Menuju konten utama

Menanti Keberanian Hakim MK saat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Putusan sengketa Pilpres 2024 jadi pertaruhan integritas MK karena dituding sebagai biang keladi kecurangan pemilu kali ini.

Menanti Keberanian Hakim MK saat Putusan Sengketa Pilpres 2024
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) dan Arief Hidayat (kanan) memimpin sidang lanjutan sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (28/3/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/tom.

tirto.id - Pundak delapan hakim konstitusi tengah menanggung beban yang berat. Proses sengketa pemilihan presiden (Pilpres) 2024 segera menuju ujungnya. Mahkamah Konstitusi (MK) bakal mengumumkan putusan sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Senin (22/4/2024) pekan depan.

Dalam sengketa Pilpres 2024, Ketua MK Suhartoyo memberi kesempatan bagi para pihak yang bersengketa menyerahkan kesimpulan proses sidang PHPU. Hal ini belum pernah dilakukan dalam sidang sengketa pilpres sebelumnya. Hakim konstitusi menilai, Pilpres 2024 dipenuhi dinamika yang berbeda dari pilpres sebelumnya.

Padahal, kesimpulan bersifat tidak wajib dan tahap ini biasanya diterapkan dalam sidang uji konstitusionalitas undang-undang.

Kali ini, MK mengakomodir tahap penyampaian kesimpulan untuk menambahkan hal-hal bersifat krusial dan penyerahan berkas yang masih tertinggal dalam proses sidang sengketa PHPU.

Selain itu, sengketa Pilpres 2024 turut diwarnai dengan pemanggilan menteri aktif sebagai saksi di persidangan. MK menggunakan diskresinya untuk memanggil empat anak buah Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu. Mereka yakni, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.

Langkah MK menghadirkan empat menteri ini bisa ditangkap sebagai sinyal para hakim begitu serius memperdalam dalil-dalil pemohon. Para menteri dihadirkan untuk memberikan keterangan kepada hakim konstitusi soal tudingan pemohon mengenai politisasi bantuan sosial (bansos) dan campur tangan Presiden Jokowi dalam Pilpres 2024.

Sidang lanjutan sengketa Pilpres mendengarkan keterangan Menteri

Menko PMK Muhadjir Effendy (kanan), Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kanan), Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri), Menteri Sosial Tri Rismaharini (kiri) berfoto bersama usai mengikuti sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (5/4/2024). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, memandang dihadirkannya empat menteri kabinet Jokowi ke persidangan merupakan sinyal bahwa proses Pemilu 2024 tidak baik-baik saja. Ditambah, dengan tahapan penyampaian kesimpulan dan munculnya sahabat peradilan (amicus curiae), maka tudingan para pemohon dalam sengketa Pilpres 2024 tidak bisa dipandang remeh oleh MK.

“Kalau memang tidak ditengarai ada masalah, seharusnya tidak terjadi seperti itu. Bahkan desakan permintaan agar presiden dihadirkan dalam sidang juga cukup kuat,” kata Kaka kepada reporter Tirto, Kamis (18/4/2024).

Sebagai pihak yang memantau proses pemilu, kata Kaka, memang Pemilu 2024 perlu mendapatkan catatan-catatan koreksi dalam penyelenggaraannya.

Koreksi yang perlu dilakukan tidak sekadar soal rekapitulasi suara berjalan dengan baik atau tidak, namun juga soal proses pemilu dari persiapan sampai pemungutan suara, terutama terkait intervensi penguasa dalam Pemilu 2024.

“Independensi penyelenggara dan profesionalisme penyelenggara pemilu khususnya, KPU juga kinerja pengawasan Bawaslu yang dipertanyakan banyak pihak. Belum lagi soal adanya putusan [MK Nomor] 90 tahun 2023 dari MK,” ujar Kaka.

Menurut Kaka, MK bisa melakukan koreksi jika memang memandang bahwa dari fakta-fakta persidangan, hakim konstitusi menemukan adanya dugaan kuat kecurangan dalam proses pemilu sebagaimana tudingan pihak pemohon.

Dia berharap bahwa proses sidang sengketa Pilpres 2024 di MK dapat memperkaya atau melengkapi proses tahapan pemilu yang sudah rampung. Dia turut menanti terobosan putusan yang bisa dilakukan oleh hakim konstitusi. Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri pasti akan ada pihak-pihak yang kecewa akan putusan MK mendatang.

“Termasuk kalau mungkin mengecewakan banyak pihak, karena putusan MK kemungkinan pasti akan memberikan ada pihak-pihak yang kecewa. Nah, bagaimana kita menyelesaikan itu dan ini adalah proses pembelajaran,” tutur Kaka.

Sidang sengketa Pilpres 2024 mempertemukan dua pemohon, yakni kubu pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, berhadapan dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai termohon.

Adapun kubu pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menjadi pihak terkait dalam PHPU kali ini. Prabowo-Gibran memenangkan raihan suara terbanyak nasional sebagaimana diumumkan KPU pada 20 Maret 2024 lalu.

Kubu AMIN dan Ganjar-Mahfud sebagai pemohon, bersikukuh adanya cawe-cawe Presiden Jokowi dalam proses pemilu 2024. Mereka sama-sama meminta pemungutan suara ulang (PSU) dan salah satunya meminta agar Gibran, putra sulung Jokowi, tidak disertakan sebagai peserta Pilpres dalam pemilu ulang.

Tim hukum Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) menyampaikan 35 alat bukti tambahan saat menyampaikan kesimpulan, Selasa (16/4/2024) lalu.

Anggota tim hukum Timnas AMIN, Heru Widodo, mengungkapkan berbagai alat bukti tersebut, terkait dengan pelanggaran terhadap persyaratan calon kontestan Pilpres, penyalahgunaan bansos, netralitas pejabat, kepala daerah, dan kepala desa, dan teknologi informasi.

Sementara itu, Ketua Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, menyatakan pihaknya mencantumkan lima pelanggaran Pilpres 2024 dalam kesimpulan sidang sengketa Pilpres 2024. Pelanggaran itu soal putusan MK Nomor 90, nepotisme usai putusan tersebut, penyalahgunaan kekuasaan, soal prosedur Pilpres, dan soal penggunaan Sirekap.

Di sisi lain, KPU dan kubu Prabowo-Gibran sama-sama menepis tudingan adanya kecurangan dalam Pemilu 2024. Keduanya kompak meminta hakim konstitusi menolak permohonan kubu AMIN dan Ganjar-Mahfud dalam kesimpulan mereka serahkan ke MK. Menurut Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU RI, Mochammad Afifuddin, seluruh dalil Pemohon dan fakta-fakta yang ada dalam persidangan tidak terbukti.

“KPU melalui kesimpulan tersebut meminta kepada YM Majelis Hakim Konstitusi agar menjatuhkan putusan yang pada pokoknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima dan menolak permohonan Pemohon,” kata dia.

Adapun Anggota Tim Pembela Prabowo-Gibran, Fahri Bachmid, berujar bahwa salah satu isi kesimpulan mereka adalah bantahan bahwa pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran. Fahri menambahkan, bahwa pihaknya membuat kesimpulan dalam dokumen dengan tebal 70-80 lembar. Isi kesimpulan itu mencantumkan fakta-fakta dari perjalanan sidang PHPU Pilpres 2024.

“Tidak ada analisis baru, tidak ada fakta baru, ataupun kita mencoba melakukan memasukkan secara manipulatif,” urai Fahri.

Putusan PHPU Jadi Pertaruhan Integritas MK

Pakar hukum kepemiluan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona, menilai putusan sengketa Pilpres 2024 merupakan kesempatan emas untuk mengibarkan bendera MK yang terkoyak-koyak karena putusan kontroversial Nomor 90/2023.

Maka, kata dia, sangat disayangkan bila kesempatan kali ini tidak dimanfaatkan hakim konstitusi progresif yang mendukung independensi kekuasaan kehakiman.

“Peluangnya 50-50. Kalau berkaca pada putusan 90, ada tiga hakim yang tidak setuju perubahan syarat usia dan tiga hakim yg setuju. Ditambah dengan dua hakim baru yang belum tahu bagaimana posisinya [saat ini],” kata Yance kepada reporter Tirto, Kamis.

Terlepas dari komposisi hakim, Yance mengingatkan agar publik menengok kembali seberapa intensif dalil-dalil yang diajukan pemohon sudah dibahas dalam persidangan.

Ada tiga permasalahan pokok dalam sengketa Pilpres 2024. Ketiga pokok masalah ini meliputi manipulasi syarat pencalonan, kecurangan terstruktur, sistemik, dan masif dalam pembagian bansos, serta terkait pengerahan pejabat.

“Dari tiga itu, isu pertama dan kedua banyak dibahas, sedangkan yang ketika sangat minim pembuktiannya,” ujar Yance.

Di sisi lain, jika MK mengabulkan permohonan pemohon, maka perlu diperhatikan juga beberapa hal yang perlu disiapkan. Misal, jika MK mendiskualifikasi Prabowo-Gibran atau hanya menghapus pencalonan Gibran semata, maka perlu dipikirkan juga apakah akan dilakukan pemilu ulang dan kapan waktu tepat melakukannya.

“Selain itu, [saat ini] dukungan politik juga lemah karena hak angket tidak berjalan. Kalau hak angket berjalanan, saya yakin MK akan lebih berani mengambil putusan yang mengoreksi pemilu 2024,” terang Yance.

Sementara itu, Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, memandang MK masih sangat terbuka memutus perkara PHPU dengan putusan yang membuat mereka berperan sebagai pelindung konstitusi dan demokrasi. Menurut dia, MK yang saat ini tengah melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH), perlu melihat indikasi pelanggaran dalam proses pemilu.

“MK wajib mempertimbangkan semua aspek, terlepas tidak banyak soal dalil perolehan suara di MK tapi para pemohon fokus membuktikan ada pelanggaran pemilu yang serius dalam proses penyelenggaraan sampai pemungutan suara,” kata Fadli kepada reporter Tirto, Kamis (18/4/2024).

Menurut Fadli, proses sengketa pilpres di MK bisa menjadi pelajaran bahwa Pemilu 2024 punya banyak masalah. Biang masalahnya, kata dia, datang dari penyelenggara pemilu itu sendiri.

Lebih lanjut, Fadli menilai MK bisa saja membuat putusan agar ada pemilu ulang. Namun, tentu saja gelaran pemilu ulang malah berpotensi menimbulkan masalah baru, terutama pada Pilpres 2024 ini. Hal ini karena MK juga dianggap biang keladi kecurangan yang terjadi pada pemilu kali ini dengan memberikan karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres.

“Tapi dalam konteks pilpres saat ini maka MK akan menarik jauh mundur ke dalam problem nomor 90 yang diputus oleh MK sendiri. Nah ini yang menjadi problematik,” sebut Fadli.

Sidang pembuktian pihak terkait sengketa Pilpres

Ketua tim pembela pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Yusril Ihza Mahendra (kanan) memberikan pertanyaan kepada ahli saat sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (4/4/2024). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nym.

Hal senada juga disampaikan pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah. Menurut pria yang akrab disapa Castro ini, jika MK mengabulkan permohonan pemohon maka sama saja mereka menampar wajah sendiri. Hal ini akan menjadi pertimbangan besar MK dalam memutus hasil sidang sengketa Pilpres 2024.

“Kalau MK mengabulkan petitum pemohon, berat bagi MK. Karena sama saja dengan menuding batang hidungnya sebagai pembuat keonaran melalui putusan MK Nomor 90 lalu. Itu yang membuat MK tersandera dengan putusannya sendiri,” kata Castro kepada reporter Tirto, Kamis.

Menurut Castro publik berhak khawatir jika MK mengeluarkan putusan yang melempem dan mengecewakan.

Kemunduran di badan MK sudah nampak sejak putusan Nomor 90, dan akan semakin memperparah muruah MK jika tidak mempertimbangkan petitum pemohon dalam sengketa Pilpres 2024.

“Harapan tentu ingin MK menjatuhkan putusan yang substansial dibanding prosedural. Harus berani mengambil putusan yang berkeadilan terhadap masa depan demokrasi dan pemilu kita kedepannya,” tegas Castro.

Sidang lanjutan sengketa Pilpres 2024

Ketua KPU Hasyim Asy'ari (kanan) berbincang dengan Komisioner KPU Idham Holik (tengah) dan August Melasz (kiri) saat sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (3/4/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom,.

Baca juga artikel terkait PUTUSAN MK PILPRES 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto