Menuju konten utama

Melawan Pelecehan Seksual Atas Buruh Perempuan

Banyak buruh perempuan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Lewat sebuah film berjudul Angka Jadi Suara, para buruh perempuan menunjukkan perlawanan.

Melawan Pelecehan Seksual Atas Buruh Perempuan
Puluhan aktivis yang tergabung dalam komite aksi perempuan melakukan aksi simpatik saat hari buruh dunia di Jakarta, Minggu (1/5). Antara foto/m agung rajasa/ama/16

tirto.id - “Tiap orang mekanik ke mesin, ada yang dicolek payudaranya, pantatnya, seenaknya aja...Terkadang ada yang suka meluk dari belakang, terus memegang payudara. Bahkan ada yang mencium seenaknya, di tempat umum.”

Sosok seorang mantan buruh pabrik garmen di Kawasan Berikat Nusantara muncul di awal film. Nama dan wajahnya disamarkan. Hanya ada suara dan siluet dirinya. Ia menceritakan pengalamannya sekaligus pelecehan yang juga dialami teman-temannya.

Lalu kamera mengarah ke kerja-kerja Komite Buruh Perempuan melawan pelecehan seksual itu. Mereka melakukan riset, mewawancarai para buruh perempuan dan menemukan banyak sekali kasus serupa. Mereka menemui para pemangku kepentingan, mulai dari General Manager, Sekretaris Perusahaan, hingga Menteri Pemberdayaan Perempuan. Mereka menggelar diskusi dengan para buruh. Mereka melakukan kampanye, membagikan selebaran sebagai upaya edukasi buruh perempuan.

“Kalau ada yang colak-colek di pabrik, dilawan ya mbak,” teriak salah satu penyebar selebaran.

Bukan hanya buruh perempuan yang harus mereka edukasi. Saat menemui Sekretaris Perusahaan PT KBN, Toha Muzaqi, tampak jelas ia tak paham jenis-jenis pelecehan seksual.

“Disuit-suit itu juga pelecehan, Pak,” kata seorang buruh perempuan.

“Oh, gitu ya?” wajah Toha tampak bingung.

Saat film itu diputar di KeKini, Jakarta Pusat, pada Kamis (4/5), adegan percakapan itu membuat para penonton bereaksi. Ada yang menertawakan, ada yang bergumam dengan emosi, ada yang mengepalkan tangannya dengan geram. Bukan hanya para buruh yang menonton, ada juga wartawan, akademisi, dan aktivis hak perempuan.

PT KBN tercatat sebaga badan usaha milik negara (BUMN). Bukan hanya pemerintah pusat yang memiliki saham di perusahaan ini, Pemerintah Daerah DKI Jakarta juga. KBN yang tahun ini berusia 31 tahun memiliki sub-unit Cakung, Marunda, dan Tanjung Periuk, semuanya di Jakarta Utara. KBN Cakung menyewakan area kawasan ke sekitar 45 pabrik yang mayoritas adalah pabrik garmen untuk produk ekspor. Beragam merek terkenal di dunia bisa ditemui di KBN Cakung.

Perusahaan pengguna KBN cakung sebagian besar dari Korea Selatan. Ada juga yang dari Taiwan dan perusahaan Indonesia. Sekitar 50.000 buruh bekerja di KBN Cakung dan hampir semuanya perempuan. Film Angka Jadi Suara dilatarbelakangi oleh apa yang terjadi di KBN Cakung.

Sepanjang September hingga Oktober 2016, ditemukan 25 buruh perempuan yang berani mengungkapkan pelecehan seksual yang mereka alami. Pelakunya bukan hanya para mekanik laki-laki, tetapi juga bagian personalia.

Ada seorang buruh perempuan yang takut sekali mesinnya didatangi mekanik sehingga ia berusaha dan bertekad agar tak ada kerusakan di mesinnya. Bukan karena takut dimarahi mesinnya rusak, tetapi karena takut mengalami pecehan seksual baik verbal maupun tindakan.

Infografik Film Angka

Secara visual, film dokumenter berdurasi 22 menit itu memang tak begitu memanjakan mata. Ia tampak monoton karena hanya bergerak dari pertemuan ke pertemuan. Tetapi, film itu murni buatan serikat buruh. Ia diproduksi oleh Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP). Dian Septi Trisnanti, sang sutradara, adalah sekretaris jenderal di FBLP. Penata kamera hingga penyunting gambar pun berasal dari orang-orang di internal FBLP.

Produksi film Angka Jadi Suara dimulai sejak 2016, tetapi sejak 2012, anggota FBLP telah belajar membuat film dari nol. Di tengah pekerjaan di pabrik, serikat, dan rumah tangga, beberapa pengurus mengikuti pelatihan membuat film. Dari situlah kemampuan membuat film mereka peroleh. Bahkan beberapa footage dalam film diambil dari video-video dokumentasi saat mereka belajar film.

Akhir film Angka Jadi Suara menunjukkan bahwa perjuangan para buruh tak sia-sia, meski memang belum selesai. Pihak KBN sepakat untuk memasang plang besar yang menegaskan tak boleh ada pelecehan seksual di wilayah tersebut.

“Sesuai kesepakatan, harusnya ada tiga plang, tetapi sekarang baru satu,” kata Jumisih, Ketua Komite Buruh Perempuan.

Setelah plang dipasang, pelecehan tak serta-merta berhenti. Jumisih belum bisa bicara angkanya berapa, bertambah atau berkurang, tetapi dia menyatakan pelecehan seksual masih ada.

Selain plang, mereka juga seharusnya mendapatkan sebuah posko khusus sebagai tempat para buruh perempuan melaporkan dan mengeluhkan segala persoalannya di tempat kerja. Namun, saat ini, poskonya masih bergabung dengan pos satpam yang juga kerap ramai polisi sehingga mereka tak merasa nyaman.

Ajeng Pangesti, anggota komite yang sehari-hari aktif di posko mengamini bahwa perjuangan mereka belum selesai. Dia menyatakan perusahaan menjanjikan akan dibuatkan posko permanen pada Februari 2017. Tetapi, sampai saat ini, janji itu belum ditepati. Saat dihubungi Tirto, Sekretaris Perusahaan PT KBN Toha Muzaki mengatakan pihaknya akan segera mengupayakan pembangunan posko yang permanen dan eksklusif. “Nanti kami carikan solusi, kalaupun sendiri, eksklusif, harus yang dekat dengan mereka juga. Kami buat di pos keamanan itu karena itu jalur mereka lewat,” kata Toha, Jumat (5/5).

Dia juga mengatakan, perusahaan sudah membuka ruang bagi buruh untuk melaporkan. Tetapi sampai saat ini, belum ada yang melaporkan secara resmi ke perusahaan. "Mungkin karena malu atau takut, apalagi kalau pelakunya atasannya," kata Toha. Jika ada laporan, lanjutnya, perusahaan akan melihat jenis pelecehan seksual yang dilakukan. "Kalau parah, kami akan bawa ke polisi."

Kerja-kerja edukasi juga masih menjadi PR besar bagi para buruh perempuan. “Belum banyak yang sukarela mau melaporkan, saat ini, kami masih harus jemput bola,” kata Ajeng.

Baca juga artikel terkait HARI BURUH atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Film
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti