Menuju konten utama

Menanti Sanksi untuk Waskita Karya

Pemerintah dan DPR perlu memastikan kalau tak boleh ada lagi kecelakaan kerja di perusahaan konstruksi plat merah. Harus ada sanksi tegas.

Menanti Sanksi untuk Waskita Karya
Pekerja mengangkut puing-puing tiang pancang yang roboh di proyek pembangunan tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) di Jalan D I Panjaitan, Jakarta, Selasa (20/2/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Proyek infrastruktur yang dikerjakan PT Waskita Karya (Persero) Tbk kembali bermasalah. Minggu pagi (18/3), besi holo ukuran 4x4 meter proyek rumah susun sewa (Rusunawa) Pasar Rumput jatuh dan menimpa Tarminah, seorang perempuan berumur 54 tahun. Nyawanya tak tertolong.

Ini adalah kecelakaan ke-7 yang terjadi di proyek Waskita sejak Agustus tahun lalu. Sebelumnya kasus serupa terjadi di Palembang, menyebabkan dua orang meninggal dunia; Jalan Tol Bocimi (Bogor-Ciawi-Sukabumi), menewaskan satu orang; Jalan Tol Paspor (Pasuruan-Probolinggo), menyebabkan satu pekerja tewas; Jalan Tol Jakarta-Cikampek II; Jalan Tol Pemalang-Batang; dan Jalan Tol Becakayu (Bekasi-Cawang-Kampung Melayu).

Rentetan kecelakaan kerja ini mendapat perhatian serius dari banyak orang. Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno misalnya, mengatakan kalau yang dibutuhkan saat ini bukan hanya evaluasi, tapi juga "harus ada yang bertanggung jawab" karena kasus serupa terus-menerus terjadi.

Begitu pula yang dikatakan ahli bidang infrastruktur dari Universitas Indonesia (UI) Wicaksono Adi. Ia mengatakan perlu ada sanksi tegas kepada Waskita.

Perombakan direksi yang ditetapkan oleh Kementerian BUMN untuk Waskita pada 6 April mendatang, katanya, tidak bisa serta merta menyelesaikan masalah substansial yang dialami perusahaan: buruknya penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Buruknya penerapan K3 bukan penilaian orang luar, tapi disampaikan langsung oleh Direktur Utama (Dirut) PT Waskita, Muhammad Choliq.

Menurutnya, perombakan direksi hanya memberikan pesan tegas kepada publik, tak lebih dari itu. "Secara internal perusahaan perlu ada evaluasi, poin-poinnya adalah kultur K3 perusahaan, prosedur K3 di proyek-proyek konstruksi yang ditangani, alokasi anggaran K3 untuk proyek-proyek konstruksi yang ditangani, dan faktor SDM proyek," kata Wicak kepada Tirto, Senin (19/3/2018).

Ia mengatakan, di dunia perusahaan konstruksi swasta, kasus pelanggaran K3 bisa berakibat sangat fatal. Perusahaan yang terlibat bisa-bisa masuk daftar hitam dan tidak dapat proyek dalam jangka waktu panjang. Itu kenapa swasta, kata Wicak, lebih baik soal K3.

"Ini [penerapan K3 secara ketat] sudah lazim [di perusahaan konstruksi swasta]. Nah, diharapkan jika klien proyek pemerintah ini perusahaan BUMN/BUMD, maka sepatutnya lebih tegas lagi," ucapnya.

Rekomendasi Sanksi dari Kementerian PUPR

Menteri Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, sebetulnya telah mengajukan rekomendasi kepada Menteri BUMN, Rini Soemarno, untuk diterapkan kepada Waskita yang melanggar aspek K3 di lapangan. Surat rekomendasi telah dikirim pada Senin (12/3) lalu. Di dalamnya juga terdapat sanksi, meski sampai sekarang belum jelas realisasinya.

Direktur Bina Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Sumito, menyebutkan isi rekomendasi tersebut lebih menitikberatkan pada kinerja dalam menjalankan Standar Operasional Prosedur K3, yang sifatnya normatif sesuai hukum yang berlaku.

"Sebenarnya terkait mekanisme saja. Harus ada perbaikan ke depan, harus ini dan itu," kata dia.

Salah satu rekomendasinya, empat BUMN yang pernah ada catatan kecelakaan kerja membuat satu unit khusus yang menangani QHSE (quality, health, safety, dan environment). Unit QHSE ini, nantinya akan akan bertanggung jawab langsung kepada direktur utama korporasi.

Sementara soal sanksi, Sumito mengatakan itu sepenuhnya kewenangan Kementerian BUMN, termasuk soal perombakan direksi.

"Yang bisa memberikan sanksi ke Waskita Karya kan yang punya, Kementerian BUMN," katanya.

Pemerintah via Kementerian BUMN punya saham mayoritas di Waskita, dengan jumlah 66,03 persen. Sisanya dibagi antara masyarakat (19,05 persen), asing (14,89 persen), dan pekerja (0,03 persen).

DPR Bikin Panja

Ketua Komisi V DPR RI, Fary Djemi Francis, mengatakan kemungkinan pada Rabu (21/3), komisinya akan membuat panitia kerja (panja) untuk menginvestigasi penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di proyek-proyek BUMN konstruksi. Sudah ada tujuh fraksi yang setuju.

Panja ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang jernih mengenai apa yang terjadi beserta rekomendasi sanksi yang harus dipatuhi Kementerian PUPR sebagai pembina pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh perusahaan konstruksi plat merah.

Sanksi mungkin tidak hanya dikenakan kepada BUMN konstruksi saja, tapi juga kepada perusahaan konsultan pengawas, dan Kementerian PUPR sebagai pembina.

"Akan kami dalami pada peran pemerintah. Besok kami mau tanyakan apa sanksi yang telah diberikan. Kalau terjadi lagi kan ada sanksi berikutnya, enggak hanya untuk para direksi, bahkan perusahaan bisa dicabut izin konstruksinya, di-blacklist," ujar Fary. Dan ini dimungkinkan secara legal-formal.

Jika merujuk pada Pasal 96 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, ada beberapa tahap sanksi bagi perusahaan yang tidak memenuhi standar K3, mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, hingga yang paling berat adalah pembekuan dan/atau pencabutan izin.

Bersamaan dengan pembentukan panja, Komisi V juga akan rapat bersama Menteri PUPR serta jajaran direksi Waskita dengan agenda menagih laporan evaluasi yang telah diselenggarakan pada 20 Februari, pasca-kecelakaan di Jalan Tol Becakayu.

"Kami mau lihat dengan minta penjelasan berkaitan dengan mekanisme evaluasi, dan sanksi yang sudah dijalankan apa saja," kata Fary.

Baca juga artikel terkait PROYEK INFRASTRUKTUR atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Hukum
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Rio Apinino