Menuju konten utama

Mengapa Ada Banyak Negara Tak Memiliki Tentara?

Kalau bisa tak punya tentara, mengapa tidak?

Mengapa Ada Banyak Negara Tak Memiliki Tentara?
Anak-anak membawa bendera Kosta Rika saat parade Juan Santamaría Day Alajuela. FOTO/Lindsay Fendt

tirto.id - Beberapa negara memilih untuk tidak memiliki tentara. Alasannya beragam. Ada yang menganggap luas wilayah negaranya terlalu kecil, ada juga yang merasa tidak ada negara yang memusuhi mereka. Alasan lain seperti menghindari intervensi kehidupan sosial dan politik tentara.

Dalam The World Factbook yang disusun CIA, dikatakan bahwa 23 negara tidak memiliki institusi militer. Delapan negara di antaranya masuk dalam kategori 11 negara merdeka dengan luas wilayah terkecil di dunia. Mereka antara lain Monaco, Tuvalu, Nauru, San Marino, Liechtenstein, Kepulauan Marshall, Grenada, dan Vatikan.

Tuvalu – bersama dengan Federasi Mikronesia, Palau, dan Samoa – tidak memiliki institusi militer sejak meraih kemerdekaan. Mereka tidak butuh tentara karena luas wilayah yang kecil dan tidak punya musuh luar negeri.

Beberapa dari mereka mengandalkan perlindungan militer negara tetangganya. Monaco meminta perlindungan kepada Perancis. Sedangkan Kepulauan Marshall dan Palau dilindungi militer AS. Sementara Italia melindungi Vatikan – Swiss Guard sering dianggap tentara pelindung Vatikan, padahal mereka hanya pengisi seremoni saja.

Tak Ada Militer Lagi Setelah AS menginvasi

Di antara 8 negara tersebut, yang wilayahnya paling luas adalah Grenada. Luas wilayahnya 344 km², hanya separuh dari DKI Jakarta yang memiliki luas daratan 661,52 km². Grenada merdeka dari Inggris pada 1974. Eric Gairy menjadi Perdana Menteri pertama Grenada.

Setelah itu Grenada mengalami konflik internal. Partai yang dipimpin Eric Gairy memenangi pemilu yang diadakan pada 1976. Tiga tahun kemudian, pada 1979, kelompok New Jewel Movement yang berhaluan sosialis pimpinan Maurice Bishop melancarkan kudeta dan akhirnya mendirikan Pemerintahan Revolusioner Rakyat Grenada.

Empat tahun kemudian, pada 19 Oktober 1983, faksi komunis yang dipimpin Bernard Coard berbalik mengkudeta Bishop dengan dukungan militer Grenada. Tentara Revolusioner Grenada membentuk pemerintahan militer dan Jenderal Hudson Austin sebagai pemimpinnya.

Selang lima hari kemudian, pasukan gabungan Amerika Serikat (AS) dan Regional Security System (RSS) menginvasi Grenada. Presiden AS Ronald Reagan berdalih serangan yang dinamakan Operation Urgent Fury dilancarkan guna menjamin keamanan 1.000 warga AS, menanggapi permintaan bantuan dari Organisasi Negara-negara Karibia Timur, dan bentuk tanggapan atas seruan dari Gubernur Jenderal Grenada, Sir Paul Scoon.

Persis sejak invasi AS tersebut intitusi militer di Grenada dihapus. Saat ini keamanan dalam negeri Grenada ditangani oleh Royal Grenada Police Force. Sementara pertahanan dari serangan luar negeri ditangani oleh RSS. Mirip dengan Grenada, pertahanan eksternal Saint Lucia dan Saint Vincent dan Grenadines – keduanya tidak memiliki institusi militer – juga ditangani oleh RSS.

Baca juga: Militer Amerika Mencengkeram Dunia

Fenomena serupa terjadi pada Panama. Pada 1981 Jenderal Torrijos yang sempat memimpin Panama sejak 1968 meninggal dalam kecelakaan pesawat. Dua tahun kemudian, pada 1968, Manuel Antonio Noriega Moreno menjadi kepala Garda Nasional mengembangkan sayap kuasa militernya ke seluruh sendi kehidupan sosial dan politik Panama. Sejak itu dia secara de facto menjadi penguasa Panama.

Guillermo Endara, pemimpin partai oposisi, terpilih sebagai presiden pada Mei 1989. Tetapi Noriega menyatakan hasil pemilihan umum tersebut tidak sah dan mengangkat kandidatnya, Francisco Rodríguez, sebagai presiden.

Endara tidak terima. Dia memimpin demonstrasi menentang Noriega. AS membekingi Endara dengan menginvasi Panama pada Desember 1989. Di bulan yang sama AS mengalahkan rezim Noriega dan parlemen Panama pun melantik Endara sebagai presiden. Dua bulan kemudian Endara membubarkan angkatan bersenjata dan menggantikan mereka dengan sebuah otoritas kepolisian sipil.

“Perbanyak Guru Daripada Tentara”

Kosta Rika membubarkan institusi militer pada 1948 atas inisiatif Presiden José Figueres Ferrer. Dia mengambil alih kuasa lewat melalui pemberontakan bersenjata. Alasan pembubaran tersebut cukup menarik: tidak ingin dirinya (dan penguasa Kosta Rika setelahnya) dikudeta oleh pihak militer.

“Sekarang waktunya Kosta Rika beralih kepada posisi tradisional dengan memiliki lebih banyak guru daripada tentara,” ujar Figueres.

Kebijakan tersebut berbuah manis. Selama 69 tahun terakhir tidak ada kudeta milter di Kosta Rika. Selain itu Kosta Rika juga terhindar dari perang saudara yang hanya akan menjadikan mereka pion negara-negara yang terlibat Perang Dingin. Bahkan ketiadaan institusi militer di Kosta Rika dijadikan sarana bagi pemimpin di negara tersebut untuk menyerang negara tetangganya.

“Saya ingin mengingatkan esos señores del norte (”para satria di utara”) bahwa hanyalah pengecut yang berani melawan yang berdaya,” ujar Presiden Kosta Rika Laura Chinchilla pada 2010, menanggapi perselisihan batas negara Nikaragua-Kosta Rika, seperti dilansir dari Ozy.

Baca juga: Ketika Cina Mulai Ekspansi Militer di Afrika

Infografik Negara Tanpa Tentara

Ketimbang untuk persenjataan, anggaran belanja Kosta Rika dialihkan untuk pendidikan dan pariwisata. Kosta Rika hanya mengeluarkan kurang dari 0,05 persen dari GDP per tahun untuk patroli perbatasan, penjagaan pantai, dan pengawasan udara.

Kosta Rika juga menduduki peringkat pertama negara yang paling bahagia dalam riset yag dilakukan Happy Planet Index dan World Database of Happines. Selain itu Kosta Rika dipilih sebagai lokasi markas besar United Nations University for Peace.

Meski meraih beberapa keuntungan, proses demiliterisasi di Kosta Rika juga sempat dikritik. Jurnalis lepas Robert Beckhusen berpendapat bahwa lembaga Unidad Especial de Intervención (UEI) yang dimiliki Kosta Rika merupakan organisasi militer.

“UEI melatih (anggotanya) untuk memutus rantai pedagang narkotika, selain menyelamatkan sandera dan bertindak sebagai unit kontra-teroris dengan intensitas tinggi. Pelatihan mereka setara dengan yang dipersyaratkan oleh tim komando AS dan komando Tico menggunakan senjata M4 kaliber 5.56,” sebut Beckhusen.

The Atlantic juga melaporkan setelah 7.000 petugas AS ditugaskan ke negara tersebut pada tahun 2010 untuk membantu upaya kontra-narkotika, Presiden Bolivia Evo Morales mengatakan bahwa Kosta Rika kini telah memiliki sebuah tentara, yakni militer Amerika Serikat.

Baca juga: Para Tentara Bersenjatakan Pena

Peter Stearns, seorang profesor dari George Mason yang menyunting buku Demilitarization in the Contemporary World, menyatakan tidak ada ukuran demiliterisasi yang sempurna. Hampir semua negara yang dalam daftar The World Factbook tidak memiliki tentara memiliki beberapa bentuk layanan keamanan sesuai ancaman yang ada.

Misalnya saja Islandia. Negara tersebut merupakan salah satu negara yang tidak memiliki institusi tentara namun menjadi anggota NATO. Islandia juga berpartisipasi dalam misi penjaga perdamaian internasional dengan apa yang CIA sebut sebagai "Unit Respons Krisis yang dipimpin oleh warga sipil".

"Menurut pendapat saya, jika Anda berkomitmen untuk menghindari kekerasan eksternal, Anda telah mengambil langkah yang menarik," ujar Stearns.

Baca juga artikel terkait MILITER atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS