tirto.id - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI merilis data terbaru terkait kasus politik uang (money politic) yang terjadi selama Pilkada 2020. Hingga 9 Desember malam, setidaknya lembaga yang kantor pusatnya terletak di Jalan MH Thamrin Jakarta ini mendapat laporan sebanyak 136 kasus dan temuan 60 kasus.
Dari semua kasus tersebut, 25 di antaranya sudah masuk tahap penyidikan, 76 masih diproses, dan 95 dihentikan prosesnya oleh pengawas pemilu. Dari 25 kasus yang diteruskan ke penyidik, 11 di antaranya lanjut ke penuntut umum, 13 masih proses penyidikan, dan satu kasus dihentikan alias SP3.
Dalam dokumen presentasi yang diterima wartawan Tirto, Kamis (10/12/2020) pagi, dari 11 kasus yang dibawa ke penuntut umum, delapan di antaranya dibawa ke pengadilan dan tiga kasus masih diproses oleh penuntut umum. Dengan demikian, hingga naskah ini ditulis, lima kasus sudah tahap putusan alias divonis bersalah.
Kepada wartawan Tirto, anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo membenarkan bahwa lima kasus tersebut sudah mendapat putusan pengadilan. Kasus-kasus itu terjadi di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa.
Detail Kasus
Kasus pertama terjadi di Kabupaten Pelalawan Riau, Provinsi Riau. Dalam putusan yang diakses dari laman resmi Pengadilan Negeri Pelalawan Riau, Baharuddin, aparatur sipil negara (ASN) yang menjabat Kepala Sekolah SD Negeri 06 Desa Sering, berkampanye untuk salah satu pasangan calon pada 15 Oktober pukul 09.00. Ia ikut foto bersama dan memperlihatkan simbol jari yang mendukung paslon tersebut.
Baharuddin divonis pidana penjara enam bulan percobaan satu tahun dan denda sebesar Rp200 juta.
Kasus kedua yang telah diputuskan terjadi di Tangerang Selatan, Banten. Hingga Kamis siang, salinan putusan resmi tak ada di laman Pengadilan Negeri Kota Tangerang. Namun, dalam dokumen Bawaslu RI yang diterima wartawan Tirto, vonis putusannya tertulis "36 bulan penjara dan denda Rp200 juta. Bila tidak mampu mengganti denda, kurungan satu bulan penjara."
Orang yang divonis bernama Willy Prakarsa, bagian dari tim sukses pasangan calon Benyamin Davnie-Pilar Saga Ichsan. Willy terbukti bersalah membagi-bagikan uang agar warga mau memilih Davnie-Pilar. Pasangan ini dinyatakan menang berdasarkan hasil hitung cepat beberapa lembaga survei.
"Terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dalam kampanye Pilkada Tangerang Selatan (Tangsel) pada 26 September 2020 di Lapangan Macek, Serpong," kata Majelis Hakim Wendra Rais, Selasa, 1 Desember lalu.
Kasus ketiga terjadi di Tarakan, Kalimantan Utara, yang vonisnya menimpa Moes Santoso. Dalam putusan yang diunggah laman Pengadilan Negeri Tarakan, ia divonis bersalah membagi-bagikan uang ke warga Kelurahan Pamusian, Kecamatan Tarakan Tengah, pada 24 Oktober, jam delapan malam waktu setempat. Moes divonis pidana penjara 36 bulan dan denda Rp200 juta.
Moes, yang dikenal sebagai salah satu 'tokoh Jawa di Kalimantan Utara', meminta warga mencoblos Zainal Arifin Paliwang dan Yansen—yang diusung Partai Gerindra, PDIP, PPP, dan Partai Demokrat.
Kasus keempat terjadi di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Seorang berinisial DD divonis penjara 36 bulan dan denda Rp200 juta oleh Pengadilan Negeri Tanjung Redep. Pengadilan memvonisnya 17 November lalu. Hingga Kamis siang, salinan putusan resminya tak ada di laman Pengadilan Negeri Tanjung Redep.
DD terbukti bersalah melakukan penghasutan dengan memberikan iming-iming akan memberikan sejumlah uang atau barang sebesar Rp500 ribu per Kartu Tanda Penduduk (KTP) jika memilih pasangan calon yang dipromosikan.
Kasus putusan kelima terjadi di Palu, Sulawesi Tengah. Pengadilan Negeri Palu memvonis AA pidana penjara 36 bulan dan denda Rp200 juta. Ia divonis bersalah karena bagi-bagi sembako pada 5 November dengan timbal balik si penerima memilih salah satu paslon yang akan berlaga.
Kendati demikian, Bawaslu Kota Palu menilai aktivitasnya ilegal karena tidak terdaftar sebagai tim relawan resmi salah satu paslon. Kata Bawaslu Kota Palu, aktivitasnya tak bisa dikaitkan dengan sang paslon yang dipromosikan.
Politik Uang Subur
Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Ikhsan Maulana menilai praktik politik uang di pemilu Indonesia memang masih subur dan langgeng digunakan oleh para paslon dan tim pemenangan. Hal tersebut dikarenakan masih kuatnya anggapan bahwa politik uang adalah metode yang mumpuni untuk meraup suara.
"Momentum pandemi COVID-19 juga sebetulnya menjadi kerawanan penggunaan politik uang: di satu sisi masyarakat membutuhkan uang karena krisis, di sisi lain paslon butuh suara sehingga ruang terjadinya praktik politik uang semakin terbuka," kata Ikhsan saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis sore.
Ikhsan mengatakan proses penegakan hukum masih sangat lamban terutama pada tingkat penyidikan. 13 kasus masih dalam tahap proses penyidikan bahkan ketika tahap pencoblosan suara sudah selesai.
"Skema penegakan hukum pidana pemilu, khususnya politik uang, seharusnya bisa lebih cepat karena tahapan-tahapan pemilu ada limit waktu. Penyelesaian yang lama dan tanpa kejelasan justru membuka ruang maraknya praktik pidana pemilu yang lain," kata dia. "Belum lagi kalau ternyata proses penanganan pidananya baru selesai setelah calon itu terpilih. Kan, jadi persoalan atau polemik baru lagi yang sebetulnya bisa diselesaikan sebelumnya."
Fenomena politik uang ini semestinya juga dibenahi partai politik. Caranya dengan mereformasi pendidikan kader-kadernya secara total, kata Ikhsan. Temuan Bawaslu RI ini menurutnya bisa menjadi momentum untuk menguji sejauh mana partai politik mau berusaha menghasilkan kader-kader yang berintegritas.
"Faktanya banyak sekali calon kepala daerah karbitan dan baru dipasangkan di last minute. Akhirnya pendekatan pelanggaran dan praktik politik uang yang dikedepankan dibanding beradu visi, misi, dan program kerja," katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino