tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meneken peraturan tentang larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan modern sampai pedagang kecil, Desember kemarin. Peraturan akan resmi berlaku pada 1 Juli 2020.
Plastik adalah salah satu sumber pencemaran lingkungan--karena sifatnya yang sulit terurai--yang jadi perhatian banyak negara. United Nations Environment Programme (UNEP) menyebut ada lebih dari 400 juta ton plastik diproduksi pada 2015. Jumlah sampahnya, dalam setahun, mencapai 300 juta ton, yang jika dipadatkan akan sama dengan 10 kali keliling bumi.
Melarang plastik sekali pakai, dengan demikian, adalah salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Dengan kata lain, tujuannya positif.
Namun toh tetap saja ada yang ketar-ketir merespons aturan ini, terutama para pelaku usaha yang bisa dikenakan sanksi oleh Anies berupa denda Rp5-25 juta jika melanggar aturan. Dan, jika tak membayar denda, izin usaha mereka bisa dibekukan.
Ketua Asosiasi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengatakan pada dasarnya mereka tidak mempermasalahkan larangan ini. Namun, yang membuat mereka berat, adalah pemerintah tak menyediakan solusi untuk mengganti plastik sekali pakai itu.
"Sampai saat ini belum ada solusi dari pemprov terkait pengganti plastik," katanya kepada reporter Tirto, Jumat (10/1/2020).
"Apabila tidak dapat dilakukan atau tak ada solusi memadai, [peraturan ini] sebatas pepesan kosong," tambahnya.
Ikhsan sendiri tak paham apa barang yang dapat, misalnya, mengganti plastik pada roti agar secara tampilan tetap menarik, atau plastik untuk dagangan berkuah. Kalaupun ada, ia ragu saat ini tersedia alternatif yang semurah dan semudah plastik.
Menurutnya pemprov juga tak memikirkan kebiasaan masyarakat yang sudah sangat tergantung dengan plastik. Menurutnya bisa saja masyarakat enggan membeli dagangan para pedagang kecil akibat pelarangan plastik ini.
Ia pun mempersoalkan peraturan soal sanksi. Menurutnya jika poin itu dipertahankan, pemprov sama saja membiarkan pedagang tidak bisa berjualan. Ikhsan juga mengatakan mungkin saja mereka yang terdampak akan membuat gugatan class action.
"Publik bisa class action lagi. Di Jakarta jumlah UMKM bisa sekitar 1 jutaan pedagang," Ikhsan menegaskan.
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta juga keberatan. Mereka mempersoalkan sulitnya mengawasi pedagang atau tenant agar tak memakai tas kresek.
Menurut Ketua APPBI DKI Jakarta, Ellen Hidayat, sangat tidak adil bila mal bisa terancam sanksi berat hanya karena ada 1 tenant yang menggunakan plastik.
Sementara Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) Budi Susanto Sadiman mengaku keberatan dengan rencana Anies karena dari data yang ia peroleh, plastik sekali pakai hanya menyumbang 5 persen sampah saja. Dengan kata lain, peraturan ini tak efektif jika tujuannya menekan angka sampah.
Budi mengatakan asosiasinya pernah mengusulkan konsep yang memungkinkan sampah diolah sampai tak menghasilkan buangan atau zero waste. Hasil olahan itu bisa dibuat menjadi produk bernilai tambah atau disebut sirkular ekonomi.
Budi bingung karena usulan ini tak kunjung direspons Pemprov DKI.
Budi mengatakan pelarangan ini bakal memukul industri dan berpotensi membuat sekitar 5.000 orang kehilangan pekerjaan. Angka itu ia peroleh dari perhitungan Pemprov DKI kalau per harinya ada sekitar 300 ton sampah yang dibuang, dikali 30 hari untuk jangka waktu sebulan, dan asumsi industri jika tiap 2 ton plastik memerlukan 1 orang tenaga kerja.
"Belum [termasuk] pemulung dan [pekerja di industri] daur ulang," ucap Budi kepada reporter Tirto.
Dampak bagi industri menurutnya juga akan merembet sampai ke bahan baku. Ia memperkirakan industri bahan baku plastik bisa kehilangan pasar senilai Rp2,1 miliar per tahun untuk DKI Jakarta dan sekitarnya saja. Bila larangan serupa meluas, maka ada potensi kehilangan pasar sampai Rp6 miliar per tahun.
Hal ini menurutnya menjadi ironi karena di saat yang sama pemerintah tengah getol-getolnya membangun pabrik petrokimia untuk menekan impor bahan baku plastik dari 40 persen ke 30 persen. Ia bilang pembangunan dan investasi puluhan miliar dolar AS bisa sia-sia bila salah satu ceruk pasarnya justru ditutup.
"Apa itu yang mau kita runtuhkan? Jangan diruntuhkan dengan ego sektoral," ucap Budi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino