tirto.id - “Mom, I always told you I'd come back and get my degree.”
Demikian ditulis Mark Zuckerberg di akun Facebooknya pada 25 Maret 2017 lalu. Bersama kalimat tersebut, ia menyertakan foto dirinya mengenakan toga dan memampang sebuah sertifikat. Status dan foto Zuckerberg ini tidak hanya viral di media sosial ciptaannya, tetapi juga di media-media besar internasional. Mereka memberitakan bahwa Zuckerberg—mahasiswa drop out dari Harvard University—dihadiahi gelar kehormatan Doctor of Laws dari kampusnya dulu.
Gelar kehormatan ini diperoleh Zuckerberg setelah dua belas tahun gagal menyelesaikan studinya. The Telegraph mencatat, ia menerima gelar dari kampus yang mengeluarkannya jauh lebih cepat dibanding Bill Gates yang baru menerima gelar kehormatan pada 2007, 32 tahun setelah penggagas Microsoft tersebut memutuskan tidak melanjutkan pendidikan tingginya.
Tentu saja bukan hanya Gates dan Zuckerberg yang mendapatkan gelar kehormatan tanpa sempat menyelesaikan kuliah. Beberapa pesohor lainnya juga diwartakan pernah menerima hadiah prestisius serupa. Aktor Hollywood, Ben Affleck, sempat berkuliah di beberapa kampus tanpa berkesempatan meraih gelar sarjana sebelum akhirnya diberikan gelar doktor kehormatan dari Brown University pada 2013.
Sementara penyanyi Kanye West yang pernah dikeluarkan dari Chicago State University, pada 2015 dianugerahi gelar setingkat Affleck dari Art Institute of Chicago. Penyanyi Amerika Serikat lainnya, Puff Daddy, juga dilaporkan menerima gelar doktor kehormatan dari Howard University pada 2014 setelah dikeluarkan dari almamaternya tersebut pada dekade 1990-an.
Di lain sisi, tidak sedikit pula selebritas yang berjerih payah di kelas untuk mendapatkan gelar akademis. Kesuksesan yang diperoleh di luar bangku kampus rupanya tidak menyurutkan semangat mereka untuk menggali pengetahuan lebih dalam lagi secara formal. Tengok saja aktris Natalie Portman. Meskipun telah mengecap pengalaman bekerja sama dengan sutradara-sutradara papan atas sejak 1994, Portman tetap bertekad melanjutkan studi di perguruan tinggi.
Tidak tanggung-tanggung, pada 1999 ia mendaftar di Harvard University jurusan Psikologi dan memangku gelar sarjana empat tahun kemudian. Dari dalam negeri, ada Donita yang pada 2011 melanjutkan kuliah di jurusan Komunikasi setelah lima tahun meninggalkan bangku kuliah. Ada pula artis Shireen Sungkar yang akhirnya diwisuda, setelah sempat vakum kuliah karena menuai kesuksesan di dunia entertainment. Shireen yang merupakan mahasiswa ilmu komunikasi S1 dari Fakultas Ilmu Komunikasi di Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama), angkatan 2010 akhirnya diwisuda pada April 2017.
Mengapa Memilih Melanjutkan Studi?
Ada beragam alasan seseorang memutuskan melanjutkan studi ke level lebih tinggi sekalipun sudah berpenghasilan atau menempati jabatan strategis di tempat kerja. Bila alasan mereka yang langsung berkuliah begitu lulus SMA ialah demi mendapatkan ijazah sarjana—syarat jamak dalam perekrutan kerja—, lain halnya dengan orang-orang yang melanjutkan studi di universitas setelah bekerja. Septiana (27) misalnya, mengatakan bahwa motivasi untuk kuliah setelah bertahun-tahun menyandang gelar karyawan datang ketika melihat teman-teman sebayanya yang mampu duduk di bangku kampus. Ia sendiri adalah lulusan sebuah SMK di Jakarta yang memang dipersiapkan untuk langsung bekerja. “Tapi, waktu itu gue ngerasa iri aja. Temen-temen pada bisa, masa gue nggak? Akhirnya gue mulai nabung dari gaji gue buat bisa bayar uang masuk kuliah,” ungkapnya kepada Tirto.
Perempuan yang sedang menjalani studi bidang Manajemen Sumber Daya Manusia ini juga mengatakan bahwa semakin tinggi level edukasi yang dicapai, akan makin besar pula remunerasi yang akan diberikan dari kantornya seiring dengan makin tingginya jenjang karier yang bisa dijejak. “Di samping itu, gue pengen di keluarga gue ada yang punya pendidikan tinggi, sih, selain bapak gue. Abang gue udah nggak kuliah, masa gue juga (nggak kuliah) sih? Gue pengen ada peningkatan status sosial juga. Akhirnya, adik gue pun ikut kuliah setelah kerja kayak gue,” imbuh Septiana.
Tidak ada kata terlalu tua untuk berkuliah tampaknya jadi kalimat sakti yang mendorong orang-orang untuk kembali ke bangku kampus. Setidaknya, itu yang menjadi fenomena di Amerika Serikat. Data dari National Center for Education Statistics menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah calon mahasiswa yang mendaftar di universitas antara tahun 2000 hingga 2014. Tidak hanya mereka yang berusia 18-24 tahun saja yang berniat melanjutkan studi, tetapi juga angkatan pendahulunya yang berumur di atas 25 tahun. Tahun 2014, tercatat sekitar 12 juta mahasiswa di bawah usia 25 dan 8,2 juta mahasiswa di atas usia 25. Kenaikan jumlah mahasiswa ini salah satunya dipengaruhi oleh bergesernya standar usia kuliah dan meningkatnya kesempatan untuk mendaftar di kampus-kampus.
Dilansir situs Cornerstone University, alasan lain orang-orang yang telah bekerja mau kembali ke kampus adalah kemampuan finansial yang lebih mumpuni. Hal ini senada dengan alasan yang diungkapkan Septiana bahwa setelah dirinya berpenghasilan, muncul niat untuk mengubah riwayat pendidikan. Memang sudah bukan rahasia bahwa besarnya biaya kuliah menjadi salah satu faktor yang menghambat rencana mengejar ilmu setinggi-tingginya, sehingga tidak sedikit yang menganggap kuliah adalah kemewahan.
Ada lagi alasan internal yang membuat orang kembali berkuliah. Sebagian dari mereka yang meninggalkan studi di tengah jalan merasa punya utang terhadap diri sendiri. Begitu berkesempatan kembali ke ranah pendidikan, mereka memanfaatkannya seoptimal mungkin agar kepercayaan serta penilaian terhadap diri sendiri menanjak.
Kemajuan teknologi juga disebut-sebut berpengaruh terhadap keputusan orang untuk mendapatkan gelar dari universitas. Banyaknya kelas-kelas online mempermudah mereka mengakses pendidikan tinggi tanpa perlu meninggalkan rutinitas sebagai pekerja kantoran atau ibu rumah tangga sekalipun. Dengan kata lain, tingkat fleksibilitas yang melambung menjadi iming-iming menggoda bagi mereka untuk kembali belajar di bawah payung institusi.
Lanjut Kuliah: Bukan Perkara Membalik Telapak Tangan
Keputusan untuk kembali berkuliah tidaklah seperti saat seseorang beranjak dari SMP ke SMA. Pada masa-masa remaja dulu, melanjutkan sekolah sudah seperti wajib hukumnya dan akan banyak pandangan sebelah mata bila seseorang putus sekolah. Namun, lain perkaranya untuk konteks pendidikan tinggi, apalagi bila seseorang telah mampu menghidupi dirinya sendiri. Oleh karena itu, serangkaian pertimbangan dan strategi dibutuhkan sebelum ketuk palu memasuki dunia akademis kembali.
Dalam situs Forbes, dicantumkan beberapa hal yang layak ditinjau ulang oleh orang-orang yang berniat kembali ke kampus setelah memiliki pekerjaan tetap. Pertama, tanyakan lagi apakah mereka memiliki cukup motivasi sebelum berkomitmen melanjutkan studi. Sering kali orang menghadapi distraksi, baik karena kesibukan kerja maupun aktivitas lainnya yang membuat kewajiban membaca dan mengerjakan tugas-tugas kuliah terbengkalai. Selain finansial, mental pun perlu dipersiapkan karena taruhan berkuliah sambil bekerja adalah waktu dan energi untuk berkonsentrasi.
Selanjutnya, mereka butuh merefleksikan tujuan berkuliah: apakah bisa mendukung perkembangan karier atau aktualisasi diri? Banyak lulusan sarjana yang masih menanti-nanti pekerjaan yang cocok lantaran studi yang mereka ambil tidak sejalan dengan minat sebenarnya. Tidak sedikit juga yang mengambil jurusan sesuai keinginan orangtua atau mengikuti pilihan teman-teman, padahal belum tentu profesi yang ingin mereka geluti sejalan dengan itu. Untuk menghindari hal ini, mereka yang berniat dan berkemampuan melanjutkan pendidikan tinggi patut memikirkan baik-baik studi apa yang ingin diambil. Jangan sampai mereka kadung berkuliah di jurusan tertentu, tetapi tidak ada dampak apa pun yang terjadi kemudian di ranah profesional tempat mereka berada.
Memutuskan kuliah kembali berarti menyisihkan sebagian pemasukan pribadi. Bagi yang telah berkeluarga, hal ini tentu saja membawa pengaruh besar. Pertimbangan masak-masak dalam membagi keuangan adalah keharusan agar mereka tidak menyesal memilih mengejar ilmu setinggi mereka mau.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti