tirto.id - Irama lagu “Sirih Kuning” mengalun dari kaset rekaman yang terletak di gerobak kecil. Ada satu orang bertugas mendorong. Agar gerobak tetap dekat dengan orang lainnya yang berada di balik kostum ondel-ondel. Lalu, satu orang lain bertugas menyodorkan ember kecil kepada orang-orang sekitar.
Anak-anak kecil tak lagi menonton ondel-ondel dari kejauhan disertai tangis ketakutan. Boneka besar khas Betawi itu kini terasa lebih humanis. Jika dulu rupanya seram, bengis, bercakil, kini ondel-ondel berupa lebih manis, tanpa cakil, dan mudah ditemui. Terutama pada malam Sabtu dan malam Minggu.
Arak-arakannya juga lebih sederhana. Dulu, untuk mengarak sepasang ondel-ondel, setidaknya ada delapan orang diikutsertakan. Tujuh orang memegang alat musik yakni tehyan, dua gendang, gong besar, gong sedang, kenong, dan kecrek. Lalu, satu orang menjadi ondel-ondel. Namun, kini posisi pemegang alat musik telah digantikan oleh rekaman kaset.
Alwi Shahab, pencatat kebudayaan Betawi yang tekun, menunjukkan ada orang Betawi yang menganggap cara “ngamen” ringkas tersebut sebagai degradasi budaya. Pertama, karena sebagai seni yang adiluhung, ondel-ondel tak seharusnya dijadikan alat mengamen. Kedua, peran pemain musik telah digantikan oleh rekaman, sehingga cita rasa seninya hilang.
“Kelompok tersebut menganggap ondel-ondel sebagai bagian sejarah. Sehingga lebih baik tidak digunakan untuk mengamen,” kata Sejarawan Alwi kepada Tirto.
Namun, ada pula kelompok Betawi lainnya menerima asimilasi tanpa keberatan. Salah satunya adalah Embenk. Pria ini merupakan seniman, pemilik, sekaligus pengrajin ondel-ondel, baik yang berukuran besar, maupun miniatur.
Baca juga:Budaya Asing yang Berbahaya
Selama 1,5 tahun, ia menggeluti bisnis rumahan pembuatan ondel-ondel di Cilandak. Untuk ukuran besar, ia membuat ondel-ondel dari bambu, sementara miniaturnya memanfaatkan botol bekas. Jika dulu, membuat ondel-ondel terlebih dulu harus menyertakan sesajen. Kini, Embenk tidak melakukannya.
“Sekarang kite balik ke sejarah, orang dulu bikin ondel-ondel buat tolak bala. Makanya ada ritual. Kalau sekarang sudah lebih modern, ya kagak,” katanya kepada Tirto dengan logat Betawi kental.
Saat ini, ia memiliki empat pasang ondel-ondel untuk disewakan ke beragam perhelatan. Mulai dari resepsi pernikahan, sunat, hingga seminar. Harga yang dipatok berkisar antara Rp800 ribu hingga Rp1,5 juta per hari. Alat-alat musik yang digunakan pun masih manual, dan ia anti-kaset rekaman.
Meski begitu, menyoal ondel-ondel ngamen, pun dengan rekaman, Embenk tak mempermasalahkan. Menurutnya, hal tersebut merupakan salah satu cara membuat kesenian Betawi membumi sehingga ondel-ondel bisa lebih dikenal oleh masyarakat luas, termasuk para wisatawan.
“Ane enggak masalah ondel-ondel keliling ngamen. Yang jadi masalah, ketika hasil ngamennya disalahgunakan. Buat minum-minum, misalnya.”
Baca juga:Presiden Ingin Seni Budaya Dongkrak Ekonomi Nasional
Foto: Pengamen ondel-ondel di Monas. ANTARA FOTO/Andika Wahyu
Melestarikan Ondel-Ondel
Ondel-ondel adalah boneka asli Betawi, terbuat dari anyaman bambu setinggi 2,5 meter dengan diameter kurang lebih 80 cm. Rambutnya terbuat dari ijuk dan kertas warna-warni. Ondel-ondel pria ditandai dengan warna merah di wajahnya, sedang putih untuk si wanita.
Terdapat dua versi asal-usul ondel-ondel. Pertama, ondel-ondel sebagai penolak bala. Ia dipercaya sebagai personifikasi nenek moyang untuk mengusir gangguan roh halus. Itulah alasan rupa ondel-ondel zaman dulu dibuat menakutkan dan bercakil. Kala itu, karena keterbatasan ilmu kedokteran, penyakit cacar dianggap sebagai bala. Ondel-ondel yang dipercaya berkekuatan magis diarak untuk mengusir penyakit epidemi tersebut.
Kemudian, pemanfaatannya berkembang sebagai pelindung dari segala sesuatu yang mengganggu ketenangan masyarakat. Ia digunakan dalam perayaan upacara adat seperti sedekah bumi, atau bagian dari beragam upacara seperti pernikahan dan sunat.
Baca juga:Virus-Virus yang Menghantui Dunia
“Versi lainnya, ondel-ondel sebagai manifestasi Dewi Sri, Dewi Kesuburan,” kata sejarawan J.J. Rizal, saat menjelaskan muasal ondel-ondel versi kedua kepada Tirto.
Saat itu, masyarakat agraris Betawi percaya ondel-ondel akan menjaga kesuburan sawah. Boneka ini juga dipakai pada perayaan pasca-panen guna menghormati Dewi Sri. Ia menjadi ungkapan syukur atas terhindarnya masyarakat dari gagal panen.
“Sedangkan [ondel-ondel] yang laki-laki [adalah] manifestasi hal buruk atau jahat sehingga wajahnya merah bertaring,” ujarnya.
Baca juga:Panen Padi Tradisional
Karena fungsi sakralnya, ondel-ondel kala itu, dibikin dengan mantra-mantra dan sesaji. Setelahnya, masyarakat percaya, ondel-ondel akan dimasuki dewa penolong. Sehingga untuk melawan dan mengusir roh-roh jahat, mereka harus dipikul dan diarak berkeliling kampung
Warga juga diminta menabuh kentongan, memukul pohon-pohon besar, serta memasang sesaji pada tempat keramat. Sesaji yang disiapkan terdiri dari telur ayam kampung mentah, rokok lisong/cerutu, kembang dan kemenyan, sirih, kopi manis dan kopi pahit, rujak tujuh rupa, limun, pisang ambon, kelapa, beras, minyak tanah dan minyak kelapa.
“Jadi, hakikatnya ondel-ondel memang mengamen. Keluar masuk kampung karena fungsinya sebagai tolak bala,” kata Rizal.
Ia melanjutkan, kampung yang dilalui ondel-ondel akan berterima kasih karena dijauhkan dari bala. Atas jasanya, ondel-ondel lalu disawer, uang atas jasa pengamanan spiritual. Sehingga bisa dikatakan, maraknya ondel-ondel ngamen, justru mengembalikan tradisi awal ondel-ondel.
“Karena ketidakpahaman tradisi, sejarah, serta pandangan konsep adiluhung budaya, maka ada respons seolah-olah itu merendahkan, padahal [seperti] itulah tradisinya.”
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani