Menuju konten utama

Menelusuri Rekam Jejak 2 Hakim Kasus Korupsi E-KTP

Sidang perdana kasus dugaan korupsi E-KTP akan digelar hari ini, Kamis (8/3/2017), di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Siapa saja majelis hakim yang akan menangani perkara ini dan bagaimana rekam jejak mereka?

Menelusuri Rekam Jejak 2 Hakim Kasus Korupsi E-KTP
Sejumlah Jaksa Penuntut Umum KPK membawa berkas perkara kasus dugaan korupsi proyek E-KTP ke dalam gedung pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (1/3). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id - Sidang perdana kasus dugaan korupsi E-KTP akan digelar hari ini, Kamis (8/3/2017), di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Siapa saja majelis hakim yang akan menangani perkara ini dan bagaimana rekam jejak mereka?

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Pontas Efendy telah menetapkan lima hakim tipikor untuk menyelesaikan perkara yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.

Kelima hakim tersebut adalah John Halasan Butar-Butar sebagai ketua majelis hakim dan empat hakim pembantu yakni Frangki Tambuwun, Emilia Djajasubagia, Anwar, dan Ansyori. Kelima hakim ini akan memimpin jalannya persidangan hari ini dengan Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Irene Putri.

Penunjukan kelima hakim ini bukan sembarangan. Dua dari kelima hakim, yakni John Halasan Butar-Butar dan Frangki Tambuwun adalah hakim yang cukup banyak pengalaman dalam menangani kasus korupsi. Bahkan, keduanya sempat satu meja dalam mengadili kasus suap impor gula dengan terdakwa mantan Ketua DPD Irman Gusman.

Dari penelusuran Tirto, John dan Frangki pernah memberikan vonis lebih rendah di bawah tuntutan jaksa dalam beberapa kasus korupsi yang ditangani.

Salah satunya dalam kasus dugaan suap pengadaan Tetraethyl Lead (TEL) atau bensin bertimbal di Pertamina, John memvonis terdakwa Direktur PT Soegih Interjaya (PT SI) Willy Sebastian Lim 1,5 tahun lebih rendah dari tuntutan jaksa. Saat itu, jaksa menuntut agar Lim divonis 4,5 tahun penjara.

Pada tahun 2015, John Halasan Butar-Butar memimpin siding kasus dugaan suap pengadaan Tetraethyl Lead (TEL) atau bensin bertimbal di Pertamina. Ia sebagai Ketua Majelis Hakim menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara kepada terdakwa Willy Sebastian Lim pada 29 Mei 2015.

Lim terbukti menyuap Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo. Ia memberikan uang 190 ribu dolar AS kepada Suroso agar menyetujui OCTEL melalui PT SI menjadi penyedia atau pemasok Tetraethyl Lead (TEL) untuk kebutuhan kilang-kilang milik PT Pertamina pada 2004 dan 2005.

Selain itu, kasus lain yang dijatuhi vonis lebih rendah oleh John adalah korupsi penundaan salinan kasasi Mahkamah Agung pada 2016.

Sebagai ketua majelis hakim, John memvonis terdakwa mantan Kepala Subdirektorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata dan Khusus Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna Sembilan tahun penjara serta denda Rp 500 juta pada 25 Agustus 2016.

Vonis itu dinilai lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK 13 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidier enam bulan kurungan. John juga memvonis penyuap Andri, yakni Direktur Utama PT Citra Gading Asritama Ichsan Suaidi dan pengacaranya Awang Lazuardi Embat dengan hukuman 3,5 tahun penjara serta denda sebesar Rp 50 juta pada 20 Juni 2017.

Selain itu, John tidak mengusut keterlibatan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dalam proses persidangan tersebut. Padahal, nama Nurhadi sempat disinggung dalam persidangan Andri, Senin (9/5/2016).

Dalam fakta persidangan, jaksa KPK terus menanyai saksi Trianto, anak buah Ichsan Suaidi, perihal maksud pernyataannya bahwa Andri adalah tangan kanan Sekretaris MA. Namun, sebelum tanya jawab tersebut tuntas, ketua majelis hakim John Halasan Butar Butar meminta jaksa untuk bertanya hal lainnya.

"Sudah, pertanyaan sudah dijawab. Jangan mengira-ngira saja lah. Saksi sendiri yang mengira-ngira," ujar hakim John di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (9/5/2016).

John juga memegang peran dalam sidang Rohadi, panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diduga berperan mengatur hasil sidang Saiful Jamil. Ia sebagai hakim anggota mendukung kebijakan Ketua Majelis Hakim Sumpeno yang memvonis Rohadi hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subside 3 bulan kurungan, Kamis, (8/12/2016).

Dalam persidangan, John menilai panitera kaya itu telah terbukti menerima suap dari pengacara Berthanatalia dan Kasman Sangaji untuk pengurusan penunjukan majelis hakim perkara pencabulan Saipul.

"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kesatu primer dan kedua subsider," ucap Ketua Majelis Hakim Sumpeno membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (8/12/2016).

Selain John, Frangki Tambuwun juga pernah menjatuhkan vonis yang jauh lebih rendah dari tuntutan JPU. Dalam sidang kasus dugaan suap Kementerian PUPR dengan terdakwa Budi Supriyanto, Jaksa KPK menilai putusan hakim jauh lebih ringan daripada tuntutan.

Saat itu, Budi Supriyanto dituntut oleh jaksa KPK 9 tahun penjara dan membayar denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan dan denda Rp 300 juta subsider 2 bulan kurungan. Namun, Frangki menjatuhkan vonis 5 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsidier tiga bulan kurungan pada politikus Partai Golkar Budi Supriyanto. Saat itu, jaksa KPK pun mengajukan banding atas putusan Frangki.

Dalam persidangan tersebut, Budi terbukti menerima suap sebesar 404 ribu Dolar Singapura dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir, terkait proyek pelebaran jalan di Maluku dan Maluku Utara.

Kasus yang terakhir ditangani Franky memvonis Komisaris CV Timur Alam Raya Sri Astuti 1 tahun 8 bulan penjara membayar denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan dalam kasus dugaan penyuapan pejabat PT Berdikari. Sri terbukti bersalah karena memberikan cash back sebagai fee sebesar Rp 1,9 miliar kepada Direktur Keuangan PT Berdikari Siti Marwah. Pemberian atau cash back tersebut diambil dari pembayaran PT Berdikari untuk pengadaan pupuk urea tablet pada tahun 2011 dan 2012.

Kedua hakim ini, John Halasan Butar-Butar dan Frangki Tambuwun, sempat menangani perkara kasus tindak pidana korupsi bersama sebagai hakim anggota. Salah satunya kasus dugaan tindak pidana suap impor gula dengan terdakwa mantan Ketua DPD Irman Gusman. Franky dan John setuju dengan pernyataan majelis hakim Nawawi Pamolango yang memvonis Irman hukuman 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta.

Mereka juga ikut berperan dalam vonis penyuap Irman, Direktur CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan Memi. Xaveriandy divonis tiga tahun penjara dan denda 50 juta rupiah sementara Memi, istri Xaveriandy divonis 2,5 tahun penjara dan denda 50 juta rupiah.

Dari rekam jejak kedua hakim ini, melalui persidangan korupsi E-KTP akan membuktikan sejauh mana dedikasi mereka sebagai hakim tipikor untuk menyeret nama-nama besar di balik kasus ini.

Nama beberapa pejabat negara yang pernah memenuhi panggilan KPK untuk menjalani pemeriksaan. Di antaranya Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pernah dipanggil dua kali oleh penyidik KPK.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar menjelaskan bahwa untuk membuka kasus yang mengendap lama, diperlukan fakta persidangan untuk menyeret nama berikutnya.

Akankah majelis hakim tipikor kali ini mampu mengungkap nama-nama di balik kasus ini dan adil dalam memberikan vonis?

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri