tirto.id - Belum sampai setahun, kebijakan bebas visa untuk 169 negara panen kritikan. Para politisi yang duduk di DPR dan MPR termasuk yang paling getol meminta kebijakan ini dievaluasi. Sebagian dari mereka meminta kebijakan ini dihapus karena tak memberi dampak signifikan bagi jumlah wisatawan, bahkan diduga mengundang datangnya pekerja asing ilegal.
Sehari selepas Natal kemarin, Ketua MPR RI, Zulkifl Hasan yang juga kader Partai Amanat Nasional meminta kebijakan ini dievaluasi. Menurutnya, kebijakan itu tak terbukti meningkatkan jumlah wisatawan asing ke Indonesia. Ketua Panja Penegakan hukum Komisi III DPR, Desmond J Mahesa pernah juga berkata serupa. Wakil Ketua DPR Fadli Zon pun ikut-ikutan berkomentar. Dia meminta kebijakan itu ditinjau kembali dan dihapus.
Kebijakan bebas visa bagi 169 negara ini baru ditetapkan pada Maret tahun ini. Menuduhnya tak memberi manfaat, bisa jadi benar, tetapi bisa jadi juga terlalu prematur. Klaim tentang jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang tak meningkat dan isu tentang tenaga kerja asing harus diperiksa kebenarannya.
Membedah Dampak Bebas Visa
Tim Riset Tirto.id mengumpulkan data pertumbuhan wisatawan mancanegara tiap bulan, terhitung sejak Januari 2012 hingga September 2016. Dari data itu, diperoleh data pertumbuhan rata-rata tiap bulan. Ketika kebijakan bebas visa hanya diberlakukan bagi 15 negara, pertumbuhan rata-rata per bulan hanya 0,67 persen.
Pada Juni hingga Agustus 2015, pemerintah menaikkan jumlah negara bebas visa dari 15 menjadi 45. Dalam periode tiga bulan ini, pertumbuhan rata-rata kunjungan wisman ke Indonesia naik ke angka 2,43 persen.
Kenaikan ini belum tentu disebabkan oleh penambahan jumlah negara bebas visa. Juni, Juli, dan Agustus adalah bulan-bulan ketika kunjungan wisata meningkat. Begitu juga dengan Desember, pertumbuhan kunjungan pada akhir tahun kerap menyentuh dobel digit. Seperti pertumbuhan kunjungan pada Desember tahun lalu yang menyentuh 17,46 persen.
Waktu itu, pemerintah sudah menaikkan lagi jumlah negara bebas visa dari 45 menjadi 90 negara. Kebijakan ini bertahan hingga Februari 2016, sebab pada Maret, pemerintah menaikkan lagi jumlahnya menjadi 169. Ketika ada 90 negara yang dibebaskan visanya, pertumbuhan rata-rata per bulan tercatat turun 0,08 persen.
Sepanjang Maret hingga September 2016, pertumbuhan kunjungan wisman rata-rata per bulan tercatat 2,66 persen. Artinya, lebih besar dibandingkan ketika Indonesia hanya membebaskan visa kepada 15 negara.
Meskipun tak signifikan, pertumbuhan jumlah wisatawan asing tetap terjadi tahun ini. Sampai September, jumlah kunjungan wisman mencapai 7,86 juta kunjungan. Ia lebih besar dari jumlah keseluruhan kunjungan wisman pada 2011 yang hanya 7,64 juta kunjungan.
Menjelang akhir tahun, tren kunjungan wisman biasanya lebih besar, puncaknya adalah Desember. Total kunjungan wisman tahun ini diperkirakan mencapai 10 juta kunjungan. Masih jauh dari target 12 juta. Namun, tetap tumbuh dari tahun lalu yang berada di angka 9,86 juta kunjungan wisman.
Pertumbuhan yang masih kecil meskipun keran bebas visa dibuka kian lebar ini wajar saja adanya. Kabar bebas visa suatu negara tentu tak menyebar dengan cepat ke negara-negara lain. Butuh waktu untuk menyebarluaskan informasi. Ketika informasi itu sudah sampai, tak sekonyong-konyong juga mereka datang ke Indonesia.
Jadi, meskipun informasi bebas visa ke Indonesia sudah sampai ke warga yang negaranya termasuk dalam daftar, dibutuhkan waktu bagi warga negara tersebut untuk menyiapkan kedatangannya ke Indonesia.
Bicara tentang untung-rugi kebijakan ini, tim riset Tirto.id mencoba menghitung potensinya. Sebelas negara dengan jumlah kunjungan wisman terbanyak dijadikan sampel. Lalu dihitung berapa potensi kerugian dari visa yang dibebaskan dan potensi keuntungan dari kunjungan.
Sebelas negara yang dijadikan sampel adalah Jepang, Korea Selatan, Cina, Taiwan, Australia, India, Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis. Total potensi kerugian dari kunjungan sebelas negara sepanjang Maret hingga September tahun ini senilai Rp1,53 triliun. Angka in diperoleh dari jumlah kunjungan dikali $35, sesuai tarif visa.
Sementara itu, potensi penerimaan negara dari kunjungan sepanjang Maret sampai September dari sebelas negara sampel mencapai Rp59, 36 triliun. Potensi penerimaannya terlihat jauh lebih besar dari potensi kerugian. Angka ini diperoleh dari jumlah kunjungan dikali rata-rata uang yang dihabiskan wisman dalam kunjungannya. Dari sisi faedah kebijakan ini tak seburuk yang disangka. Intinya, membebaskan visa hanya salah satu cara untuk menarik minat turis asing, ada hal lain seperti promosi dan fasilitas serta infrastruktur yang harus disiapkan.
Begaimana dengan potensi buruk bebas visa terhadap masuknya tenaga kerja asing ilegal terutama Cina?
Tahun ini, memang terjadi pelonjakan tenaga kerja asal Cina, dari sebelumnya 17.515 orang pada 2015 menjadi 21.271 orang pada November 2016. Tetapi ini adalah angka pekerja legal, bukan pekerja ilegal yang memanfaatkan bebas visa. Kenaikan ini berbanding lurus dengan pertumbuhan proyek milik Cina di Indonesia. Menurut data BKPM, tahun lalu ada 1.052 proyek di Indonesia yang dijalankan Cina. Padahal tahun 2014 jumlahnya hanya 501 proyek.
Namun, persoalan turis yang bekerja dengan izin wisata sejatinya bisa terjadi dengan atau tak adanya kebijakan bebas visa. Ini juga jadi persoalan di banyak negara, bukan hanya Indonesia. Namun, di Indonesia urusan ini sudah sampai masuk ranah para politisi di Senayan.
Pemerintah memang tak pongah, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sempat menyatakan kebijakan bebas visa bagi warga negara lain perlu dievaluasi menyusul maraknya isu mengenai orang asing yang bekerja secara ilegal di Indonesia.
"Jangan-jangan kita sudah bebaskan visa, tetapi wisatawannya tidak ada. Jadi perlu kita evaluasi juga," ujar JK pada 23 Desember lalu dikutip dari Antara.
Kebijakan bebas visa bisa jadi mempermudah para pekerja asing untuk masuk dan bekerja tanpa izin kerja. Tetapi, menghapusnya tanpa memaksimalkan dahulu pengawasan imigrasi, sebuah tindakan gegabah. Bukankah untuk membunuh tikus dalam lumbung tak perlu membakar lumbungnya?
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Suhendra