tirto.id - Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah terus memperbesar porsi dana transfer ke daerah. Tujuannya agar daerah bisa mengelola keuangannya sendiri, sehingga pertumbuhan ekonomi semakin merata. Untuk APBN 2016, anggaran transfer ke daerah mencapai Rp723 triliun naik Rp80 triliun dari tahun sebelumnya yakni sebesar Rp643 triliun.
Sayangnya, dana transfer ke daerah tersebut belum dimaksimalkan penggunaannya oleh pemerintah daerah (pemda). Per Juni 2016, terdapat dana transfer ke daerah Rp242 triliun menganggur (idle) di bank pembangunan daerah (BPD). Ini berarti, sekitar 33 persen dana yang dianggarkan pemerintah pusat masih belum dialokasikan untuk pembangunan daerah.
"Per akhir Juni, dana pemda yang ada di perbankan itu Rp242 triliun. Kita sudah transfer tepat waktu, tetapi di sananya belum dipakai, statusnya masih di perbankan," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro dikutip dari Antara.
Menimbun dana pemda di bank bukanlah hal baru di Indonesia. Sudah menjadi kebiasaan pemerintah daerah menyimpan anggaran yang berasal dari pemerintah pusat dengan alasan jaga-jaga kalau ada kebijakan baru yang datang mendadak. Padahal hal tersebut dapat mengakibatkan tertundanya proyek-proyek pembangunan di daerah.
Misalnya pada Desember 2014, dana idle tercatat sebesar Rp113 triliun. Kemudian Januari 2015 naik menjadi Rp168,9 triliun, Februari terus naik menjadi Rp181,2 triliun, sehingga pada Maret menjadi Rp227,7 triliun, April sebesar Rp253,7 triliun, Mei menjadi Rp255,3 triliun, dan Rp273,5 triliun di Juni 2015. Ini berarti, percepatan transfer dana pemerintah pusat ke daerah tidak disertai dengan percepatan realisasi proyek dan program pemerintah daerah.
Meski demikian, kondisi tersebut tidak terjadi di seluruh daerah. Ada beberapa daerah yang rajin menyerap anggaran. Misalnya Kalimantan Tengah (Kalteng) yang realisasi belanjanya sudah mencapai 50 persen per akhir Juli 2015. Daerah lain masih kisaran 20-30 persen pada pertengahan tahun. Dengan penyerapan anggaran yang cukup kuat, Kalteng mencatat pertumbuhan ekonominya paling bagus.
Menkeu Bambang juga mengakui bahwa penyerapan dana oleh pemda memang cenderung terjadi pada akhir tahun. Padahal, idealnya penyerapan dana tersebut harus sudah dilakukan setelah dana ditransfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. "Yang kencang itu kemarin pada bulan Desember. Tentunya kita tidak ingin terulang. Tahun lalu terjadi lagi sekarang. Kalau seperti itu, yang repot kita. Di daerah tidak jadi barang alias tidak jadi proyek," kata Bambang, dikutip dari Antara.
Selain mengganggu proyek-proyek pembangunan daerah, kondisi seperti itu tentu akan berpengaruh pada arus kas (cash flow). Padahal pemerintah berharap dana yang masuk ke daerah itu bisa terpakai dan menjawab isu pertumbuhan ekonomi. Sebab, dana yang terserap dengan cepat oleh pemda dapat menopang pertumbuhan ekonomi di daerah.
Sanksi Yang Tak Membuat Jera?
Pengendapan dana di bank yang terus meningkat tentunya tidak sehat. Sementara pemerintah pusat sendiri sepertinya kurang keras menghadapi pemda-pemda yang malas bergerak. Pada 2014 saat Menteri Keuangan dijabat oleh M. Chatib Basri, pemerintah pernah berencana akan mengeluarkan aturan jumlah maksimal dana pemda yang ditempatkan dalam deposito. Aturan tersebut bertujuan agar dana transfer daerah dari pemerintah pusat tidak mengendap di perbankan, melainkan mengalir untuk pembangunan daerah.
Namun, sepertinya rencana itu masih belum terlihat realisasinya sebab hingga 2015 dana pemda yang mengendap di bank malah meningkat. Presiden Joko Widodo yang sudah geram dengan penumpukan dana di bank itu langsung menugaskan Menkeu Bambang Brodjonegoro untuk segera menyiapkan sanksi untuk masing-masing pemda yang mengendapkan dananya di bank.
Sanksi pertama yakni dengan mengonversikan dana transfer ke daerah ke dalam bentuk non tunai, yaitu melalui Surat Utang Negara (SUN). Ini artinya, pemda tidak akan mendapatkan dana tunai untuk bulan berikutnya dari pemerintah pusat.
Sanksi kedua adalah dengan mengurangi dan menghentikan penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun berikutnya, bagi daerah yang tidak menyerap anggaran dengan baik. Sanksi ini disebutkan dituangkan dalam Undang-Undang (UU) APBN 2016. Kemudian ada penjelasan lebih teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yang dikeluarkan setelah UU APBN 2016 disahkan oleh Dewan perwakilan Rakyat (DPR).
Mekanisme pemberian sanksi ini, menurut Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo yakni, penetapan dana menganggur yang diawali dengan penyampaian laporan posisi kas, perkiraan kebutuhan belanja bulanan dan laporan realisasi APBD secara bulanan. Kemudian dihitung besarnya posisi kas pemda yang belum, atau tidak digunakan untuk belanja APBD.
Posisi kas pemda yang belum atau tidak digunakan untuk belanja APBD akan dicocokkan dengan jumlah simpanan pemda di bank, untuk menentukan besarnya dana idle Pemda. Kriteria dana menganggur yakni, dana yang ditempatkan di bank dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan, yang jumlahnya melebihi kebutuhan belanja APBD selama tiga bulan. Bila itu terpenuhi maka sanksi siap diberikan. Sementara sanksi penghentian dan penyaluran DAK di tahun berikutnya akan diberikan bila penyerapan kurang dari 75%.
Tapi penerapan sanksi sepertinya juga belum bisa mengurangi pengendapan dana di bank, terlihat dari adanya pengendapan dana sebesar Rp242 triliun di bank. Lantas ada apa sesungguhnya?
Gubernur Gorontalo Rusli Habibi mengatakan, pemerintah daerah mengalami kesulitan menyerap dana transfer daerah dari pemerintah pusat. Salah satu kesulitannya adalah proses lelang pekerjaan proyek infrastruktur dan belanja modal di daerah yang baru bisa dilaksanakan antara Januari sampai Maret.
"Makanya tidak heran di awal-awal banyak yang tidak terserap," katanya, dikutip dari Kontan.
Masalah kedua, permasalahan pelaksanaan proyek yang tidak mulus. Rusli mengatakan, banyak proses lelang, kontrak proyek yang dilaksanakan oleh daerah sering gagal. Kegagalan utamanya disebabkan oleh proses penawaran yang syaratnya tidak lengkap.
"Ketika jalan pun ada saja masalahnya, ada masalah lahan, jadi macam-macam," kata Rusli.
Masalah berbeda datang dari Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Wakil Bupati Kepulauan Meranti, Said Hasyim mengungkapkan, realisasi APBD 2016 Kepulauan Meranti, baik fisik maupun keuangan hingga triwulan kedua belum mencapai 10 persen. Itu bukan disebabkan karena kurangnya kinerja, tetapi lebih pada tak kunjung cairnya dana transfer Dana Bagi Hasil Migas dari Pemerintah Pusat ke Kabupaten Kepulauan Meranti.
Selain itu, dana yang berasal dari pemerintah pusat diendapkan di bank karena pemda sangat berhati-hati dalam mengeksekusi dana tersebut. Hal itu tidak terlepas dari banyaknya pemimpin daerah yang berurusan dengan pihak hukum karena dinilai sembrono menggunakan keuangan negara.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, hingga Desember 2014 terdapat 343 kepala daerah yang berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut dengan masalah pengelolaan keuangan daerah. Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran di kalangan pejabat lainnya dalam menggunakan anggaran dan melaksanakan program pembangunan. Sehingga tak banyak yang kemudian memilih untuk menyimpannya dana tersebut di bank.
Tujuan transfer dana ke daerah sedianya cukup baik karena untuk memeratakan perekonomian. Namun, jika realisasinya dana hanya mengendap di bank, maka daerah tidak bisa mendapatkan keuntungan maksimal. Karena itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus sama-sama berupaya agar dana transfer ke daerah itu tidak mengendap di perbankan.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti