tirto.id - Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi meluruskan pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai ajakan untuk menggaungkan benci produk luar negeri. Lutfi menegaskan pernyataan ini tak bermaksud presiden ingin menutup diri sepenuhnya dari perdagangan dunia maupun produk asing atau disebut proteksionisme.
“Beliau juga jelas mengatakan bangsa Indonesia tidak punya sejarah proteksionisme, artinya kita ini memang bukan bangsa yang proteksionisme karena kita sadar proteksionime itu tidak memberikan nilai tambah pada kesejahteraan Indonesia,” ucap Lutfi dalam konferensi pers virtual, Kamis (4/3/2021).
Lutfi mengatakan komitmen Presiden Joko Widodo pada perdagangan internasional bisa dibuktikan lewat banyaknya perjanjian dagang yang dibuka. Saat ini jumlahnya mencapai 25. Manfaatnya, banyak produk Indonesia yang kini dapat lebih berdaya saing lewat pembukaan akses itu.
Sebaliknya, Lutfi mengklarifikasi bahwa benci yang disebutkan Presiden Jokowi justru terkait praktik perdagangan yang tidak adil seperti yang terjadi di ranah e-commerce. Lutfi mencontohkan sejumlah perusahaan dari asing sengaja menjual produknya dengan sangat murah untuk mematikan pelaku usaha dalam negeri dan UMKM atau dikenal juga predatory pricing.
Metodenya beragam, mulai dari kebijakan subsidi sampai dumping. Tujuannya mematikan kompetisi di Indonesia sehingga kemudian produk-produk itu dapat menguasai pasar untuk kemudian menentukan harga sekehendak mereka.
“Inilah yang menyebabkan kebencian produk asing yang diutarakan presiden karena kejadian perdagangan yang tidak adil, tidak menguntungkan dan tidak bermanfaat. Saya ingin jelaskan itu yang menjadi dasar ucapan presiden,” ucap Lutfi.
Lutfi mencontohkan ada satu kasus mengenai produk hijab. Awalnya UMKM Indonesia sangat maju dalam produk fashion Islam seperti hijab. Ia mencatat industri itu telah mempekerjakan 3.400 orang dengan total upah 650.000 dolar AS.
Sayangnya peluang ini menurutnya “disadap” oleh negara lain melalui teknologi artificial intelligence sesuai perkembangan teknologi saat ini. Dus industri Cina ikut memproduksinya dengan harga jual lebih murah. Produk itu masuk dengan bea masuk hanya 44.000 dolar AS dan ditambah biaya tenaga kerja di Cina, ongkosnya masih jauh di bawah ongkos di Indonesia.
“Dengan begitu ini yang disebut predatory pricing. Jadi kita tidak bisa bersaing,” ucap Lutfi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz