tirto.id - Ada negara begitu kaya, tapi ada pula yang jatuh miskin. Beberapa di antaranya juga musnah.
Luxembourg lebih kaya tiga ratus lima puluh kali lipat dibanding Burundi. Menurut data World Bank, Pendapatan rata-rata penduduk negara kecil yang berada di dataran Eropa tersebut pada 2017 sebesar 104,1 ribu dolar AS. Sedangkan pada tahun yang sama, pendapatan rata-rata penduduk Burundi hanya mendekati 300 dolar AS.
Ilustrasi di atas boleh jadi bagi sebagian orang hanya perkara sepele. Sebagian lainnya mungkin menganggap itu takdir.
Namun, Daron Acemoglu dan James A. Robinson bukan tipe orang semacam itu. Di hadapan dua ekonom tersebut, ilustrasi di atas ialah rangkaian misteri yang mesti disibak. Walhasil, mereka menyelidikinya dan menuliskannya dalam sebuah buku berjudul Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012). Di Indonesia, buku tersebut terbit pada 2017 dengan judul Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan.
Why Nations Fail dibaca banyak orang. Prabowo Subianto juga menenteng buku tersebut di Debat Kedua Pilpres 2019, Minggu (17/2/2019) kemarin.
"Ini sedang saya pelajari terus. Ini menarik sekali. Jadi rupanya negara-negara gagal itu karena lembaga-lembaganya itu rusak, korupsinya terlalu banyak. Kita harus waspada. Bukan saya pesimis loh. Gak pesimis. Tapi ini waspada," ujar Prabowo.
Lembaga Inklusif dan Keberhasilan Negara
Politik menjadi pusat bahasan dan faktor terpenting yang menentukan suatu negara kaya atau miskin, menurut Acemoglu dan Robinson. Itulah yang membuat Why Nations Fail berbeda dari buku Guns, Germs, and Steel (1997) karya Jared Diamond yang menitikberatkan pada geografi.
Cerita yang disodorkan Why Nations Fail merentang dari era Romawi Kuno, Kerajaan Maya, Penjelajahan Eropa di Asia dan Amerika, hingga zaman kiwari. Ketimpangan kekayaan antara dua negara bertetangga menjadi bahan Acemoglu dan Robinson mengembangkan teorinya. Contohnya Korea Selatan dan Korea Utara; Jerman Barat dan Jerman Timur; atau dua Nogales, yang satu di Arizona (Amerika Serikat) dan satu lagi di Sonora (Mexico).
Acemoglu dan Robinson menjelaskan ekonomi tumbuh di bawah naungan lembaga ekonomi yang inklusif. Lembaga itu menjamin hak kepemilikan pribadi, hukum dan ketertiban, hingga akses pendidikan. Lembaga ekonomi bersifat terbuka dan relatif bebas dimasuki bisnis baru, memberikan peluang bagi sebagian besar warga negara, misalnya untuk berinvestasi dan berinovasi. Lembaga ekonomi inklusif butuh lembaga politik yang tersentralisasi dan plural.
Sebaliknya, lembaga ekonomi ekstraktif dirancang segelintir elit untuk menghisap sumber daya dari seluruh masyarakat. Ia tumbuh di lembaga politik absolut.
Negara dengan lembaga ekonomi yang inklusif cenderung kaya. Misalnya, Korea Selatan dan Jerman Barat. Sedangkan negara dengan lembaga ekonomi yang ekstraktif seperti Jerman Timur dan Korea Utara cenderung miskin.
Selain faktor lembaga, Why Nations Fail juga menunjukkan "pembalikan keberuntungan" (reversal of fortune) dan "kutukan sumber daya alam" (the curse of natural resources) sebagai faktor penentu kekayaan suatu negara.
Faktor pembalikan keberuntungan menjelaskan negara-negara non-Eropa eks jajahan Eropa, semacam Indonesia dan Peru, yang mulanya kaya dan maju sekarang lebih miskin sebab Eropa memperkenalkan lembaga ekonomi ekstraktif kepada mereka.
Sedangkan faktor kutukan sumber daya alam menjelaskan mengapa negara-negara yang punya sumber daya alam melimpah justru jatuh miskin. Contoh dari negara ini ialah Sierra Leone dengan berliannya yang melimpah, atau Nigeria dan Kongo dengan minyak bumi dan mineralnya. Ketergantungan negara akan sumber daya alam tipe tertentu cenderung mengarah pada korupsi, perang saudara, dan inflasi. Negara dengan tipe ini juga mengabaikan pendidikan.
Generalisasi, Terlalu Fokus pada Lembaga
Jared Diamond tidak mengelak bahwa dia turut mengapresiasi karya Acemoglu dan Robinson. Testimoninya tercantum di halaman belakang buku tersebut. Tapi, sejarahwan cum ahli geografi itu menjelaskan dalam "What Makes Countries Rich or Poor" yang terbit di The New York Review of Books bahwa Why Nations Fail menggeneralisasi perbedaan mencolok kekayaan dua negara bertetangga seolah itu juga berlaku untuk dua negara yang tidak bertetangga.
"Beberapa negara-negara sejuk yang kaya terkenal dengan sejarah lembaga buruknya (bayangkan Aljazair, Argentina, Mesir, dan Libya), sedangkan beberapa negara tropis (seperti Kosta Rika dan Tanzania) punya pemerintahan yang relatif lebih jujur. Apa kerugian dari sisi ekonomi berada di kawasan tropis?" tanya Diamond.
Diamond menjelaskan penyakit dan produktivitas pertanian adalah dua faktor utama yang mempengaruhi kemiskinan di negara-negara kawasan tropis.
Faktor geografis lainnya ialah kemudahan negara tersebut dijangkau pelayaran niaga. Negara yang tak punya laut (landlocked) atau negara yang sungainya tidak mengarah ke laut tidak memiliki keuntungan seperti itu. Ini berlaku untuk seluruh negara, tidak hanya yang di kawasan tropis.
Bolivia dan Paraguay, dua negara termiskin di Amerika Selatan, ialah contohnya. Keduanya tidak punya laut.
Di Afrika, tidak ada sungai sepanjang ratusan mil yang mengarah ke laut kecuali sungai Nil. Lima belas negara Afrika juga masuk kategori landlocked. Itulah yang membuat Afrika menjadi benua termiskin.
Selain dua faktor itu, faktor utama lainnya adalah keadaan alamiah lingkungan sebuah negara. Mengelola persediaan sumber daya alam secara berkelanjutan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Negara-negara yang menghabiskan sumber dayanya cenderung memiskinkan diri mereka sendiri. Menurut Diamond, ini menjelaskan kemiskinan dan ketidakstabilan politik di negara-negara dengan tingkat penggundulan hutannya tinggi seperti Haiti, Rwanda, Burundi, Madagaskar, dan Nepal.
"Faktornya ganda dan beragam. Kita semua tahu, dari pengalaman pribadi, bahwa tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan mengapa sebagian dari kita lebih kaya atau lebih miskin: itu bergantung pada warisan, pendidikan, ambisi, bakat, kesehatan, koneksi pribadi, kesempatan, dan keberuntungan—ini baru beberapa faktor saja," ujar Diamond.
Ketidakmauan Acemoglu dan Robinson untuk mengakui kelindan antara faktor lembaga, geografi, dan budaya juga diungkap Janet Hunter di LSE Review of Books. Padahal, menurut Profesor Saji bidang Sejarah Ekonomi di LSE itu, Acemoglu dan Robinson menuliskan dalam catatannya bahwa lembaga ekonomi ekstraktif bikinan Spanyol tidak dapat diterapkan di Amerika Utara karena tidak ada kekayaan yang dapat dijarah di sana.
Ghost Fleet
dan The Great Degeneration
Why Nations Fail bukan satu-satunya buku yang pernah ditunjukkan Prabowo.
Pada Maret tahun lalu, Prabowo bikin heboh karena ia menyebut Indonesia tidak ada lagi atau sudah bubar pada 2030. Kajian yang dirujuk oleh Prabowo ternyata berupa novel berjudul A Novel of the Next World War: Ghost Fleet (2015) karya P.W. Singer dan August Cole. Buku itu pernah dibawa Prabowo saat berpidato di Universitas Indonesia, 18 September 2017.
Presiden keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pernah membaca novel tersebut. Tapi, Ketua Umum Demokrat, partai pengusung Prabowo-Sandiaga, menilai Ghost Fleet merupakan hasil perpaduan unsur fiksi dan ilmiah sehingga tidak bisa menjadi acuan untuk meramal nasib Republik Indonesia pada 2030.
The Great Degeneration: How Institutions Decay and Economies Die (2013) yang ditulis sejarahwan Niall Ferguson juga pernah disebut beberapa kali oleh Prabowo saat diwawancara jelang Pilpres 2014.
Editor: Windu Jusuf