tirto.id - Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) memprotes kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan botol dan kantong plastik sekali pakai. Kampanye anti sampah plastik itu dianggap, mengancam sumber pendapatan 3,7 juta pemulung di 25 provinsi Indonesia.
Ketua IP Pris Polly Lengkong menyatakan, kebijakan yang diterapkan di sejumlah kementerian itu tak punya landasan kajian.
“Saya tidak habis mengerti dengan pelarangan botol plastik dan kantong plastik oleh beberapa kementerian. Mengapa harus memusuhi plastik. Apa ada yang salah dari plastik,” kata Pris, Kamis (21/11/219).
Menurut dia, sampah plastik tidak akan menimbulkan masalah jika manusianya terbiasa untuk taat aturan membuang sampah pada tempatnya. Atau bahkan menggunakannya kembali atau mendaur ulang.
“Yang salah itu manusianya yang membuang sampah plastik sembarangan. Kalau saja manajemen sampah diperbaiki, tidak akan ada masalah dengan plastik,” tegasnya.
Pris menuturkan, aturan diet plastik itu merugikan warga yang hidupnya bergantung dari memulung. Menurutnya nasib mereka tak dipedulikan pemerintah.
“Saya membuktikan sendiri bahwa sebagian pemulung, yang tadinya berdagang soto atau berdagang kelontong, justru memilih menjadi pemulung untuk mengubah nasibnya. Justru menurut pengakuan mereka, kesejahteraannya meningkat setelah menjadi pemulung. Ini bukti bahwa ada manfaat ekonomi yang besar di balik sampah plastik,” kata Pris.
Menurut Pris, besar pendapatan yang diperoleh pemulung berbeda-beda mulai dari pemulung kampung yang besar pendapatannya Rp100 ribu hingga Rp150 ribu per hari. “Untuk pemulung yang sudah menjadi pelapak, pendapatan bisa mencapai Rp1 juta sampai Rp1,5 juta per hari,” paparnya.
Ia sendiri mengakui mendapat keuntungan yang besar dari pekerjaannya sebagai pemulung. Meski tidak mengakui secara pasti, Pris disebut-sebut memiliki pendapatan hingga Rp100 juta sebulan.
“Padahal modal awal saya pertama kali menjadi pemulung hanya Rp750 ribu. Tapi lihat sendiri bahwa saya sudah memiliki peningkatan kesejahteraan sekarang,” ujar putra dari artis Catty Lengkong ini.
Tuti Karyati, seorang pemulung dari Cempaka Putih, Jakarta Pusat, juga mengakui dampak ekonomi dari daur ulang botol plastik.
“Saya setiap hari memulung botol plastik dan gelas plastik, dimana saja di tempat yang saya lewati. Dan saya gunakan botol dan gelas plastik hasil memulung itu untuk dijadikan kerajinan tangan,” ujar Tuti.
Ia mengakui bisa menghasilkan satu kerajinan tangan dari setiap 10 tutup gelas plastik. “Saya bisa menjual hasil kerajinan tangan itu Rp10.000 per buah,” ujarnya.
Tuti mengatakan bahwa apa yang ia dapat dari hasil memulung cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Ia menyatakan, masih banyak temannya sesama pemulung yang sangat bergantung pada sampah botol plastik. “Ada yang hasilnya dijual ke pengepul. Ada yang seperti saya, digunakan untuk dibuat kerajinan tangan untuk dijual,” papar Tuti.
Ia mengaku sangat khawatir bila kebijakan pelarangan botol diberlakukan di semua kantor, lembaga, dan sekolah. “Bagaimana nanti kami mendapatkan botol dan gelas plastik bekas untuk kami menyambung hidup,” ujarnya.
Ia mengakui saat ini sudah terdampak dari kebijakan pelarangan penggunaan botol plastik di sebuah sekolah di dekat rumahnya. “Sejak sekolah itu berganti kepala sekolah dan melarang murid membawa botol plastik ke sekolah, saya kehilangan salah satu tempat untuk mencari sampah plastik,” kata Tuti.
Ia berharap, pemerintah dan semua pihak terkait memahami betapa pentingnya sampah botol plastik bagi pemulung. “Tolong pemerintah jangan larang penggunaan botol plastik. Karena penghidupan kami sebagai pemulung bergantung pada sampah plastik,” pungkasnya.
Sementara itu Eni Saeni, koordinator Komunitas Plastik untuk Kebaikan menyatakan, komunitasnya telah melakukan gerakan edukasi pilah plastik dengan insentif tukarkan plastik dengan sembako. Hasilnya dalam 2 jam terkumpul 7 kantong besar sampah plastik di CFD pada 10 November 2019.
Sayangnya ujar dia, sebagian masyarakat masih enggan memilah sampah plastik di rumah, banyak dari mereka mencampurnya dengan sampah lain.
Penulis: Antara
Editor: Dieqy Hasbi Widhana