Menuju konten utama

Politik Uang ala Boeing

Boeing rutin menggelontorkan uang untuk kampanye politik.

Politik Uang ala Boeing
Foto udara pesawat Boeing 737 MAX yang tidak terbang terlihat terparkir di Boeing Field di Seattle, Washington, Amerika Serikat, Senin (1/7/2019). Foto diambil tanggal 1 Juli 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Lindsey Wasson/File Photo/wsj/cfo

tirto.id - Setahun selepas pesawat Boeing 737 Max bercat Lion Air PK-LPQ dengan nomor penerbangan JT610 jatuh di Perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), dalam hasil akhir investigasinya, menyatakan bahwa cacat desain pada Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) menjadi salah satu sebab utama kecelakaan terjadi.

MCAS merupakan sistem yang diciptakan Boeing untuk mengakali Angle-of-attack (AoA), sudut antara sayap dengan aliran udara (airflow), yang berubah tatkala varian terbaru The Baby Boeing ini menggunakan mesin yang lebih besar dan lebih kuat, LEAP-1B Engine, dan desain ujung sayap (winglet) yang berbeda.

Jika sensor AoA mendeteksi kenaikan sudut pesawat terlalu tinggi, komputer berpikir pesawat kemungkinan akan berada pada kondisi stall, terjun bebas, sementara MCAS aktif. Tanpa kendali pilot sama sekali, sistem tersebut menggerakkan sayap belakang (horizontal tail) ke atas, menciptakan efek aerodinamik yang membuat hidung pesawat menurun (nose down) sehingga pesawat kembali terbang normal.

Masalahnya, pada kasus JT610, MCAS aktif dengan hanya mengandalkan satu sensor AoA, yang kemudian diketahui memberikan data palsu atau error. Padahal, dalam pesawat 737 Max terdapat dua sensor AoA.

Soerjanto Tjahjono, Ketua KNKT, menyebut selain cacat MCAS, jatuhnya JT610 disebabkan delapan masalah lain. Misalnya, pilot mengalami kesulitan melakukan respon yang tepat terhadap pergerakan MCAS dan indikator penunjuk sikap atau angle of attack disagree tidak tersedia di pesawat. Menurutnya, “apabila dari sembilan ini, satu saja bisa terhindari, maka mungkin kecelakaan bisa tidak terjadi.”

Sayangnya, nasib berkata lain. 189 penumpang dan awak pesawat tewas atas kecelakaan JT610 itu. Dan lebih tragisnya lagi, lima bulan kemudian, pesawat buatan Boeing berjenis sama bercat Ethiopian Airlines mengalami kecelakaan serupa dan menyebabkan 157 nyawa meninggal dunia. Penyebab jatuhnya Ethiopian Airlines pun diduga identik dengan Lion Air.

Seketika, sejak Maret 2019 hingga hari ini 737 Max dilarang terbang di seluruh dunia.

Larangan terbang 737 Max terasa sangat menyakitkan bagi maskapai-maskapai pengguna jenis pesawat ini. Sebagaimana dilansir Forbes, maskapai China Southern dan Turkish Airlines, misalnya, harus rela kehilangan potensi pendapatan senilai $370 juta dan $270 juta setelah Max dikandangkan.

Secara menyeluruh, industri penerbangan kehilangan potensi pendapatan senilai total $4,1 miliar akibat 41 juta kursi penerbangan tidak bisa dijual atau harus dibatalkan karena ketiadaan Max.

Boeing lalu bergerak. Berupaya mengembalikan 737 Max mengangkasa ke udara, mereka melakukannya dengan memperbaiki software yang menggerakkan MCAS. Sialnya, kebobrokan penciptaan Max terkuak satu per satu.

Bobroknya Boeing

Kecelakaan yang menimpa Lion Air dan Ethiopian Airlines sebenarnya bisa dihindarkan jika Boeing melakukan pekerjaan pembuatan pesawat dengan benar. Sebagaimana diwartakan The New York Times, diketahui Boeing mengurangi pendanaan pengembangan, khususnya pada sistem keselamatan, 737 Max untuk mengurangi beban biaya.

Dalam email yang dikirimkan pada petinggi Boeing pada Desember 2015, sekitar tiga tahun sebelum kecelakaan di Indonesia terjadi, teknisi senior Boeing mengingatkan bahwa mungkin terjadi kegagalan MCAS yang hanya mengacu pada sensor AoA tunggal.

Selain itu, diberitakan Reuters, salah seorang pilot Boeing, dalam ujicoba sistem kendali pesawat, pernah melaporkan bahwa “pesawat melaju tak karuan” yang disebabkan masalah di sisi software. Mirip seperti masalah yang dialami Captaint Bhavye Suneja dan First Officer Harvino, penerbang yang mengendalikan JT610.

“Saya naik ke level 4000 kaki, 230 knot, dan pesawat (secara paksa) memangkas ketinggian sendiri seperti orang gila,” lapor pilot yang mengujicoba 737 Max itu.

John Garamendi, anggota DPR Amerika Serikat asal Partai Demokrat, sebagaimana dikatakannya pada CNBC menegaskan bahwa 737 Max “bukan hanya masalah Boeing”. Perusahaan ini juga bermasalah dengan pesawat dan produk buatannya yang lain, misalnya, KC-46 Pegasus, pesawat tanker, SPBU udara bagi pesawat tempur Amerika Serikat.

KC-46 merupakan pesawat yang disiapkan untuk mengganti KC-135 yang sudah uzur, yang telah melayani kebutuhan bahan bakar pesawat tempur Amerika Serikat sejak 2001. Lalu, pada 2006, Departemen Pertahanan AS memulai proyek pengadaan KC-46. Dua tahun berselang, mereka memilih Northrop Grumman dan Airbus.

Boeing pun berang dan menggugat keputusan Departemen Pertahanan. Akhirnya, pada 2011, Departemen Pertahanan memberikan proyek ini pada Boeing, meminta perusahaan itu menciptakan 18 unit KC-46 dengan dana senilai $4,9 miliar.

Akan tetapi, KC-46 seharusnya dikirimkan pada militer AS pada 2016. Sialnya, Boeing gagal melakukan itu dan kemudian meminta tambahan dana senilai $3,5 miliar untuk menyelesaikannya.

Salah satu alasan kegagalan Boeing mengirimkan KC-46 tepat waktu adalah adanya tantangan teknik pada pesawat ini. Sebagaimana diwartakan Foreign Policy, tantangan teknik itu ialah sistem kamera pada KC-46 kelewat kompleks, hal yang tidak pernah dilakukan Boeing sebelumnya.

Pada 2018, KC-46 akhirnya berhasil dikirimkan Boeing pada militer AS. Hanya saja, masalah lain kemudian muncul. Lantai kargo KC-46 bermasalah, menyebabkan pesawat ini tidak dapat memuat penumpang. Dalam empat laporan “Category 1” yang dikirim militer AS pada Departemen Pertahanan, masalah lantai kargo KC-46 itu dapat menyebabkan prjurit cedera fatal.

“Kami memiliki masalah berat dengan Boeing di sisi militer,” sebut Garamendi. “Masalah pada KC-46 belum selesai,” tegasnya.

Selain KC-46, Boeing juga bermasalah dengan Joint Tactical Radio System (JTRS), radio komunikasi jarak dekat dan jauh yang digunakan militer AS dalam berperang.

JTRS merupakan radio yang diidamkan militer AS untuk mengganti 750.000 unit radio jadul mereka. Pada tahun 2000, dengan dana sebesar $2 juta, militer AS meminta Boeing menciptakan 230.000 unit radio JTRS. Meski dana proyek ini terbilang kecil, Boeing menyanggupi, sebagai batu loncatan memperoleh kontrak yang lebih besar: Future Combat System senilai $120 miliar.

Namun, lantaran Boeing adalah perusahaan pencipta pesawat, bukan peralatan telekomunikasi, proyek ini melar, menyebabkan militer AS harus mengeluarkan biaya tambahan sebesar $6 miliar. Total, ketika radio JTRS akhirnya jadi, militer AS menghabiskan dana sebesar $11 miliar. Yang lebih menyakitkan, ketika digunakan prajurit AS dalam pertempuran di lembah Chowkay, Afganistan melawan Taliban, radio tidak bisa digunakan.

Terakhir, proyek pemerintah AS yang gagal diselesaikan Boeing adalah pesawat pengintai Awacs. Proyek bernilai $2,8 miliar itu gagal karena laboratorium yang Boeing gunakan untuk mengembangkan pesawat ini tutup.

Lantas, dengan rentetan jejak buruk Boeing itu, mengapa perusahaan ini tetap saja mudah memperoleh kontrak pemerintah?

Tatkala Boeing Berpolitik

“Saya cuma ingin bilang, dengan banyaknya pesawat yang dijual, saya berharap mendapatkan jam emas tatkala pensiun nanti,” ucap Barack Obama, Presiden Amerika Serikat di pangkalan Boeing pada 2012 silam.

Bagi Pemerintah AS, Boeing bukanlah perusahaan biasa dan lebih layak disebut anak emas. Pemerintah AS pun acapkali membantu Boeing membuka jalan penjualan unit perusahaan ke negara lain. Pada 2011, misalnya, di tengah pertemuan multilateral negara-negara Asia Tenggara di Bali, Obama menemani Boeing melakukan penandatangan kontrak pemesanan 230 pesawat senilai $21,7 miliar dari Lion Air.

Alasan terbesar kedekatan Pemerintah AS-Boeing tak lain karena perusahaan yang bermarkas pusat di Seattle ini ringan tangan dalam memberikan uangnya pada politikus AS.

Seperti dilaporkan Quartz, sebagai perusahaan yang terikat dengan proyek pemerintah, Boeing tidak bisa menyumbang dana besar untuk kampanye politik, baik bagi Demokrat dan Republik. Namun, dengan mengatasnamakan karyawannya, Boeing menyumbang $32,6 juta atau lebih dari Rp456 miliar untuk kampanye politik pada dua partai itu sejak 1990.

Selain itu, pada 2016, guna menancapkan pengaruh di pemimpin masa depan AS, Boeing menyumbang $229.000 (lebih dari Rp3,2 miliar) untuk Hillary Clinton dan $42.500 (Rp600 juta) untuk Donald Trump. Nilai yang lebih besar diberikan pada Hillary terjadi karena kala itu ia diunggulkan menang menjadi presiden.

Tatkala Trump akhirnya menang, saat pelantikan dilakukan Boeing menggelontorkan uang senilai $1 juta (Rp14 miliar), nilai yang sama yang mereka berikan tatkala Obama dilantik. Lalu di ranah legislatif, pada 2018 Boeing menyumbang $250.000 (Rp3,5 miliar) untuk Senate Leadership Fund, suatu kampanye kepemimpinan yang digalang Partai Republik.

Selain menyumbang, dana besar juga digelontorkan Boeing untuk melobi proses legislasi di AS. Sejak 1998, Boeing tercatat telah menggelontorkan uang senilai $275 juta untuk melakukan lobi. Beberapa hasilnya, Boeing sukses meloloskan undang-undang yang mengurangi pajak perusahaan dari 35 persen menjadi 21 persen. Lalu, mereka pun sukses melemahkan Clean Air Act, undang-undang terkait polusi udara.

Infografik Ketika Boeing Berpolitik

Infografik Ketika Boeing Berpolitik. tirto.id/Sabit

Selain uang, Boeing juga mengupayakan orang-orangnya masuk pemerintahan. Misalnya, mantan eksekutif mereka, Patrick Shanahan yang diloloskan menjadi Deputy Secretary of Defence dan kemudian menjadi Acting Secretary of Defence di bawah pemerintahan Trump.

Atas upaya tersebut, Boeing kebanjiran kontrak pemerintah. Di 2017, mereka menerima kontrak berbagai pengadaan peralatan militer senilai $21 miliar. Lalu, setengah tahun 2018 berjalan, Boeing menerima kontrak senilai $3 miliar. Di akhir tahun 2018, mereka memperoleh 20 kontrak tambahan senilai $13,7 miliar.

Daniel Auble, peneliti pada Center for Responsive Politics, sebagaimana diungkapkannya pada The Washington Post, menyebut apa yang dilakukan Boeing adalah “ilustrasi yang sangat baik dari pengaruh uang yang tidak semestinya ada dalam sistem politik AS.”

Sial, sepak terjang apik di ranah politik ala Boeing terjegal kasus 737 Max. Namun, sebagai anak emas Amerika, Boeing tampaknya punya peluang untuk lolos dari kasus 737 Max ini. Apalagi, pada 2017, Trump, tatkala hadir di pangkalan Boeing, mendoakan perusahaan ini.

“Tuhan memberkatimu, semoga Tuhan memberkati Amerika Serikat, dan memberkati Boeing.”

Baca juga artikel terkait BOEING atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Mild report
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Eddward S Kennedy