan 4G di wilayah 3T. Johnny menjelaskan bahwa 12.548 desa saat ini masih belum memiliki akses jaringan internet 4G.
Ia mengatakan dalam pembukaan Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia bahwa Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) sendiri akan membangun jaringan ini di 9.113 desa. Sementara itu, sisa 3.435 desa dan kelurahan di wilayah komersial akan menjadi komitmen operator seluler.
"Kami menuntut dan minta operator seluler untuk memastikan komitmen ini dilaksanakan berbarengan supaya selesai pada tahun 2022. Sehingga dengan demikian, pembangunan infrastruktur TIK kita lebih cepat 10 tahun dari rencana awal di tahun 2032," tandasnya, dilansir dari siaran pers.
Kominfo pun menggelar dan memilih teknologi digital sesuai dengan kebutuhan dan topografi yang beragam di Indonesia untuk pembiayaan infrastruktur yang optimal, kata Johnny. Saat ini, pemerintah mempunyai antara lain jaringan serat optik (fiber optic) sepanjang 342.249 kilometer di darat dan di laut, termasuk 12.200 kilometer dari proyek Palapa Ring.
Menukil situs Kominfo, Palapa Ring merupakan proyek infrastruktur telekomunikasi berupa pembangunan serat optik di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 kilometer. Jaringan ini diharapkan menjadi tumpuan penyelenggara telekomunikasi dan pengguna jasa telekomunikasi. Jaringan ini diharapkan pula akan terintegrasi dengan jaringan penyelenggara telekomunikasi.
Ke depannya, Kominfo juga akan menambah satu satelit baru dari 9 satelit yang ada. Satelit teranyar ini dinamakan SATRIA 1, yang nantinya akan memiliki kapasitas 150 Gbps, atau tiga kali lipat kapasitas dari satelit-satelit yang saat ini digunakan. Proyek SATRIA 1 diharapkan akan rampung pada kuartal ketiga dan keempat tahun 2023.
Dari sisi pembiayaan, Johnny mengatakan bahwa pemerintah mengalokasikan anggaran untuk untuk mendukung pembangunan infrastruktur di wilayah 3T. Pembiayaan juga dilakukan lewat sektor privat, operator telekomunikasi dan dana Universal Service Obligation yang dipungut Kominfo, ujar Johnny.
Menukil dari siaran pers Presiden RI terkait keterangan pemerintah atas RUU APBN 2021, pemerintah telah menganggarkan Rp 30,5 triliun di tahun anggaran 2021 untuk akselerasi transformasi digital dan mewujudkan inklusi masyarakat dengan tambahan akses internet pada sekitar 4.000 desa dan kelurahan di daerah 3T.
Pemerintah pun sudah memberikan insentif regulasi bagi operator seluler untuk menggelar di wilayah non 3T. “Melalui percepatan demi percepatan pembangunan infrastruktur, senantiasa dilakukan sampai dengan tahun 2024 nanti,” ungkap Johnny.
Solusi Pemerataan TIK
Kendati kebijakan yang ada, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya. Sebagai contoh, jaringan fiber optic Palapa Ring masih tidak dipakai secara maksimal sejak diresmikan pada 2019.
Mengutip Berita Satu, per 28 Februari 2021, tingkat utilisasi atau pemanfaatan Palapa Ring untuk Palapa Ring Barat mencapai 36,67 persen (fiber optic), Palapa Ring Tengah sebesar 20,33 persen (fiber optic) dan Palapa Ring Timur sebesar 17 persen untuk fiber optic dan 47,27 persen untuk jaringan dari teknologi microwave.
Direktur ICT Institute Heru Sutadi menjelaskan, mahalnya harga sewa Palapa Ring menyulitkan operator untuk membangun jaringan hingga ke desa-desa, sehingga utilisasinya rendah. Pasalnya, Palapa Ring kini hanya menghubungi jaringan hingga ke ibu kota dan kabupaten saja. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya menurunkan harga sewa agar terjangkau bagi para operator seluler, terutama di Indonesia Timur, sehingga penggelaran jaringan pun dapat terealisasi.
Namun, ia tetap mengapresiasi upaya pemerintah yang mengalokasikan anggaran untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan. Harapannya, pembangunan infrastruktur ini dapat dipercepat dan melalui perencanaan yang matang.
“Jadi kalau kita misalnya mau bersaing dengan negara lain, mau menjadi negara besar, mau tidak mau mengadopsi ekonomi digital. Dan untuk sukses, infrastrukturnya harus dibenahi,” ujar Heru kepada Tirto, Kamis (17/6/2021).
Senada dengan pernyataan Heru, Nonot dari Mastel pun mendorong adanya perencanaan yang berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui rencana penggunaan yang detil. Contoh, jika jaringan internet dibangun untuk puskesmas, perlu dirinci tujuan penggunaan internet di puskesmas tersebut.
Selain itu, perencanaan harus dijadwalkan dengan matang. Sebab, kabel-kabel yang terpasang di dalam laut dapat membusuk dan satelit hanya dapat digunakan selama 15 tahun, ungkap Nonot. Penjadwalan ini disertai koordinasi yang lebih harmonis antara pemerintah daerah dan pusat terkait pendataan wilayah yang belum terjangkau akses TIK.
Secara umum, pemerataan akses ini penting dalam memenuhi hak seluruh warga Indonesia. “Kalau tidak ratanya antara kota dan desa, berarti kita telah mengurangi hak warga desa untuk mendapatkan akses informasi dan komunikasi,” ungkap Nonot.
Editor: Farida Susanty