tirto.id - Neil Hilborn menjadi buah bibir di dunia digital ketika video slam poem—sejenis puisi yang mengekspresikan kisah personal seseorang dan biasanya disampaikan dengan cara emosional—yang memuat kisah cintanya sebagai pengidap OCD menjadi viral.
Dalam video tersebut, Hilborn mencurahkan pengalamannya sebagai pengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD) ketika menjalin hubungan cinta dengan seorang perempuan. Banyak hal yang mulanya tak mampu ditoleransinya, berhasil diterima Hilborn seolah ia tidak memiliki sejumlah obsesi yang membuat level kecemasannya meroket sejak kehadiran kekasihnya. Namun malang, kisah cinta Hilborn harus kandas dan meninggalkan luka mendalam bagi laki-laki yang belum kuasa berpaling hati dari sang mantan.
Sebenarnya, video Hilborn yang diunggah Button Poetry bukanlah hal anyar karena sudah ada di Youtube sejak 22 Juli 2013. Saat ia mempublikasikannya ulang di Facebook, perhatian orang pun segera tertuju kepadanya, membuat videonya di media sosial tersebut ditonton sebanyak 25 juta kali menurut berita yang ditulis di Huffington Post. Di kanal Youtube, hingga saat ini, video Hilborn telah disaksikan sebanyak 12.674.363 kali dan mengundang 10.179 komentar dari publik.
Kesan romantis yang diciptakan dari video tentang pengidap kelainan mental tersebut tak pelak membuat publik tampak bersimpati dengan kondisinya. Tidak sedikit pula yang mengidentifikasi diri dalam kisah patah hati klasik yang disampaikan Hilborn kendati belum tentu ia mengalami kelainan mental serupa dengan laki-laki tersebut.
OCD, Kecemasan, dan Depresi
Tidak semua orang benar-benar memahami apa saja yang termasuk OCD. Mayoritas beranggapan pengidap OCD adalah mereka yang gila kebersihan dan keteraturan dan seringkali mengulang-ulang kegiatan untuk memastikan segala sesuatu sebagaimana mestinya. Asumsi ini tidak salah, akan tetapi cakupan OCD jauh lebih luas dari itu.
Dalam situs Psychology Matters Asia, OCD didefinisikan sebagai kondisi psikis di mana individu mengalami obsesi yang mengusik dan repetitif, serta kompulsi yang didorong oleh kecemasan sehingga menyita waktunya atau menciptakan gangguan yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian ini diambil dari Diagnostic and Statistical Manual edisi keempat (DSM 4). Sejak tahun 2013, APA telah memasukkan OCD dalam kategori terpisah dari anxiety disorder atau kecemasan sebagaimana tercantum dalam DSM 5.
Tak hanya kontaminasi bakteri atau kuman saja yang menjadi obsesi orang-orang dengan OCD. Situs Medscape menyebutkan bentuk-bentuk obsesi lainnya seperti keselamatan, keraguan terhadap memori atau persepsi seseorang, ketakutan akan melakukan pelanggaran—utamanya terkait norma agama—, kebutuhan mengatur sesuatu secara simetris atau sesuai tempat asalnya, serta pikiran seksual/agresif yang mengganggu dan tak diharapkan.
Sedangkan bentuk kompulsi yang jamak ditemukan adalah membersihkan diri, mengecek, menghitung, mengatur objek, menyentuh atau mengetuk-ngetuk sesuatu, mengumpulkan benda tertentu, mencari peneguhan, dan membuat daftar. Semua hal ini biasanya dilakukan secara berulang-ulang dalam rangka mengentaskan kecemasan yang ditimbulkan dari obsesi.
Penyakit mental kedua yang jamak ditemukan adalah kecemasan. Dalam catatan Depression and Other Common Mental Disorders: Global Health Estimates yang dirilis WHO tahun ini, diperkirakan sebanyak 264 juta orang di dunia mengidap gangguan kecemasan pada 2015. Angka ini naik sebesar 14,9 persen sejak 2005. Perempuan dinyatakan lebih rentan mengalami gangguan kecemasan daripada laki-laki dengan perbandingan jumlah pengidap sebanyak 4,6 persen dan 2,6 persen secara global. Sedangkan di Indonesia, tercatat prevalensi kasus kecemasan sebesar 8.114.774 atau sebanyak 3,3 persen dari populasi total.
Kecemasan menjadi sebuah kelainan ketika ia mulai mengganggu aktivitas harian seseorang. Terdapat beberapa jenis kecemasan yang ditulis dalam situs WebMD, di antaranya gangguan panik (dengan gejala berkeringat, sakit dada, degup jantung tak beraturan, dan perasaan tercekik), gangguan kecemasan sosial atau social phobia (yang terjadi saat seseorang berhadapan dengan situasi interaksi dengan publik), beberapa jenis fobia seperti ketinggian atau terbang, dan gangguan kecemasan general yang meliputi kekhawatiran dan perasaan tertekan tak beralasan.
Yang terakhir adalah penyakit mental yang paling banyak ditemukan di masyarakat. Dalam situs WHO tercatat lebih dari 300 juta orang yang terjangkit depresi. Hal ini berbeda dengan suasana hati yang gampang berubah atau moody dan umumnya berlangsung dalam jangka panjang dan lebih akut.
Risiko yang kerap dihadapi orang-orang dengan depresi ialah performa kerja atau studi yang buruk serta relasi yang rapuh dengan keluarga dan kerabat. Hal terburuk yang dapat terjadi ketika seseorang mengalami depresi adalah keinginan bunuh diri. Dilaporkan oleh WHO, hampir 800 ribu orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya.
Dilansir Health Line, orang yang mengalami depresi menunjukkan sejumlah gejala psikologis tertentu seperti sensitivitas yang tinggi terhadap hal-hal kecil, kehilangan gairah beraktivitas, kesulitan mengontrol amarah, tidak bisa beranjak dari kejadian pahit di masa silam, serta munculnya niat untuk mengakhiri hidup.
Dari segi fisik, orang dengan depresi biasanya mengalami kesulitan tidur, rasa letih berlebihan, perubahan nafsu makan, juga kesulitan berkonsentrasi dan membuat keputusan. Penyebab depresi pun dapat bermacam-macam mulai dari reaksi kimia dalam otak, hormon, faktor genetis, penilaian diri yang rendah, hingga pengalaman-pengalaman traumatis pada masa lalu.
Mereka Bilang, Penyakit Mental adalah Hal Romantis
Media massa memegang peranan besar dalam membentuk persepsi masyarakat tentang pengidap penyakit mental. Dalam buku The Stigma of Mental Illness - End of the Story? (2017), tercatat hasil penelitian Wahl dan Roth pada 1982 yang mengamati bagaimana media massa di AS menggambarkan karakteristik pengidap penyakit mental yang stereotipikal seperti berbahaya, agresif, bingung, dan tak dapat terprediksi.
Kehadiran media alternatif dengan kekuatan masif semacam internet pada akhirnya berhasil menggeser stigma ini, tetapi tidak dengan 100% akurasi. Romantisasi penyakit mental pun menjadi tandingan stigma lama yang berkembang di masyarakat. Secara garis besar, romantisasi penyakit mental merupakan upaya menciptakan kesan khayalan atau glamor darinya.
Video Neil Hilborn bukan satu-satunya contoh publikasi yang meromantisasi penyakit mental. Belakangan ini, terdapat kecenderungan dari sejumlah media online untuk membuat kesan alternatif dari para pengidap penyakit mental. Blog seperti Tumblr disebut-sebut sebagai salah satu sarana yang sering dipakai untuk membuat estetisasi penyakit mental.
Tak jarang, simplifikasi berlebihan terjadi dalam penjabaran mengenai penyakit-penyakit yang berpotensi sebagai pembunuh diam-diam ini sehingga lebih mudah diterima orang-orang, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang keren.
Tengok saja artikel-artikel yang menyebutkan bahwa mereka yang mengidap gangguan kecemasan adalah orang-orang yang kuat atau sejumput mitos seputar kecemasan yang diamini sebagian masyarakat. Deretan kuis psikologi yang sangat sederhana pun mempromosikan orang untuk mengklaim diri memiliki penyakit mental dalam level tertentu, bahkan tak sedikit yang ‘dengan bangga’ memublikasikan hasil kuis tersebut di media sosial.
Tapi Nyatanya…
Apa yang berikutnya terjadi dengan adanya romantisasi penyakit mental ini? Distorsi fakta sangat potensial terjadi saat media-media mencoba memoles gambaran mengenai OCD, depresi, atau gangguan kecemasan.
Laura Barton menulis pendapatnya terhadap kutipan mengenai depresi dalam Healthy Place. Ia mengambil contoh dari kata-kata “depresi bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda terlalu lama menjadi terlalu kuat”. Barton bersepakat dengan kalimat pertama kutipan tersebut, tetapi sebagai orang yang muak dengan romantisasi penyakit mental, dengan tegas ia menyatakan bahwa mengatakan depresi sebagai tanda terlalu kuat adalah sebuah generalisasi berlebihan, salah, dan mengabaikan bagaimana sebenarnya depresi muncul dan bekerja.
Dalam situs Elite Daily, Bri Ray menceritakan pengalamannya sebagai pengidap depresi yang begitu menyiksa hidupnya dan berharap orang tidak lagi berpikir penyakit mental adalah suatu hal yang glamor, romantis, dan keren.
Lebih lanjut, romantisasi penyakit mental yang menggeser persepsi orang juga dapat berdampak terhadap preferensi berelasi seseorang. Laporan Vice mengutip hasil studi yang dilakukan periset di Texas-Austin University, yang menemukan fakta bahwa laki-laki memiliki kecenderungan tertarik kepada perempuan yang tampak rapuh secara psikologis, baik itu kekanak-kanakan, depresi, atau kurang cerdas.
Pada mulanya, orang-orang yang benar-benar mengidap penyakit mental akan merasa dihargai dan diterima oleh partner yang menyatakan tertarik kepada mereka.
Namun yang mesti diwaspadai, ada kemungkinan partner mereka adalah individu narsisistis yang kerap kali ingin dipandang sebagai pahlawan dan superior dibanding orang-orang berproblem mental ini. Alih-alih memperbaiki keadaan, berelasi dengan partner semacam itu malah dapat membuat orang dengan OCD, depresi, dan gangguan kecemasan makin terpuruk, terlebih saat konflik dan perpisahan terjadi.
Menghadapi orang-orang dengan penyakit mental memang tak semudah berinteraksi dengan mereka yang kesehatan jiwanya mumpuni. Meromantisasi gangguan kejiwaan mereka tidak akan membuat permasalahan yang mereka temui setiap hari berkurang, malah dapat berkembang semakin parah jika menerimanya sebagai sesuatu yang lumrah sehingga merasa tak perlu mencari pengobatan.
Namun demikian, meremehkan orang-orang yang sewaktu-waktu meledak, merasa sedih berkepanjangan, dan tercetus ungkapan ingin bunuh diri serta melabeli mereka sebagai orang-orang payah tak pelak membuat mereka kian tertekan dan justru semakin dekat dengan kemungkinan memutuskan nyawa.
Tak semua orang bermental baja menyikapi patah hati, dan terkadang yang mereka butuhkan hanya telinga-telinga yang mau mendengar kesah tanpa dikte bagaimana harusnya mereka bertindak.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani