tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan kebijakan larangan kantong plastik sekali pakai di tempat perbelanjaan seperti toko, swalayan, dan pasar rakyat mulai kemarin, 1 Juli 2020. Meski telah disahkan, aturan yang tertuang dalam Pergub Nomor 142 tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan itu tetap memicu pro dan kontra.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta Andono Warih menerangkan kebijakan tersebut dilakukan lantaran kantong plastik sekali pakai merupakan sampah yang jumlahnya sangat signifikan. 34 persen dari 39 juta ton sampah di TPST Bantargebang adalah kantong plastik sekali pakai atau kresek.
Sampah plastik, menurutnya, juga merupakan masalah global, dan Indonesia adalah salah satu penyumbang terbesar. Berdasarkan laporan dari Jambeck Research Group berjudul MARINE POLLUTION: plastic waste inputs from land into the ocean, pada tahun 2015 Indonesia berada di peringkat kedua kotributor sampah plastik. Negara ini menghasilkan 1,3 juta ton per tahun. Masalah semakin parah karena sampah plastik membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai.
"Kita memerlukan kebijakan untuk menangani masalah ini. Secara bertahap kita mulai dari pembatasan kantong plastik sekali pakai atau kresek. Jenis ini banyak substitusinya, sehingga kami meyakini tidak akan merepotkan masyarakat," kata dia melalui keterangan tertulis, Selasa (30/6/2020). Pengganti kantong plastik sekali pakai salah satunya adalah kantong belanja ramah lingkungan (KBRL). Jika tidak membawa saat berbelanja, pelaku usaha biasanya menjualnya pula.
Bagi pelaku usaha yang mematuhi kebijakan ini, Pemprov DKI akan memberikan insentif fiskal daerah seperti pengurangan atau keringanan pajak. Sementara bagi yang tidak menjalankan, bakal diberikan sanksi teguran sebanyak tiga kali, denda Rp5 juta-25 juta, hingga pencabutan izin usaha.
"Kebijakan ini justru mengurangi cost pelaku usaha untuk menyiapkan kantong belanja sekali pakai dan konsumen dapat menggunakan KBRL yang dapat digunakan berulang kali," jelas dia.
Mereka telah melakukan sosialisasi bahkan sejak 2017. Sosialisasi dilakukan dengan cara mendatangi langsung 85 pusat perbelanjaan, 2.000 lebih toko swalayan, dan 158 pasar rakyat beserta asosiasi yang menaunginya.
Pemprov juga menyebarluaskan poster dan spanduk tentang pelaksanaan sosialisasi dan edukasi kepada pengelola. Selain secara langsung, DKI juga sosialisasi kepada masyarakat melalui media pemberitaan, baik cetak, online, dan TV.
Direktur Perumda Pasar Jaya Arief Nasrudin membenarkan jika Pemprov DKI telah melakukan sosialisasi secara formal maupun informal kepada pedagang pasar. "Berbagai sosialisasi dalam bentuk media cetak juga sudah disebar di seluruh area pasar. Diharapkan para pengunjung dan pedagang pasar sudah siap dalam pelaksanaan larangan plastik di awal Juli mendatang," katanya melalui keterangan tertulis, Selasa (30/6/2020).
Pro dan Kontra
Usul kebijakan ini sebenarnya telah mengemuka sejak lama. Sejak saat itu pula kebijakan ini memicu pro dan kontra.
Wiwiek Yusuf, Managing Director Indomarco Prismatama, perusahaan yang membawahi ritel Indomaret, mengaku tak keberatan dengan aturan itu. Pelarangan kantong plastik sekali pakai pun tak berdampak pada penjualan. Meski demikian dia menegaskan memang perlu penyesuaian. Salah satu yang akan Indomaret lakukan adalah "terus mengedukasi agar menawarkan tas ramah lingkungan dan membiasakan konsumen membawanya dalam berbelanja," katanya kepada reporter Tirto.
Senada dengan Indomaret, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) selaku pengelola gerai ritel Alfamart mendukung kebijakan tersebut. Corporate Affairs Director Alfamart, Solihin, mengaku selama ini Alfamart telah menjalankan kampanye pengurangan kantong plastik baik di gerai maupun kegiatan luar ruangan. Selain itu, Alfamart juga telah menyediakan kantong plastik berbayar.
"Kita sangat mendukung untuk lingkungan hidup yang bagus tentu penggunaan kantong plastik harus dikurangi. Setuju banget," kata dia saat dihubungi.
Ketua Asosiasi Persatuan Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta Ellen Hidayat juga menyambut baik adanya kebijakan tersebut. Dia mengaku telah melakukan sosialisasi agar retailer dapat menyediakan kantong belanja yang bisa dipakai berulang. "Turut memberikan pengawasan terhadap para tenant dan memberikan teguran bilamana diperlukan," kata dia kepada reporter Tirto.
Dukungan juga datang dari organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam isu lingkungan, Greenpeace Indonesia. Juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi menilai kebijakan ini merupakan langkah yang baik untuk mengurangi sampah plastik. Agar maksimal, dia meminta Pemprov DKI gencar sosialisasi terutama kepada para pelaku usaha.
Namun, dia mempertanyakan mengapa tidak dari dulu saja kebijakan ini diterapkan. "Jakarta termasuk lebih lambat jika dibandingkan daerah-daerah lain yang sudah menerapkan ini lebih dulu, seperti Balikpapan, Banjarmasin, dan Bogor," kata dia kepada reporter Tirto).
Salah satu yang tidak sepakat dengan peraturan ini adalah Asosiasi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Indonesia (Akumindo). Ketua Akumindo Ikhsan Ingratubun menyatakan kebijakan ini akan memperberat para pelaku usaha kecil. "Seharusnya ekonomi dulu yang ditingkatkan saat COVID-19, baru lingkungan. Saya minta kebijakan itu ditinjau ulang dan dievaluasi," ujarnya kepada reporter Tirto.
"Jangan karena tidak bisa mengelola sampah plastik sampai membuat kebijakan ini," tambahnya.
Ia juga tidak sepakat karena pemprov tidak menyediakan alternatif, apalagi untuk membungkus produk-produk yang cair atau berkuah. Kalaupun ada, ia ragu tersedia alternatif yang semurah dan semudah plastik. Akhirnya para pedagang akan kesulitan karena terpaksa menjual lebih mahal dan mungkin ditinggalkan para pelanggan.
Senada dengan Ikhsan, Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) Budi Susanto Sadiman mengaku keberatan. Menurutnya, pelarangan ini bakal memukul industri dan berpotensi membuat sekitar 5.000 orang kehilangan pekerjaan. Angka itu ia peroleh dari perhitungan Pemprov DKI kalau per harinya ada sekitar 300 ton sampah yang dibuang, dikali 30 hari untuk jangka waktu sebulan, dan asumsi industri bahwa tiap 2 ton plastik memerlukan satu orang tenaga kerja.
Jika memperhitungkan jumlah pemulung, setahu Budi akan ada 1 juta orang lagi yang akan berkurang penghasilannya. Pihak lain yang dirugikan adalah industri yang bergerak di bidang pengolahan dan daur ulang.
Dampak kebijakan ini akan meluas sampai ke industri bahan baku. Ia memperkirakan industri bahan baku plastik bisa kehilangan pasar senilai Rp2,1 miliar per tahun untuk DKI Jakarta dan sekitarnya saja. Bila larangan serupa meluas, maka ada potensi kehilangan pasar sampai Rp6 miliar per tahun. Hal ini menurutnya ironis karena di saat yang sama pemerintah justru getol membangun pabrik petrokimia untuk menekan impor bahan baku plastik dari 40 persen ke 30 persen.
Ia bilang pembangunan dan investasi puluhan miliar dolar bisa sia-sia bila salah satu pasar industrinya justru ditutup.
Budi mengatakan asosiasinya sudah pernah mengusulkan konsep yang memungkinkan sampah diolah sampai tak menghasilkan buangan atau zero waste. Hasil olahan itu nantinya bisa dibuat menjadi produk bernilai tambah atau disebut sirkular ekonomi. "Kami mengusulkan seperti itu, tapi Pemprov DKI tidak mau mendengar," katanya.
Pada akhirnya, ia menilai "kebijakan itu tidak pas, apalagi saat ini Indonesia khususnya DKI Jakarta masih mengalami pandemi."
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri