Menuju konten utama

Megawati, Erdogan, dan Efek Streisand

Semakin rapat informasi yang kamu simpan, semakin penasaran orang dibuatnya.

Megawati, Erdogan, dan Efek Streisand
Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri. FOTO/Istimewa

tirto.id - Abdi Edison, Ketua Dewan Pengurus Daerah Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jawa Timur, melaporkan sineas dokumenter Dandhy Dwi Laksono ke Kepolisian Daerah Jatim. Dandhy dituduh telah menyebarkan ujaran kebencian kepada Megawati, Rabu (6/9).

Pangkal pelaporan itu adalah tulisan Dandhy yang membandingkan kegagalan Megawati dan Aung San Suu Kyi. Dandhy membandingkan keduanya dalam konteks, mengutip tulisan Dandhy, "ikon pejuang demokrasi yang pernah direpresi [...] tak selalu dapat diandalkan atau menjadi tumpuan harapan untuk menyelesaikan persoalan tanpa kekerasan."

Menariknya, saat informasi mengenai kekerasan di era kekuasaan Megawati itu coba "dihentikan", dalam hal ini dengan melaporkan Dandhy, efek yang terjadi malah sebaliknya.

Mereka yang sepemikiran dengan Dandhy, atau tidak menyetujui langkah mempolisikan Dandhy, berbondong-bondong mengutarakan informasi tentang kekerasan, pelanggaran HAM, atau penggunaan cara-cara militeristik yang terjadi di era Megawati. Alih-alih membuat informasi tertahan, yang terjadi malah berondongan informasi yang menyingkap pelbagai bukti.

Baca juga: Catatan Kekerasan HAM pada Zaman Megawati Berkuasa

Fenomena semacam ini disebut sebagai "efek Streisand". Istilah ini merujuk kehendak untuk menutup-nutupi informasi atau sesuatu malah berdampak sebaliknya: orang-orang malah makin penasaran, ingin tahu, dan akhirnya informasi yang beredar malah semakin banyak.

Istilah "efek Streisand" memang diambil dari nama penyanyi kenamaan Amerika Serikat, Barbra Streisand. Pada 2003, Streisand menggugat Kenneth Adelman, fotografer dari pictopia.com, karena memuat foto rumahnya di Malibu, California. Foto itu dimuat dalam album foto publik bertema garis pantai California.

Rumah Streisand memang persis terletak di tepi pantai tersebut. Tapi sesungguhnya, baik Adelman dan kebanyakan orang di AS, tidak ada yang tahu persis kalau rumah megah bercat putih itu adalah milik penyanyi keturunan Yahudi-Amerika itu.

Akan tetapi, Streisand bersikeras hal tersebut melanggar privasinya. Ia pun menuntut ganti rugi 50 juta dolar AS. Gugatan yang tidak main-main, bukan?

Namun, serangan Streisand malah berbalik. Pertama, hakim menolak gugatannya. Kedua, harapan agar privasinya tidak diganggu pun pupus.

Sebelum gugatan ini dilayangkan, foto rumahnya hanya diunduh oleh enam pengunjung (dan tidak semua tahu itu adalah rumah Streisand).

Setelah Streisand melayangkan keberatan dan melakukan gugatan, lebih dari 420.000 orang mengunjungi situs yang memuat foto rumahnya. Kantor berita Associated Press juga menyebarkannya dan tak terhitung berapa kali foto itu tercetak di media massa.

Di Balik Efek Streisand

Pada 2005, jurnalis dan pendiri Techdirt, Mike Masnick, menggunakan istilah "Efek Streisand" untuk kali pertama ketika mengisahkan Marco Beach Ocean Resort (MBOR) yang tersinggung oleh foto urinoir yang diunggah Urinal.net.

Menurut MBOR, tindakan itu ilegal. Bagi Masnick, kasus itu adalah lagu lama yang terus berulang, seingatnya, sejak munculnya kasus Streisand.

“Berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga pengacara sadar bahwa tindakan sederhana untuk menyembunyikan sesuatu yang mereka tidak sukai justru membuat sesuatu yang tadinya tidak (akan) pernah dilihat orang menjadi dilihat lebih banyak orang? Mari namakan itu 'Efek Streisand',” tulis Masnick.

Kasus serupa terjadi di belahan dunia lain. Pada April 2012, Pengadilan Tinggi Inggris memerintahkan lima penyedia layanan internet di Negeri Elizabeth untuk menutup akses The Pirate Bay. Menurut mereka, situs asal Swedia itu telah melakukan pelanggaran hak cipta.

“Situs seperti The Pirate Bay menghancurkan pekerjaan di Inggris dan menurunkan investasi pada seniman Inggris," kata Geoff Taylor, ketua British Phonographic Industry, perkumpulan dagang industri rekaman Britania, menanggapi keputusan Pengadilan Tinggi tersebut, seperti dilansir dari BBC.

Namun, seperti bumerang yang berbalik mengenai pelemparnya, BBC menyebut situs The Pirate Bay malah banjir pengunjung hingga mencapai 12 juta orang pada waktu itu.

Kisah lain juga datang dari seerang bocah usia 9 tahun bernama Martha Payne. Sejak awal Mei 2012, perempuan yang ibunya seorang dokter dan ayahnya seorang peternak itu mulai mengunggah foto-foto santap siang melalui blog Never Seconds. Unggahan Martha pun menjadi viral.

“Dia memiliki satu juta pengunjung dalam seminggu terakhir dan dua juta pengunjung pagi ini,” ujar Maryn Mackenna, dalam sebuah laporannya untuk Wired, 14 Juni 2017.

Namun siang harinya, melalui blognya itu, Martha mengatakan ia dilarang sekolahnya untuk memotret santap siang. Alasannya, karena ada koran yang merilis berita utama pada hari itu terkait santap siang Martha.

“Aku hanya menulis blog bukan koran, dan aku sedih tidak lagi diizinkan memotret. Aku akan melewatkan berbagi dan menilai makan siang sekolahku dan aku akan rindu melihat makan malam yang kamu kirimkan kepadaku,” sebut Martha dalam artikel bertajuk Goodbye.

Baca juga: Ketika UU ITE Menjadi Momok Masyarakat

Dua belas jam setelah Wired merilis laporannya, dukungan publik untuk Martha berdatangan. Sebanyak 214 artikel berita di seluruh dunia meliput isu Martha.

Never Second dikunjungi lebih dari 500 ribu warganet dan lebih dari 1.000 orang mengunggah komentar di artikel Goodbye. Sedangkan koki selebritas Inggris Jamie Oliver melalui akun Twitternya berkata: "Stay strong, Martha!"

Sementara The Guardian mengajak orang-orang untuk berfoto dengan menu santap siang mereka dan mengunggahnya ke Twitter dengan tagar #MyLunchforMartha. Martha juga menerima lebih dari 130.000 poundsterling dari donasi solidaritas yang digalang untuknya.

Infografik Efek Streisand

Efek Streisand di Dunia Politik

Direction Centrale du Renseignement Intérieur (DCRI) pernah merasakan "efek Streisand". Semula lembaga intelijen Perancis itu meminta Wikimedia menghapus sebuah artikel di Wikipedia berbahasa Perancis yang memuat naskah tentang pangkalan radio militer yang dikelola Ungkatan Udara Perancis Pierre-sur-Haute.

Menurut mereka, merekam hal tersebut tergolong informasi rahasia yang tidak boleh diumbar ke publik.

Namun, nasib DCRI berujung duka. Alih-alih informasi rahasia itu tetap tersembunyi, laman artikel itu dikunjungi 120.000 orang pada 6-7 April 2013. The Economist melaporkan artikel tersebut paling banyak dikunjungi di Wikipedia edisi Perancis.

"Efek Streisand" tidak terjadi di dunia maya saja. Politisi Kanada Vicki Huntington mengajukan aturan yang melarang tepuk tangan di dalam ruang sidang Majelis Legislatif British Colombia. Menurutnya, tepuk tangan bikin lembaga legislatif Kanada itu menghabiskan 3,5 jam per tahun. Selesai mengatakan hal itu, para hadirin malah bertepuk tangan sangat lama.

Atau, simak juga pengalaman Jan Böhmermann. Pada 2016, komedian Jerman itu dituntut oleh Recep Tayyip Erdogan. Komedian yang memang dikenal dengan lawakan-lawakan satirenya itu dituduh menghina Presiden Turki lewat puisi yang dibacakannyanya secara live melalui siaran televisi Jerman, ZDF.

Deutsche Welle melaporkan, dalam tayangan ZDF itu, sambil duduk di depan bendera Turki dan potret Erdogan, Böhmermann menuduh presiden Turki berhubungan seks dengan kambing dan domba. Böhmermann juga menuduh bahwa Erdogan gemar, dalam kata-katanya, "Menindas minoritas, menendang Kurdi, dan menonjok orang-orang Kristen saat menonton vide porno anak-anak.”

Baca juga:

Buruk Erdogan, Gulen Dibelah

Selamat Datang Sultan Erdogan!

Namun, alih-alih membuat orang jeri, tekanan kepada Böhmermann justru memicu gelombang kritik terhadap Erdogan. Sebelumnya sangat sedikit mungkin yang peduli dengan penampilan Böhmermann di ZDF. Tetapi karena kemarahan Erdogan, semakin banyak orang yang tahu, atau ingin tahu.

Ia, berikut pula puisinya, menjadi liputan berita global. Bahkan jurnalis dan penulis Inggris Douglas Murray mengadakan kompetisi untuk menemukan puisi yang paling menjijikkan dan menghina yang ditujukan kepada Erdogan. Pemenang kompetisi ini akan mendapat hadiah sebesar 1.000 poundsterling. Jumlah yang tidak bisa dibilang kecil untuk sepotong puisi.

Pemenang kompetisi puisi meledek Erdogan adalah Boris Johnson, orang yang pernah menjadi Walikota London selama dua periode (2008-2016).

Boris menulis begini: "There was a young fellow from Ankara/ Who was a terrific wankerer/ Till he sowed his wild oats/ With the help of a goat/ But he didn’t even stop to thankera."

Dengan segala kejadian di atas, sebagai "efek Streisand" atau bukan, para simpatisan Megawati atau kader PDIP perlu berhati-hati jika ingin memperpanjang pelaporan kepada Dandhy Dwi Laksono. Alih-alih menyetop informasi negatif yang terjadi di era kepemimpinan Megawati, informasi-informasi itu sangat mungkin malah semakin masif beredar dan tersebar.

Baca juga artikel terkait SENSOR atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS