tirto.id - Debat Pilpres 2019 putaran ketiga akan digelar pada Minggu (17/3/2019). Setelah pada putaran kedua hanya menampilkan masing-masing capres, maka pada debat kali ini yang tampil adalah masing-masing cawapres. Ma’ruf Amin akan berhadapan dengan Sandiaga Uno.
Pada debat putaran pertama, karena mereka tampil bersama capres, keduanya tidak terlalu dominan. Dan Ma’ruf yang tampil paling irit kata alias paling tidak dominan. Dari 90 menit waktu yang disediakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ma’ruf hanya menghabiskan waktu untuk berbicara selama 5 menit 15 detik.
Dari total 9.128 kata yang dihamburkan oleh kedua pasangan ini, ia hanya berbicara 300 kata dengan 176 kata yang berbeda. Angka 300 itu masih dikurangi oleh kata hubung “yang”, “di”, “ke” dan lain-lain. Dan dari enam segmen yang sediakan oleh KPU, Ma’ruf Amin hanya berbicara di segmen 2,3, dan 4. Amat irit.
Kalimat terpendek yang diucapkannya adalah “Ini bapak” dan kata “cukup”. Pertama kali berbicara dalam perdebatan, Ma’ruf hanya menyatakan dukungan terhadap penjelasan yang telah disampaikan Jokowi, pasangannya. Sebuah kalimat yang tak menyakinkan, mirip pemandu sorak, alih-alih seorang kandidat wapres.
“Saya tidak menambah, saya mendukung pernyataan Pak Jokowi,” ucapnya.
Dari 5 menit 15 detik yang dihabiskannya, 4 menit ia gunakan hanya untuk membahas topik terorisme. Topik ini menyita 75 persen waktu yang ia gunakan.
Sehari setelah debat putaran pertama usai, Ma’ruf menyampaikan alasannya kenapa ia membatasi diri dari banyak omong di debat tersebut. Menurutnya, capres memang harus lebih dominan daripada cawapres, karena itulah ia hanya rajin menambahkan atau menyatakan setuju terhadap apa yang disampaikan pasangannya.
“Kalau sudah dijelaskan oleh presiden, ya saya tinggal menyetujui, mendukung. Jangan seperti orang balapan ngomong,” ucapnya.
Selain itu, karena pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai lawannya lebih banyak mempersoalkan kinerja Jokowi sebagai presiden, maka ia anggap Jokowi yang lebih tepat untuk menjawab pertanyaan itu sebab Jokowi lebih memahaminya.
Alasan lain dari minimnya Ma’ruf angkat bicara pada debat putaran pertama disampaikan Sekjen Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Hasto Kristiyanto. Menurutnya, hal tersebut adalah bentuk kerja sama antara Jokowi dengan Ma’ruf Amin.
“Meskipun berbicara sedikit, tetapi yang disampaikan KH Ma’ruf Amin adalah sesuatu yang sangat fundamental, dan ke depan kerjasamanya akan sangat baik. Berbeda kalau antara capres-cawapres dulu-duluan mana yang berbicara, nanti nggak kelihatan mana presiden mana wakil presiden,” ungkapnya.
Ma’ruf dan Hasto boleh saja membeberkan alasan-alasan itu, karena memang pada kesempatan pertama ia tampil berdua dengan Jokowi. Namun, pada debat putaran ketiga yang akan datang, Ma’ruf tak bisa lagi banyak diam dan berkilah bahwa capres yang harus lebih dominan. Ia akan tampil sendirian dan menentukan penampilannya sendiri.
Minggu, 17 Maret 2019 di Hotel Sultan, ia mau tak mau mesti membahas topik pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan kebudayaan, sendirian saja. Mengemukakan pendapat, menjawab, dan membantah, dari panelis dan dari serta ke Sandiaga Uno, lawannya, yang usianya lebih muda 25 tahun dari dirinya.
Untuk menghadapi debat itu, pria yang pernah jadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2010-2014 ini mempersiapkan diri dengan cara memperbanyak diskusi tentang isu termutakhir dengan tim pemenangannya. Selain itu, ia juga meluangkan banyak waktu untuk membaca buku dan kitab klasik. Agenda menerima tamu dan menghadiri kegiatan di luar daerah sementara dihentikan sampai debat putaran ketiga selesai.
“Menjelang debat, selain saya mendengarkan informasi dari para pengambil keputusan, pelaksana teknis dan para akademisi, saya juga membaca tulisan [buku dan artikel], komentar [di media]. Saya juga memperbanyak membaca kitab klasik,” ungkapnya.
Yang patut dinanti juga adalah bagaimana cara pemaparan Ma'ruf. Ia yang kebagian membahas soal terorisme pada debat putaran pertama, terlihat agak tegang—demikian juga Jokowi yang kerap manggut-manggut saat Ma’ruf Amin memaparkan penjelasannya—dengan banyak jeda dari satu kalimat ke kalimat berikutnya. Malah tampak seperti sedang mengingat-ngingat hafalan.
Meski demikian, dengan bicara yang tidak terburu-buru, ia dapat menyampaikan pandangan pasangan nomor urut 01 tentang terorisme, pencegahan, dan penanggulangannya dengan struktur yang baik.
Mula-mula ia berkata bahwa terorisme adalah bentuk kejahatan yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Untuk memperkuat argumentasinya, Ma’ruf mengutip ayat Alquran tentang kerusakan di muka bumi.
Selanjutnya, ia menyampaikan bahwa penanggulangannya harus dilakukan dengan dua cara, yakni pencegahan dan penindakan. Dalam hal penindakan yang kerap menimbulkan kontroversi karena terkait dengan kekerasan, ia menyatakan akan melakukannya dengan cara manusiawi yang tidak melanggar Hak Asasi Manusia.
Sampai di situ apa yang disampaikannya bisa dibilang normatif saja meski ia memang baik dalam pemaparannya: runut dan diksinya terkendali. Namun, di ujung penyampaian, ia mengatakan akan melibatkan sejumlah ormas, khususnya organisasi keagamaan dalam penanggulangan terorisme.
Jika mengacu pada apa yang ia sampaikan sebelumnya, penanggulangan adalah pencegahan dan penindakan. Artinya, ormas-ormas tersebut—secara tersirat—juga akan dilibatkan dalam penindakan. Hal ini titik lemahnya, karena berpotensi akan meluaskan kekerasan di dalam masyarakat.
Berbeda dengan Sandiaga Uno yang pernah mendampingi Anies Baswedan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, Ma’ruf Amin belum berpengalaman dalam berdebat memperebutkan jabatan publik.
Namun, jika melihat pelbagai pernyataannya, ia berkali-kali berbicara secara clear terhadap permasalahan yang ditanyakan kepadanya. Contohnya dalam menyikapi Hizbut Tahrir Indonesia beberapa waktu ke belakang.
“HTI itu kan memang organisasi yang mengusung khilafah. Organisasi yang transnasional. Nah, kalau dia mengusung khilafah, berarti dia bertabrakan dengan sistem pemerintahan Indonesia. Oleh karena itu tidak bisa. Itu tidak bisa. Di Indonesia ini semua organisasi harus mengacu pada sistem nasional kita, pemerintah kita, kebangsaan dan kenegaraan,” ucapnya.
Di luar itu, dalam konteks Pilpres 2019, Ma’ruf Amin juga bukan berarti tak pernah terpeleset lidah. Ia pernah melalukan blunder saat menggunakan kata “buta” dan “budek” terhadap pengkritik Jokowi, yang mengingkari kerja-kerja Jokowi dalam membangun sejumlah infrastruktur.
“Apa yang sudah dilakukan misalnya infrastruktur, jalan-jalan, lapangan terbang, pelabuhan, pendidikan, fasilitas kesehatan. Kalau mengingkari itu semua, kan kayak orang buta nggak melihat dan kayak orang budek,” ujarnya.
Pernyataannya yang memakai kata “buta” dan “budek” sontak mengundang reaksi sejumlah pihak. Sebuah kelompok bahkan melaporkan Ma’ruf ke Bawaslu atas pernyataannya yang dianggap menyakiti perasaan kaum rentan dan disabilitas.
Di sini terlihat, Ma’ruf dalam situasi kompetitif seperti Pilpres 2019, dapat mengeluarkan kata-kata bernada emosional. Artinya—meski tentu sejumlah persiapan telah dilakukan olehnya dan tim pemenangannya—dalam debat putaran ketiga yang akan datang, tak menutup kemungkinan jika ia juga dapat kembali terpeleset dalam menggunakan kata-kata.
Apalagi topik yang akan diperdebatkan adalah soal pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan kebudayaan. Tema-tema tersebut yang selama ia menjabat sebagai Ketua MUI, jarang menjadi pembahasannya.
Meski demikian, sebagai seorang ulama yang lahir dari tradisi Nahdlatul Ulama yang kerap melahirkan kiai-kiai yang pandai mencairkan suasana, Ma’ruf barangkali akan mampu mengatasi hal-hal tersebut.
Pada akhirnya, ajang debat yang akan ia hadapi sendirian ini adalah pertaruhan dirinya, apakah layak menjadi wakil presiden atau sebaliknya.
Editor: Nuran Wibisono