tirto.id - “Berdasarkan pengungkapan harta, program tax amnesty Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di dunia dengan hasil capaian mencapai Rp4.884,2 triliun,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat Nota Keuangan APBN 2018 pada 16 Agustus 2017.
Pidato Jokowi ini langsung disambut tepuk tangan para anggota DPR yang hadir di Gedung DPR saat itu. Ia lantas mengucapkan terima kasih atas kesadaran masyarakat yang mengikuti program amnesti pajak. Program amnesti pajak yang digelar sejak 2016 hingga 2017 itu berhasil diikuti oleh 937.400 wajib pajak. Dari program amnesti pajak tersebut, negara meraup penerimaan pajak sebesar Rp135 triliun.
Bila melihat besaran pemasukan buat negara, bisa dikatakan pemerintah cukup terbantu. Dengan penerimaan pajak tersebut, setidaknya bisa menutup sekitar 87 persen belanja subsidi pemerintah 2018 sebesar Rp156,22 triliun.
Namun, hasil dari program amnesti pajak itu juga semakin membuka mata bahwa orang-orang kaya di Indonesia itu memang masih ada yang memilih menghindari pajak alias tidak bayar pajak secara semestinya.
Jumlah orang kaya di Indonesia dalam lima tahun terakhir ini terus meningkat. Berdasarkan data Capgemini Financial Services Analysis 2017 (PDF), jumlah orang kaya Indonesia naik 11,2 persen dalam periode 2014-2015 dan 2015-2016 masing-masing 2,5 persen dan 13,7 persen. Dari jumlah orang kaya itu, total kekayaan mereka mencapai US$184 miliar pada 2016, naik 48 persen dari 2012 sebesar US$124,5 miliar. Adapun, orang kaya versi Capgemini ini adalah orang yang memiliki kekayaan lebih dari US$1 juta atau high net worth individuals (HNWI)
Seiring dengan perkembangan teknologi, jumlah orang-orang kaya di Indonesia juga makin bertambah. Orang-orang yang berlatar perusahaan startup berbasis teknologi mulai merapat sebagai orang kaya baru di Indonesia. Tengok saja survei yang dilakukan GlobeAsia 2018. Dari 150 nama orang kaya yang disebut, ada empat nama dari perusahaan startup berbasis teknologi masuk sebagai pendatang baru orang kaya di Indonesia.
Empat nama tersebut antara lain Ferry Unardi dari Traveloka dengan nilai kekayaan sekitar US$145 juta. Kemudian, William Tanuwijaya dari Tokopedia dengan nilai kekayaan sebesar US$130 juta. Ada Achmad Zaky dari Bukalapak yang memiliki kekayaan ditaksir sebesar US$105 juta, dan terakhir adalah Nadiem Makarim dari Gojek Indonesia yang memiliki kekayaan mencapai US$100 juta.
Sayangnya, "prestasi" Indonesia ini rupanya tidak sejalan dengan realisasi penerimaan pajak yang diterima negara. Pasalnya, sumbangan penerimaan pajak dari orang-orang kaya ini masih jauh lebih kecil ketimbang yang bergaji.
PPh Orang Pribadi
Bagaimana kinerja penerimaan pajak dari penghasilan orang-orang kaya di Indonesia?
Sebelum menjawab hal itu, ada baiknya kita mengerti lebih dahulu soal pajak penghasilan (PPh). Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diperoleh dalam satu tahun pajak. Di Indonesia, PPh terbagi atas dua jenis, yakni PPh migas dan PPh nonmigas. Untuk PPh nonmigas, jenis pajaknya terbagi lagi, di antaranya PPh pasal 21, pasal 22, pasal 22 impor, pasal 23, pasal 25/29 orang pribadi, pasal 25/29 badan, pasal 26, dan PPh final.
Dari sekian banyak jenis PPh nonmigas tersebut, PPh pasal 25/29 Orang Pribadi dianggap sebagai cerminan kontribusi orang kaya di Indonesia, di mereka mendapatkan penghasilan di luar gaji atau biasa disebut dengan non karyawan.
“Secara umum, PPh pasal 25/29 OP (orang pribadi) ini memang menjadi cerminan kontribusi orang-orang kaya terhadap penerimaan pajak,” tutur Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo kepada Tirto.
Berdasarkan riset Danny Darussalam Tax Center (DDTC), sumbangan PPh pasal 25/29 OP pada 2017 hanya sekitar 0,68 persen atau sebesar Rp7,82 triliun dari total penerimaan pajak sebesar Rp1.151 triliun. Hasil ini jelas sangat timpang apabila dibandingkan dengan sumbangan PPh pasal 21 atau karyawan, di mana karyawan menyumbang penerimaan pajak sebesar Rp117,74 triliun, atau 10,23 persen dari total penerimaan pajak.
Ketimpangan ini juga kian terasa setelah diketahui jumlah rekening yang memiliki simpanan di atas Rp1 miliar hanya 513.000 rekening bank, di mana menyumbang Rp3.300 triliun atau 64 persen dari total simpanan bank Rp5.300 triliun.
Sementara jumlah rekening yang memiliki simpanan di bawah Rp1 miliar mencapai 246 juta rekening dengan nilai simpanan sebesar Rp2.000 triliun atau 36 persen dari total simpanan bank. Dari data ini bisa dikatakan, kepatuhan orang kaya membayar pajak masih minim.
Meski begitu, upaya pemerintah dalam menggali potensi PPh pasal 25/29 OP sebenarnya patut untuk diapresiasi. Sepanjang pemerintahan Jokowi, tren penerimaan pajak dari PPh pasal 25/29 OP tumbuh 29 persen per tahun.
Sepanjang 2014, penerimaan pajak dari PPh OP tercatat Rp4,71 triliun. Tahun berikutnya, sumbangan PPh OP naik menjadi Rp8,27 triliun. Penerimaan PPh OP sempat turun menjadi Rp5,3 triliun pada 2016, tapi naik lagi menjadi Rp7,8 triliun pada 2017.
Meski kinerjanya membaik, tapi capaiannya masih sangat jauh dari nilai potensinya. Fuad Rahmany—Dirjen Pajak ke-14—pernah mengatakan potensi pajak dari PPh pasal orang pribadi mencapai Rp100 triliun per tahun.
Sulitnya Menggali PPh Orang Pribadi
Sudah menjadi rahasia umum, Ditjen Pajak selama ini masih kesulitan dalam menggali potensi penerimaan pajak, terutama dari wajib pajak baru. Persoalan klasik seperti kekurangan SDM, kewenangan yang lemah hingga sumber data atau informasi yang minim menjadi kambing hitam. Tim reformasi pajak yang dibentuk pada 2016 juga belum bisa menyelesaikan persoalan itu.
Dari sekian banyak persoalan, minimnya data atau informasi menjadi faktor utama sulitnya Ditjen Pajak untuk meningkatkan kepatuhan membayar pajak. Apalagi, sistem perpajakan di Indonesia menganut prinsip self assessment. Sistem pajak self assessment adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri nilai pajaknya, sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Agar sistem self assessment berjalan efektif, keterbukaan dan pelaksanaan penegak hukum menjadi hal yang penting. Tentunya, untuk bisa menegakkan hukum, informasi yang kuat menjadi modal dasar yang harus dipenuhi sebelumnya,” kata Yustinus.
Apa yang disampaikan Yustinus bisa jadi benar adanya. Hasil penelitian Endang Satyawati dan Mardanung Patmo Cahjono berjudul “Pengaruh Self Assessment System dan Sistem Informasi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak” (2017) menyebutkan bahwa self assessment dan sistem informasi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak.
Penelitian dari Universitas Kristen Surakarta ini mengambil sebanyak 200 responden dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh sistem self-assessment dan sistem informasi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak. Indikator yang diukur dari sistem informasi perpajakan tersebut di antaranya adalah jaminan keamanan data wajib pajak, kepercayaan terhadap pelayanan, tanggungjawab petugas pajak dan kemudahan mendapatkan informasi.
Namun, persoalan data atau informasi yang minim agaknya bakal terbantu dalam waktu dekat ini. Indonesia bakal mulai menerapkan pertukaran informasi secara otomatis untuk kepentingan perpajakan pada pertengahan 2018.
Dengan pelaksanaan pertukaran informasi atau Automatic Exchange of Information (AEoI) itu, Ditjen Pajak berwenang untuk mengintip langsung rekening para wajib pajak di bank, sekuritas, asuransi, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Jika diambil kesimpulan, peluang Ditjen Pajak dalam menggali potensi penerimaan pajak bakal semakin terbuka ke depannya. Ditjen Pajak harus bisa memanfaatkan sebaik-baiknya peluang agar kepatuhan pajak bisa meningkat, terutama dari mereka yang disebut sebagai orang kaya, dengan status "lama" atau juga orang kaya "baru".
Editor: Suhendra