Menuju konten utama

Melihat Geliat Denim Lokal di Wall of Fades

Lini denim lokal mulai muncul tahun 2010. Para produsennya memutuskan untuk mengkhususkan diri pada jenis premium denim.

Melihat Geliat Denim Lokal di Wall of Fades
Instalasi celana denim milik seorang traveler Internasional, Ruedi Karrer yang berada di area Wall Of Fades 2018, Kuningan City, Jakarta, Sabtu (1/12/18). tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Produk tiruan, penipuan, dan kualitas buruk. Tiga hal tersebut adalah anggapan umum pecinta denim asal Amerika Serikat terhadap jeans Indonesia. Hal itu dikisahkan Ahmad “Yax” Hadiwijaya, pendiri Old Blue.Co, lini denim independen lokal. Ia aktif dalam sejumlah forum denimheads, sebutan bagi pecinta denim, dari berbagai negara. Dalam forum tersebut, persepsi negatif ini terungkap kala pembicaraan tentang denim dalam negeri muncul.

“Saya sendiri bahkan pernah melihat celana tiruan dari salah satu brand denim indie Australia. Kaget juga melihatnya padahal brand itu terbilang masih kecil. Hal-hal seperti ini yang bikin kita diragukan. Konsumer barat sangat memedulikan asal usul produk. Mereka mempertanyakan apakah barang dibuat dengan bertanggungjawab atau tidak. Adakah pihak yang sangat dirugikan dari pembuatan barang tersebut atau tidak,” katanya.

Kami berjumpa di Wall of Fades, ekshibisi dan bazaar denim tahunan yang diselenggarakan komunitas Indonesian Denim Group. Hari itu, kami harus mencari tempat yang agak sunyi agar bisa bicara dengan leluasa. Ruangan acara padat dengan pengunjung yang nampaknya masih duduk di bangku SMA atau mahasiswa semester awal. Mereka datang bersama kedua orangtua atau bergerombol dengan teman-teman sebaya.

Di Wall of Fades, ada 63 tenan produk busana denim dan aksesori kulit asal Indonesia. Para pengunjung menghabiskan cukup banyak waktu untuk mengamati lini busana seperti Mischief, Elhaus, Bluesville, Sage, Voyej, dan NBDN.

Ruangan pameran ini menjadi tempat bagi berbagai lini lokal untuk membuktikan bahwa mereka bisa mengeluarkan barang bermutu. Jangan harap Anda bisa menemukan jeans reguler seperti yang dijual di toko retail besar. Para produsen jeans independen ini hanya menonjolkan jenis selvedge --istilah untuk menyebut denim dengan tepi tenunan yang dijahit rapi, menunjukkan kualitas yang tinggi. Harga denim selvedege lokal ini dijual dari harga Rp950 ribu sampai Rp2,6 juta.

Yax menyebut selvedge sebagai kasta tertinggi dalam ranah denim. Produk tersebut digunakan kala jeans belum jadi barang yang diproduksi massal. Mesin pembuat material denim selvedge bernama shuttle looms. Cara kerja mesin tersebut menghasilkan hasil tenun yang padat dan jahitan penghubung kain tertutup rapi. Secara kasat mata, perbedaan selvedge dan non selvedge denim bisa dilihat dari bagian pinggir lipatan celana.

Kepopuleran shuttle looms dan selvedge jeans mulai tergantikan pada tahun 1960an saat jeans semakin populer dan diproduksi secara massal. Sejak saat itu publik terbiasa dengan jeans lebih tipis dan harga yang lebih rendah. Di dalam negeri, perubahan minat terhadap non selvedge jeans mulai terjadi pada 2009 saat lini denim independen mulai bermunculan.

Semua itu berawal dari pembicaraan yang terjadi dalam forum darahkubiru, komunitas pecinta denim yang terbentuk pada 2006 silam. Mereka berburu denim berkualitas dan merujuk pada lini asal Eropa dan Jepang seperti Nudie dan Red Card. Sebagian dari mereka lantas memutuskan untuk mendirikan label busana.

“Saya ingin mengembalikan jeans ke akarnya. Budaya denim muncul di Amerika jadi kiblat saya kesana. Fokus Old Blue di selvedge vintage jeans. Salah satu inspirasinya vintage Levi’s yang diciptakan tahun 1947,” lanjut Yax yang meresmikan merek itu pada 2010.

Tantangan yang harus dihadapi waktu itu adalah minimnya pengetahuan masyarakat tentang selvedge jeans. Waktu itu Yax hanya leluasa berjualan di berbagai bazaar yang diselenggarakan komunitas denim. Kelahiran Old Blue dan meningkatnya minat publik terhadap selvedge menginspirasi para pecinta denim untuk memproduksi barang serupa. Yax berkata kini orang bisa dengan mudah membeli berbagai model selvedge jeans seharga Rp2 jutaan.

infografik denim heads indonesia

Hari itu perkataan Yax cukup terbukti saat saya menyambangi booth NBDN, lini jeans asal Bandung yang berdiri sejak 2013. Sampai saat ini mereka tidak memiliki toko fisik di Indonesia. Mereka berdagang secara daring dan fokus pada ekspor. Sejauh ini, NBDN diekspor untuk kebutuhan retail di Thailand, Tawian, Hong Kong, Nepal, dan Amsterdam. Di pameran ini, mereka menjual celana mulai dari Rp1,6 juta sampai Rp2 juta-an. Aryan, pendiri NBDN, terkejut karena bisa menjual nyaris 100 jeans dalam satu hari.

“Gila ini mah. Sabtu-minggu pasti lebih dari ini,” katanya.

Pertemuan kami terjadi beberapa hari setelah ia kembali dari Amsterdam Denim Day. Pada acara itu mereka mendapat pembeli dari Inggris, Jerman, Belgia, Rusia, dan Switzerland.

“Saya merasa konstruksi dan kualitas produk buatan kita sebenarnya tidak kalah dengan buatan luar seperti Jepang atau Amerika Serikat sekalipun,” kata Aryan.

Satu hal yang juga jadi kebanggaannya ialah berkolaborasi dengan Ruddie Karrer, kolektor denim dan pendiri museum privat jeans di Swiss, lewat koleksi spesial NBDN x Swiss Jeans Freak. Ruddie juga merupakan idola kaum denimheads. Aryan mengajaknya datang ke Indonesia untuk jadi tamu spesial di Wall of Fades.

“Dia bersedia karena dia lihat antusiasme denimheads Indonesia itu besar," kata Aryan.

Ruddie bersepakat dengan Aryan. Ia bercerita bahwa antusiasme orang Eropa terhadap denim tidak sebesar kaum muda di Indonesia. Pria yang telah mengoleksi denim selama 44 tahun ini cukup terkejut melihat geliat pertumbuhan lini denim lokal Indonesia. Ia rutin memantau aktivitas denimheads lokal lewat media sosial kemudian merasa kagum dengan respons mereka terhadap lini seperti Sage, Old Blue, dan Bluesville.

Denim lokal boleh jadi mulai dipercaya beberapa pengusaha retail Asia dan Eropa. Sementara itu citra di mata denimheads Amerika Serikat masih perlu diupayakan. Yax mencoba mengupayakannya lewat mengikuti sejumlah ekshibisi denim di negara tersebut. Sejauh ini sudah ada distributor asal Amerika Serikat yang berminat terhadap produknya. Meski demikian, ia belum puas dan masih merasa perlu mengekspansi bisnisnya.

Baca juga artikel terkait DENIM atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono