Menuju konten utama

Membaca Saham Otomotif dari Naik Turun Jualan Motor-Mobil

Beberapa tahun terakhir penjualan motor dan mobil tertekan. Bagaimana nasib saham perusahaan otomotif?

Pekerja memeriksa kondisi rakitan mobil sebelum di pasarkan di sebuah pabrik mobil di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (27/2). Antara foto/Zabur Karuru.

tirto.id - “Cuci gudang. Promo terbaik bulan ini. Bunga 0 persen. Cicilan sampai dengan 8 tahun. DP bisa dicicil 6 kali. Dapatkan harga terbaik. Dapatkan bonus, doorprize dan keuntungan lainnya.”

Seorang kawan yang bekerja di salah satu dealer mobil ternama di Kota Bandung, mengirimkan pesan melalui media sosial. Ia berharap promo singkatnya bisa mendongkrak animo masyarakat membeli kendaraan roda empat yang sedang lesu.

“Sekarang ini [penjualan] memang lagi kurang ramai. Makanya, kami buat promo-promo agar mobil itu bisa terjangkau masyarakat, khususnya yang [kelas] menengah ke bawah,” katanya kepada Tirto.

Lesunya penjualan mobil dan motor sudah terjadi sejak 2014. Hal itu terlihat dari data tahunan yang dicatat oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dan Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia (AISI).

Baca juga: Meski Jalanan Macet, Pemerintah Terus Menambah Mobil

Penjualan mobil memang sempat mencatatkan rekor tertinggi pada 2013 dengan jumlah 1,23 juta unit. Namun semenjak itu, penjualan malah terus merosot. Kondisi ekonomi yang lesu turut berpengaruh besar bagi penjualan otomotif. Pada 2013, ekonomi Indonesia tumbuh 5,56 persen, lalu menukik 4,79 persen pada 2015, lalu naik 5,02 persen pada tahun lalu, saat bersamaan penjualan mobil tumbuh 5 persen atau menjadi 1,1 juta unit.

Pola yang sama juga terjadi pada penjualan motor baru. Pada 2014, realisasi penjualan motor mencapai 7,77 juta unit, hanya tumbuh 1,7 persen. Kinerja penjualan motor memang lebih parah, hingga 2016 hanya terjual 5,9 juta unit.

Pergerakan penjualan mobil dan motor memengaruhi pergerakan saham emiten-emiten otomotif di antaranya PT Astra International Tbk. (ASII) dan PT Indomobil Sukses Internasional Tbk. (IMAS) juga ikut melorot. Per 3 Januari 2014, saham ASII masih tercatat Rp6.750 per saham. Namun sampai dengan 1 Januari 2016, harga saham ASII anjlok 11 persen menjadi Rp6.000 per saham. Dalam kurun waktu dua tahun itu, harga terendah ASII sempat berada di level Rp5.125 per saham.

Seiring dengan membaiknya penjualan mobil pada 2016, harga saham ASII juga mulai bergerak positif. Per 6 Januari 2017, harga saham ASII tercatat Rp8.175 per saham, atau naik 36 persen dari harga saham per 1 Januari 2016. Kinerja ASII memang tak hanya ditopang oleh sektor otomotif, ada pilar-pilar bisnis lainnya.

Berbeda dengan ASII, pergerakan saham IMAS justru terjun bebas. Harga saham IMAS pada 6 Januari 2017 tercatat senilai Rp1.305 per saham, anjlok 73 persen dari harga per 3 Januari 2014 sebesar Rp4.775 per saham.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/10/14/PERGERAKAN-SAHAM-ASTRA-DAN-INDOMOBIL--MILD--FUAD.jpg" width="859" height="1527" alt="Infografik Pergerakan saham astra " /

Penjualan Mobil dan Motor

Pada tahun ini, kinerja penjualan mobil dan motor diproyeksikan membaik. Bahana Sekuritas memperkirakan penjualan mobil dan motor sepanjang 2017 akan tumbuh 3-5 persen seiring dengan pulihnya daya beli masyarakat. “Salah satu sektor yang diuntungkan setelah Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan pada Agustus dan September adalah sektor otomotif,” kata Henry Wibowo, Plt Kepala Riset dan Strategi Bahana Sekuritas dalam keterangan resminya.

Untuk periode Januari-Agustus 2017, total penjualan mobil sudah mencapai 716.461 unit, naik 4 persen dari periode yang sama tahun lalu. Sementara penjualan motor sebanyak 3,79 juta unit, atau turun 0,05 persen alias stagnan.

Di dunia otomotif, emiten yang menduduki pangsa pasar terbesar domestik adalah ASII. Saat ini, pangsa pasar mobil ASII mencapai 56 persen. Dari sisi kontribusi usaha, ASII memang masih banyak ditopang dari lini otomotif. Kinerja ASII bahkan mencatatkan hasil yang lebih tinggi ketimbang industri otomotif, dengan tumbuh 9 persen pada semester I-2017. Pertumbuhan penjualan mobil ASII itu ditopang dari melesatnya penjualan low cost green car (LCGC) hingga 51 persen, atau mencapai 124.780 unit. Kinerja penjualan sepeda motor ASII melalui bendera Astra Honda Motor memang hanya tumbuh 3 persen, linier dengan capaian total penjualan pasar sepeda motor secara nasional yang stagnan.

Baca juga:

Namun secara total, ASII mencatat penjualan yang lumayan baik yang tercermin dari kinerja pendapatan ASII. Per Juni 2017, pendapatan ASII—yang mayoritas disumbang dari otomotif—sudah menembus Rp98,03 triliun, tumbuh 11 persen dari Juni 2016 sebesar Rp88,20 triliun. Setelah dikurangi beban usaha dan perpajakan, laba periode berjalan ASII mencapai Rp11,35 triliun, naik 37 persen. Seperti halnya pendapatan, mayoritas laba periode berjalan perseroan juga disumbang dari otomotif, yakni sekitar 37 persen.

Berbanding terbalik, penjualan IMAS justru menurun. Emiten yang melantai di bursa saham mulai 1993 ini hanya menjual kendaraan roda empat sekitar 98.669 unit, turun tipis dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 99.381 unit. Kendati penjualan kendaraan roda empat menurun. Beberapa upaya meningkatkan penjualan mobil dilakukan dengan menghadirkan mobil baru seperti New Baleno Hatchback dan Ertiga Hybrid diesel.

IMAS justru mencatatkan hasil yang bagus dari penjualan motor. IMAS melalui merek Suzuki berhasil menjual 52.281 motor, tumbuh 26 persen. Produk seperti Suzuki GSX-S150 dan GSX-R150 sebagai pendatang baru memengaruhi penjualan Suzuki. Hasil tersebut lebih baik ketimbang kinerja penjualan motor domestik yang tengah turun tipis.

Baca juga: Upaya Suzuki Mematahkan Dominasi Honda dan Yamaha

Kinerja positif dari penjualan motor, rupanya tidak banyak membantu mengangkat kinerja pendapatan IMAS. Penjualan mobil yang turun tipis, membuat pendapatan dan laba periode berjalan perseroan tergerus. Per Juni 2017, nilai pendapatan yang diraup IMAS mencapai Rp7,49 triliun, turun 6 persen dari Rp8 triliun. Meski pendapatan menurun, laba usaha justru tumbuh 28 persen menjadi Rp380,09 miliar.

Sayangnya, laba bersih dari perseroan malah mencatatkan rugi Rp287,58 miliar, naik dari sebelumnya rugi Rp32,06 miliar. IMAS pun akhirnya mengalami rugi periode berjalan Rp317,28 miliar naik 4 kali lipat dari sebelumnya rugi Rp78,73 miliar.

Bagaimana peluang pergerakan saham keduanya?

Melihat kinerja penjualan mobil dan motor sampai dengan Agustus 2017 ini, saham Astra diproyeksikan akan terus bergerak positif hingga akhir tahun ini, dari harga saham ASII per 13 Oktober 2017 sebesar Rp8.475 per saham. Bahana merekomendasikan pembelian ASII dengan target harga Rp10.000 per saham. Per 13 Oktober 2017, harga ASII tercatat Rp8.475 per saham, naik 3,35 persen dari periode yang sama tahun lalu Rp8.200 per saham.

Kehadiran Mitsubishi Xpander dan mobil produksi Cina Wuling belum signifikan menggerus pangsa pasar ASII. Pasalnya, track record mobil Cina di Indonesia belum teruji, dan harga jual kembali Mitsubishi juga masih lebih rendah ketimbang mobil produksi ASII.

Baca juga:

Untuk Indomobil, Bahana memperkirakan pergerakan saham IMAS masih akan melanjutkan tren penurunan. Per 13 Oktober 2017, harga IMAS tercatat Rp880 per saham, anjlok 33,83 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.330 per saham.

Ini karena IMAS masih belum mampu meningkatkan kinerjanya mengingat produksi mobil baru keluaran Nissan belum ada. IMAS masih akan mengandalkan penjualan Datsun. Sayangnya, hal itu sudah diantisipasi oleh Astra dengan kehadiran Calya dan Sigra di segmen LCGC.

Baca juga: Jurus Raja Mempertahankan Takhta

Baca juga artikel terkait MOBIL atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Otomotif
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra