tirto.id - Sejak dilantik pada Oktober 2017 yang lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno cukup gencar melakukan kebijakan populis. Selain menutup Hotel dan Griya Pijat Alexis, mereka masih punya "utang janji" melepas kepemilikan saham Pemprov DKI Jakarta di PT Delta Djakarta Tbk.
Rencana melepas kepemilikan saham Pemprov DKI Jakarta di Delta Djakarta, datang dari Sandiaga Uno. Alasan Sandiaga melepas saham tersebut karena produk minuman beralkohol tidak baik bagi generasi muda DKI Jakarta.
"Ke depan, kalau saya jadi wakil gubernur, akan saya jual. Tidak pantas bahwa ibu kota negara dengan muslim terbesar di dunia, punya saham di perusahaan bir, buat saya itu tidak masuk akal"
Sandiaga mengucapkannya saat berkampanye di Rawasari Timur, Jakarta Pusat pada 30 November 2016. Saat resmi terpilih sebagai wakil gubernur Jakarta, pernyataan sejenis juga sempat diulang kembali.
Delta Djakarta merupakan salah satu perusahaan bir terbesar di Indonesia. Perusahaan yang berkode emiten DLTA ini menjadi produsen dan distributor untuk sejumlah merek bir, seperti Anker, Carlsberg, San Miguel, dan Kuda Putih.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), Pemprov DKI Jakarta saat ini memiliki saham Delta hingga 23,34 persen, atau 186,84 juta saham. Sisanya, sebanyak 58,33 persen dimiliki San Miguel Malaysia, dan 18,33 persen dimiliki masyarakat.
Pemprov DKI juga memasukkan dua pejabat penting sebagai petinggi Delta Djakarta, yakni Michael Rolandi sebagai Komisaris Utama, dan Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Jeje Nurjaman sebagai Komisaris Independen.
Namun, menjual saham tidaklah mudah. Apalagi Delta adalah perusahaan terbuka, sehingga prinsip kehati-hatian perlu dilakukan. Untuk itu, sampai dengan saat ini, Pemprov DKI Jakarta masih belum memastikan langkah apa yang akan diambil.
“Kami akan koordinasikan dengan BEI. Kami akan komunikasikan dengan mitra kami. Kami juga sosialisasikan ini, dan berkoordinasi dengan OJK agar dapat menghasilkan kebijakan yang baik atas portofolio Pemprov di Delta,” kata Sandiaga.
Apakah saham Delta Djakarta seksi di mata investor?
Di pasar modal, laporan keuangan perusahaan memiliki fungsi yang strategis. Informasi dari laporan keuangan digunakan untuk menilai kinerja perusahaan, terlebih bagi perusahaan yang sahamnya telah tercatat, dan diperdagangkan di bursa. Informasi yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan dapat memberikan analisa untuk menilai fundamental suatu perusahaan, sehingga informasi itu dapat memberikan landasan bagi keputusan investasi.
Berdasarkan laporan keuangan Delta yang dipublikasikan di BEI, kinerja keuangan emiten bir ini terbilang cukup positif. Dalam lima tahun terakhir, penjualan Delta tumbuh positif, dan menghasilkan keuntungan.
Pada 2013, penjualan bersih Delta menembus Rp867,06 miliar dan menghasilkan laba bersih senilai Rp270,49 miliar. Pada tahun berikutnya, penjualan tumbuh menjadi Rp879,25 miliar dengan laba bersih Rp288,07 miliar.
Pada 2015, kinerja penjualan Delta terpuruk lantaran adanya kebijakan dari kementerian perdagangan yang memperketat penjualan minuman beralkohol (minol) di minimarket. Kebijakan itu tertuang dari Peraturan Menteri Perdagangan No. 6/2015 tentang pengawasan, peredaran dan penjualan minol.
Akibat diterbitkannya aturan tersebut, seluruh produk bir atau minol dengan kandungan 1-5 persen tidak boleh dijual di minimarket. Penjualan Delta pun terkoreksi menjadi Rp699,5 miliar dengan laba bersih Rp192,04 miliar.
Di tahun-tahun berikutnya, kinerja penjualan Delta perlahan-lahan mulai membaik. Penjualan Delta mencapai Rp774,96 miliar pada 2016, naik 11 persen dari 2015. Sementara, laba bersih tumbuh 33 persen menjadi Rp254,5 miliar.
Tahun lalu, Delta kembali menunjukkan kinerja yang cukup baik. Meski penjualan hanya naik sangat tipis 0,30 persen menjadi Rp777,3 miliar, keuntungan yang diraup perseroan tumbuh lebih tinggi, yakni 10 persen menjadi Rp279,77 miliar.
Selain penjualan dan laba bersih, rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) Delta juga tergolong baik, hanya sekitar 17 persen. Artinya, tekanan beban utang terhadap kinerja Delta cukup rendah, dan tidak mengganggu laba bersih perseroan.
Kurang Likuid
Sayangnya, meski kinerja keuangan dinilai cukup baik, transaksi perdagangan Delta terbilang kecil. Dalam tiga bulan terakhir (November 2017-Januari 2018), frekuensi perdagangan Delta hanya mencapai 637 kali.
“Kalau frekuensi perdagangan kecil, jadi tidak menarik buat investor yang suka trading daily. Jadi kami enggak rekomendasikan buy untuk DLTA, karena kurang likuid,” kata Muhammad Nafan Aji, analis Binaartha Sekuritas kepada Tirto.
Namun, frekuensi perdagangan Delta saat ini lebih baik ketimbang pada 2015. Sepanjang 2015, frekuensi perdagangan Delta hanya 1.000 kali. Tahun berikutnya, frekuensi perdagangan tumbuh dua kali lipat menjadi 2.000 kali.
Jika merujuk dari Surat Edaran PT BEJ No. SE-03/BEJII-1/I/1994 yang menyebutkan bahwa saham dikatakan tidak likuid apabila frekuensi perdagangan selama tiga bulan kurang dari 75 kali, maka Delta termasuk saham yang likuid.
Pada 2017, transaksi perdagangan Delta menembus 4.000 kali, naik 2 kali lipat dari 2016. Hal ini juga tidak terlepas dari peran Sandiaga yang beberapa kali mengungkapkan rencananya untuk melepas kepemilikan Pemprov DKI atas saham Delta.
Rencana melepas saham Delta itu pertama kali disampaikan Sandiaga pada 10 November 2016 ketika sedang berkampanye. Setelah resmi menjabat sebagai wakil direktur, rencana itu disampaikan kembali. Pada 10 November 2016, harga saham Delta ditutup melemah 4,71 persen menjadi Rp5.050 per saham dari sebelumnya Rp5.300 per saham. Pada saat bersamaan, volume perdagangan Delta mencapai 17.100 saham.
Meski agak kurang menarik bagi investor yang aktif jual beli harian, Delta justru menarik bagi para investor yang menginginkan penghasilan pasif (passive income), yakni berasal dari dividen setiap tahunnya.
Dalam lima tahun terakhir ini, Pemprov DKI Jakarta—dengan kepemilikan saham 23,34 persen—telah mendapatkan total dividen dari Delta sebesar Rp187 miliar. Rinciannya adalah Rp37,8 miliar pada 2017, Rp25,22 miliar pada 2016, Rp25,22 miliar di 2015, Rp50,44 miliar pada 2014, dan Rp48,34 miliar di 2013.
Jika melihat kinerja keuangan dalam lima tahun terakhir, bisa dibilang saham Delta ini cukup menarik untuk dikoleksi. Bagi investor penyuka dividen, tampaknya ini bisa menjadi pilihan tepat, tapi bagi trader belum cukup menarik.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra