tirto.id - "Indonesia memasuki tahapan yang sangat berbahaya,” lapor situs Nahimunkar.com pada hari pertama tahun 2014. Sebab, tulis mereka, “budaya Barat atau budaya materialisme yang begitu masif” telah masuk dan “menggerus nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, termasuk nilai-nilai Islam, dan mengizinkan budaya sinkretisme alias syirik yang bersumber dari agama Yahudi dan Nasrani” merajalela.
Selang delapan bulan, giliran Voa-Islam.com hadir memberi pencerahan: orang-orang Korea Selatan rupanya rawan terkena depresi, lalu bunuh diri, karena “kepercayaan mereka pada rekarnasi” dan sistem pemerintahan sekuler. Penulis artikel lantas mengeluhkan rakyat Indonesia yang makin bersemangat meniru perilaku orang-orang Korea Selatan dan menyambut produk-produk kebudayaan mereka, padahal, menurutnya, sudah jelas sesat dan menyesatkan.
“Tengok saja remaja muslim sekarang, dari penampilan sampai mindset, pelan tapi pasti telah berubah ala Korean style,” tulis Muhammad Saad di Hidayatullah.com.
“Korean style, sebagai produk globalisasi dalam bidang Fun atau hiburan, telah mengikis akhlak umat Islam,” katanya dalam paragraf lain. “Kehidupan borjuistis ala musik K-Pop, semangat hidonis dan matrealistis dalam alur cerita sinetronnya, serta pakaian minim dalam model busananya, menggeser pola pikir para penikmatnya.”
Kita bisa tak setuju, juga menertawakan para penulisnya yang gagap memahami konsep-konsep, agak budek (reinkarnasi jadi rekarnasi, hedonis jadi hidonis), dan tak cakap berbahasa (bidang fun?). Namun, itu tak membatalkan kenyataan bahwa memang ada kebudayaan asing yang mengancam Indonesia.
Ancaman itu tak berasal dari Barat atau Korea Selatan, melainkan dari Bonga, negeri yang, menurut Umberto Eco dalam esai “How to be a TV Host”, terletak di antara Terra Incognita dan Kepulauan Blest.
Meski namanya terdengar menggelikan, bobot kerusakan yang dimiliki kebudayaan Bonga tidak main-main. Pengetahuan ini, berkat campur tangan puak Bonga, kurang dikenal meski Eco telah mengabarkannya sejak 1987. Maka, atas nama kebaikan, jangan lupa like, share, dan ketik amin di kolom komentar. Tak perlu mohon izin.
Wabah Eksplisit dari Bonga
Bangsa Bonga mempunyai kesukaan yang ganjil terhadap penjelasan. Mereka, misalnya, mencantumkan keterangan “rumah” pada dinding muka rumah, “pintu” di samping pintu, dan “kandang anjing” di kandang anjing.
Wicara memerlukan kata, itu muskil dibantah. Tapi, di dunia ini, hanya orang-orang Bonga yang merasa perlu mengumumkannya. “Perhatikan! Sekarang saya akan berbicara menggunakan kata-kata,” ujar mereka di awal setiap pembicaraan.
Jika Anda mengunjungi rumah orang Bonga, hal pertama yang terdengar ialah maklumat dari tuan rumah. “Kini saya membukakan pintu untukmu,” teriaknya. Atau, “Sekarang saya akan menanyakan keperluanmu.”
Dan andai si tuan rumah bermaksud menjamu Anda, di ruang makan ia akan berkata: “Ini meja dan kursi, dan si keling di pojok itu kacung saya. Dia akan bertanya ini-itu tentang makanan yang engkau senangi, lalu menyiapkannya.”
Si kacung lalu menyahut: “Itulah tuan saya, dan saya adalah kacungnya. Sekarang, saya akan bertanya tentang makanan yang engkau senangi, lalu menyiapkannya.”
Kegilaan menjelaskan itu membuat setiap urusan orang Bonga jadi bertele-tele. Tetapi justru karena itu kita bisa mengetahui mereka punya rencana jahat.
“Salah seorang dari mereka mengatakan kepadaku bahwa mereka berencana menguasai dunia,” kata Eco. Itu berarti, bangsa Bonga hendak menjadikan manusia di seluruh dunia seperti mereka, tidak memahami konsep implisit.
Seni, Musuh Alami Bonga
Untuk waktu yang lama, dunia meyakini bahwa manusia dilahirkan dengan kecerdasan yang berbeda-beda dan tak ada yang dapat dilakukan untuk mengubahnya. Kini sains telah sering menunjukkan bahwa manusia bisa meningkatkan kecerdasan bawaan masing-masing.
Salah satu caranya ialah berlatih menginterpretasi alias menafsirkan. Proses yang mencakup pengenalan pola serta pemahaman atas proses dan konteks itu, dalam bahasa sejarawan seni Jonathan Fineberg, ibarat mengirim otak ke pusat kebugaran.
“Mengamati karya seni rupa adalah tindakan yang sangat kreatif,” ujar penulis buku Modern Art at the Border of Mind and Brain tersebut. “Sebagian besar hal yang kita lihat bukan hasil kerja mata, melainkan otak dan korteks visual. Mereka berasal dari ingatan, akal, emosi, dan sebagainya.” Menurut Fineberg, semakin kompleks sebuah gambar, kian berat pula kerja otak untuk menguraikan dan memahaminya. Prinsip itu berlaku pula untuk cabang-cabang kesenian lain.
Ringkasnya, kebiasaan menafsir, memberi makna pada yang sumir, membuat manusia lebih cerdas. Itulah mengapa galib dikatakan tugas seni ialah mengajak berpikir.
Kebudayaan Bonga justru sebaliknya: tak memberi tempat barang setapak buat penafsiran, akan membuat orang-orang yang dipengaruhinya jadi tak terbiasa berpikir. Mereka melulu memberitahukan dan menantikan penjelasan, bahkan untuk hal paling remeh sekalipun.
Jika Anda pernah mendengar seseorang mengawali pertanyaannya dengan pernyataan, “Begini, nih, saya mau bertanya...”, Anda telah menyaksikan pengaruh Bonga. Demikian pula jika suatu kali, dalam keadaan badan terlilit handuk dan rambut basah, Anda mendapat pertanyaan “Habis mandi, Bung?”
Yang mengerikan, kita tak pernah mengetahui bagaimana orang-orang Bonga menyebarkan pengaruh, tetapi dapat menjumpai hasilnya di mana-mana. Belum lama, saya bahkan menyaksikan wabah eksplisit mendesak seni di bentengnya sendiri: layar bioskop dan panggung pertunjukan tari.
Pada yang pertama, seorang laki-laki yang memegang palet dan kuas menjelaskan kepada lawan bicaranya bahwa pekerjaannya ialah pelukis. Pada yang kedua (ini menyedihkan, sebab tari adalah salah satu kesenian yang umumnya menyediakan ruang terbesar buat penafsiran), para penampil menutup pertunjukan dengan memamerkan papan-papan bergambar yang menjelaskan cerita.
Padahal, tanpa penjelasan pun penonton dapat menduga bahwa cerita berpangkal pada dongeng kanak-kanak (dari keberadaan perempuan berkebaya yang menunggangi kuda kayu di batas “frame” dan tidak terpengaruh kegiatan penari-penari lain); bahwa para penari yang wajahnya dicat putih dan mengobok-obok tanah lebih dari separuh pertunjukan itu mewakili kumpulan manusia yang merintis sebuah peradaban; bahwa ia mengandung sejumlah acuan kepada Cirebon dan motif batik “mega mendung”; dan seterusnya.
Sebelum itu, di tempat yang sama, saya menyaksikan pertunjukan tari lain: Praeambulum, oleh Ingun Bjørnsgaard Prosjekt dari Norwegia. Menurut keterangan di buklet, para penari dalam pertunjukan bertindak sebagai bahan-bahan bangunan sebuah rumah yang belum rampung. Tetapi kemudian, selama menonton, pikiran itu raib dari kepala saya karena tak seorang pun dari para penari yang terlihat seperti batako.
Saya mungkin keliru. Setiap tafsir audiens atas karya seni punya kemungkinan keliru, atau sedikitnya tak sesuai dengan maksud penciptanya. Namun, justru ketaksaan itulah yang berharga dari seni. Itulah bagian darinya yang mengajak kita berpikir.
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Zen RS