tirto.id - Setiap orang memiliki pengalaman dan cara menghadapi duka yang beragam. Bagaimana seorang dewasa memahami peristiwa kehilangan sesuatu atau seseorang yang dekat dengan mereka tidak sama dengan pemahaman anak kecil tentangnya.
Sebagian pihak memandang pengalaman kehilangan seorang anak kecil lebih mengundang empati orang-orang dibanding pengalaman serupa yang dirasakan orang dewasa. Bahkan, ada yang memanfaatkan rasa kehilangan anak kecil untuk kepentingan komersial.
Dilansir The Guardian, restoran cepat saji berskala internasional, McDonald’s, dikritik keras lantaran merilis iklan yang melibatkan perasaan kehilangan anak kecil. Dalam iklan tersebut, digambarkan seorang bocah laki-laki yang tengah mengenang sosok ayahnya dengan menanyakan kepada ibunya hal-hal terkait ayahnya, termasuk apa yang mendiang suka.
Sembari berjalan bersama, sang Ibu menceritakan detail-detail tentang suaminya kepada si bocah. Iklan tersebut berujung pada adegan mereka makan bareng di McDonald’s ketika sang Ibu berkata kepada anaknya yang sedang hendak melahap Filet-O-Fish, “Itu juga [makanan] kesukaan ayahmu.”
Shelley Gilbert, psikoterapis penggagas Grief Encounter—lembaga yang menangani rasa kehilangan pada anak-anak—, mengatakan, “Kami telah menerima telepon dari orangtua yang mengatakan anak-anak mereka yang merasakan kehilangan dibuat tersinggung dan teralienasi oleh McDonald’s sebagai jenama yang berusaha memanipulasi emosi para pelanggannya.”
Lebih lanjut, The Advertising Standards Authority menyatakan telah menerima sekitar seratus keluhan terhadap iklan McDonald’s tersebut. Alasan ketidaklayakan dan kekurangsensitifan dalam menggunakan rasa kehilangan anak-anak untuk menjual makanan cepat saji dilontarkan oleh para pemberi komplain.
Tidak hanya itu, di media sosial juga ditemukan tanggapan-tanggapan negatif terhadap iklan McDonald’s, termasuk dari mereka yang mengatakan pernah kehilangan orangtua pada masa kanak-kanaknya. Berkat keluhan-keluhan ini, McDonald’s menarik iklannya dan meminta maaf kepada publik.
Permainan Emosi di Media Massa
Iklan McDonald’s ini tentunya bukan yang pertama memanfaatkan unsur emosional untuk kepentingan komersial. Deretan reality show baik buatan dalam negeri maupun luar negeri tidak absen memasukkan sisi emosional dalam sejumlah adegan. Program pencarian bakat bertaraf internasional yang diadaptasi di Indonesia misalnya, tidak luput mencuatkan kisah-kisah personal segelintir peserta yang mengharu biru dengan tujuan memancing simpati penonton dan mendongkrak voting serta rating acara.
Pun demikian dengan ajang pemilihan model Asia yang tidak jarang menciptakan tokoh-tokoh antagonis dan protagonis yang mengarahkan cara pandang penonton terhadap peserta ajang tersebut. Bahkan dalam tayangan-tayangan dokumenter, para produser tidak jarang dengan sengaja mengambil sudut pandang atau pembuatan adegan tertentu untuk memainkan emosi penonton.
Dalam buku Emotions:A Social Science Reader, Greco dan Stenner (2008) melihat bahwa ‘emosionalisasi’ pada konten-konten media merupakan hal yang lumrah dan telah dilakukan sejak lama. Sejumlah tayangan di televisi telah mengaburkan unsur informasi dengan unsur hiburan.
Dalam konteks tayangan-tayangan yang menampilkan penderitaan manusia, mereka mengkritisi maksud para produsen yang bisa jadi memang ingin meningkatkan kesadaran kemanusiaan para penonton atau hanya mengeksploitasi rasa kasihan penonton yang tidak berdampak signifikan dalam praktik kehidupan sosial.
Meneguhkan asumsi dalam buku ini, Doveling et. al. (2011) menyampaikan bahwa media massa berpotensi merangsang dan membentuk emosi penontonnya. Media massa tidak hanya mengolah informasi terkait penonton, suatu kejadian, atau produk tertentu, mereka juga berupaya membuat penonton merasa takut, sedih, cemas, marah, atau senang ketika disuguhkan cerita atau fenomena tertentu.
Dalam konteks iklan McDonald’s, emosi penonton dibentuk untuk merasa simpati atau merelasikan pengalaman serupa dengannya. Mengapa hal ini jadi dipermasalahkan oleh sebagian orang? Alasan mereka, terdapat unsur eksploitatif dan romantisasi emosi anak kecil yang kehilangan ayahnya dalam upaya McDonald’s memompa penjualan produk.
Sejumlah pakar psikologi menganggap pengalaman buruk yang berdampak terhadap kondisi mental seseorang tidak sepatutnya diromantisasi, dieksploitasi, atau diglorifikasi. Yang ada, cara media massa mengeksploitasi hal tersebut malah mendorong pemahaman sempit dan solusi tindakan atau tanggapan yang tidak melulu tepat sasaran karena setiap anak memiliki mekanisme adaptasi terhadap proses kehilangan seseorang yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Memahami Proses Adaptasi Anak Saat Mengalami Kehilangan
Tidak semua anak menangis dalam pemakaman orangtua atau orang yang mereka kasihi. Ada anak-anak yang senang menumpahkan emosinya kepada orang-orang sekitar ketika sedang terpukul atau berduka, ada pula anak-anak yang memilih bungkam seribu bahasa saat ditanyai soal pengalaman traumatis ditinggal orang terdekat.
Sebagian anak membutuhkan beberapa minggu atau bulan sampai bisa menerima kenyataan pahit yang dialaminya, sementara lainnya memerlukan tahunan bahkan hitungan dekade sampai luka batinnya mengering.
Sejumlah teori psikologi tentang duka telah dikemukakan para pakar, salah satunya dari Elisabeth Kübler-Ross (1969). Sebagaimana dikutip dari Psych Central, Kübler-Ross menyatakan ada lima tahapan yang dihadapi orang yang berduka. Pertama, penyangkalan dan isolasi diri. Reaksi ini wajar terjadi karena seseorang begitu terkejut menghadapi peristiwa yang menyedihkan dan Kübler-Ross menganggapnya sebagai suatu mekanisme pertahanan diri. Fakta di depan mata tidak langsung diterima sebagaimana hal-hal lain yang tidak memicu duka lara.
“Ini tidak mungkin terjadi,” demikian yang biasanya terlontar dari seseorang yang baru saja kehilangan dan berada dalam tahapan penyangkalan serta isolasi diri.
Tahapan kedua adalah kemarahan. Saat orang yang baru kehilangan dipaksa untuk menerima kenyataan, lazim ditemukan tindakan-tindakan yang mengisyaratkan rasa marahnya. Pelampiasan kemarahan tersebut bisa dilakukan terhadap benda mati, orang asing, keluarga dan kerabat dekat, atau bahkan orang yang meninggal sekalipun. Kemarahan ini adalah tanggapan terhadap rasa sakit yang disebabkan oleh orang yang pergi untuk selamanya. Lebih jauh lagi, bukan tidak mungkin seseorang merasa bersalah karena telah marah, dan rasa bersalah ini justru membuatnya semakin geram.
Selanjutnya, seseorang yang berduka biasanya memasuki tahap tawar-menawar. Kübler-Ross melihat ini adalah tahapan di mana orang yang berduka berkomunikasi dengan Tuhan dan berharap ia mampu melakukan sesuatu untuk mencegah kematian orang yang dikasihinya terjadi. Perasaan tidak berdaya mengarahkan orang tersebut untuk berpikir seperti “Seandainya saya bisa mengobati dia lebih cepat, seandainya kami mendatangi dokter lain untuk mendapat diagnosis lain” yang dalam konteks menghadapi kematian seseorang, tidak akan membawa solusi apa-apa.
Tahap keempat dalam menghadapi duka menurut Kübler-Ross ialah depresi. Kesedihan yang memicu tangis berhari-hari serta penyesalan mulai merundungi seseorang. Perubahan tingkah laku dan kebiasaan pun lazim ditemukan saat seseorang mencapai tahapan ini.
Terakhir, tahap penerimaan. Menurut Kübler-Ross, penerimaan merupakan fase akhir dari proses menghadapi duka. Dibutuhkan keberanian untuk berdamai dengan hal yang tidak bisa dihindari dan umumnya, orang-orang dalam tahapan ini terlihat lebih tenang dibanding pada tahapan-tahapan lainnya.
Perlu dipahami bahwa tahapan-tahapan ini tidak berlaku secara linear dan tidak dapat dipukul rata waktu yang dibutuhkan seseorang untuk beranjak dari satu tahap ke tahap yang lainnya.
Sejumlah upaya dapat dilakukan orangtua atau orang dewasa saat harus berhadapan dengan anak yang tengah berduka atau merasa kehilangan. Tidak selamanya orangtua mesti membiarkan anaknya berada di rumah pada masa-masa berkabung.
Dilansir Cruse Bereavement Care, bila anak ingin kembali beraktivitas di sekolah, orangtua tidak perlu menahannya karena bisa jadi interaksi di sekolah merupakan bagian dari proses penyembuhan luka batin si anak. Bila anak mulai berlaku destruktif dan menyakiti sekitar, orangtua dapat menjelaskan kepada anak bahwa meskipun ia sedang frustrasi, tindakan pelampiasan duka atau kemarahan terhadap sekitar tidak serta merta dibenarkan.
Umumnya, orangtua atau orang dewasa mengharapkan anak untuk ikut dalam upacara pemakaman, tetapi tidak semua anak kuat menjalani ritual tersebut. Maka, hal yang sebaiknya dilakukan adalah tidak memaksa anak untuk turut mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang dikasihinya pada upacara pemakaman.
Ada anak-anak yang begitu terpukulnya memilih mengisolasi diri dan sepatutnya orangtua tidak menghukum mereka karena pilihan menghadapi duka seperti ini. Jika hal sebaliknya dilakukan, duka anak bisa jadi semakin mendalam dan semakin lama tersembuhkan karena menganggap orang sekitar tidak mampu memahami dirinya.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani