tirto.id - Fadli Rahim (33 tahun) tidak menyangka jika unggahannya di grup LINE membuatnya dijebloskan ke penjara. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gowa itu divonis 8 bulan penjara karena dianggap menghina Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo. Ibunda Fadli juga terkena imbas. Wanita paruh baya yang berprofesi sebagai guru itu dimutasi ke sekolah kecil di pelosok pegunungan yang berjarak 30 kilometer dari rumahnya.
Tindakan Fadli memang sepele. Ia mengunggah kritikan tentang sistem pemerintahan Bupati Gowa di grup LINE yang berisi tujuh orang alumnus SMU 1 Sungguminasa. Unggahan Fadli itu ternyata diteruskan hingga di luar grup dan menjadi viral sebelum akhirnya dipermasalahkan oleh Bupati Gowa.
Hidup Fadli langsung jungkir balik gara-gara unggahannya di grup kecil. Hal paling menyedihkan, ibunda Fadli yang tidak tahu apa-apa harus ikut menanggung akibatnya. “Jempolmu harimaumu”. Ia tentu tidak membayangkan jika unggahannya via media sosial menyebabkan keluarganya menderita.
Fadli merupakan salah satu korban dari Undang-undang (UU) No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE sedianya lahir untuk melindungi masyarakat Indonesia dari kejahatan digital dan pencurian data di internet. Sayangnya, implementasi UU ini banyak mengalami pergeseran fungsi. UU ITE justru kini menjadi salah satu momok yang menakutkan terutama berkaitan dengan kebebasan berpendapat di internet.
Indeks Demokrasi Indonesia
UU ITE merupakan hasil kerja kolektif dari berbagai kementerian seperti kementerian perhubungan, kementerian perindustrian, dan kementerian perdagangan. Penyusunan naskah RUU ITE merupakan hasil kerja sama pemerintah dengan tim dari Universitas Padjajaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI). Pada 25 Maret 2008, DPR menyetujui RUU ITE menjadi UU ITE.
Implementasi UU ITE ini ternyata memberikan dampak pada demokrasi di Indonesia. Sejak pemberlakuannya, muncul kasus-kasus pembungkaman kebebasan berpendapat di internet yang dijerat dengan UU ITE. Inilah yang membuat publik merasa gundah.
Data Democracy Index pada 2014 menunjukan Indonesia berada pada peringkat 49 dari 167 negara dengan skor total 6,95. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat demokrasi Indonesia antara lain electoral process and pluralism (7,33), functioning of government (7,14), political participation (6,67), political culture (6,25) dan yang paling penting civil liberties (7,35). Salah satu penyebab rendahnya Index Democracy Indonesia karena banyaknya kasus pembungkaman kebebasan berpendapat.
Sementara menurut Pers Freedom Index, yang disusun oleh Reporters Without Border (RWB), pada 2015 Indonesia berada di peringkat 138 dari 180 negara indeks berdasarkan kebebasan pers dengan skor 40,75. Posisi Indonesia berada di bawah Zimbabwe, Kamerun, dan Liberia. Meski demikian, secara umum Indonesia masih memberikan ruang advokasi terhadap korban UU ITE.
RWB menyusun Indeks Kebebasan Pers dunia yang mengukur performa 180 negara di dunia. Kriteria yang disusun termasuk pluralisme media dan independensi, penghormatan terhadap kebebasan dan keselamatan jurnalis. Salah satu yang menjadi poin penting advokasi RWB adalah kebebasan berpendapat di Internet. Indonesia memiliki nilai rendah dalam Indeks Kebebasan Pers karena maraknya pemenjaraan akibat pendapat di Internet.
Kasus Kasus ITE
Jauh sebelum kasus Fadli, publik untuk pertama kalinya mengenal UU ITE ketika kasus Prita Mulyasari mencuat pada 2009. Ibu dua anak ini harus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang gara-gara surat elektroniknya tentang pelayanan Rumah Sakit (RS) Omni Internasional Alam Sutera menyebar.
Prita menumpahkan unek-unek tentang layanan RS Omni melalui surat elektronik. Entah bagaimana, surat elektronik itu menyebar dari milis ke milis hingga menjadi viral. RS Omni berang dan melaporkan Prita atas tuduhan pencemaran nama baik. Prita dijerat dengan dengan tiga dakwaan. Pertama, Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU ITE, juga pasal 310 ayat (2) dan pasal 311 ayat (1). Pengadilan Negeri Tangerang memvonis Prita enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Prita juga didenda Rp 204 juta. Kasus Prita menyedot perhatian publik. Masyarakat merasa iba terhadap nasib ibu dari dua anak yang masih kecil-kecil itu sehingga sempat muncul gerakan “Koin untuk Prita”.
Kasus Prita berakhir bahagia. Majelis Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) membebaskan Prita dari seluruh dakwaan atau bebas murni. Bukti-bukti baru yang diajukan menunjukkan bahwa surat elektronik yang dikirim Prita bukan bentuk pencemaran nama baik.
Korban lain dari UU ITE selanjutnya adalah Nazriel Irham atau yang dikenal sebagai Ariel. Vokalis grup band Noah itu terjerat UU ITE pada 2010. Ia dianggap bertanggung jawab membuat dan menyebarkan video rekaman pornografi adegan persenggamaannya dengan sejumlah dua wanita pesohor. Rekaman itu beredar di internet dan Ariel dianggap bertanggung jawab. Dalam proses persidangan, Ariel mengaku tak pernah mengedarkan rekaman video itu kepada siapapun.
Ariel dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang menyatakan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Hakim memvonis Ariel 3,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta. Ariel akhirnya menjadi penghuni rutan Kebun Waru, Bandung setelah sebelumnya sempat menghuni ditahan di Mabes Polri dan Lapas Sukamiskin. Pada prosesnya, Ariel hanya dipenjara 2 tahun 1 bulan.
Kasus lain yang sempat menjadi viral adalah unggahan Florence Sihombing di tahun 2014. Mahasiswa pascasarjana Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada itu juga dijerat UU ITE karena dianggap menghina Yogyakarta. Peristiwa bermula dari ungkapan kekesalan Florence saat mencoba menyerobot antrean di SPBU, tetapi dicegah. Ia mengungkapkan kekesalannya dengan mencerca masyarakat Yogya.
Ungkapan kekesalan Florence di Path itu kemudian menyebar di jejaring sosial. Flo dicerca habis-habisan di jejaring sosial. Ia akhirnya meminta maaf kepada masyarakat dan Raja Keraton Sri Sultan Hamengkubuwono X. Meski sudah meminta maaf, tetapi Flo tetap harus menjalani proses hukum. Flo juga harus mendekam di penjara meski kemudian mendapatkan penangguhan penahanan.
Florence dijerat dengan pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 1, dan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang ITE. Ia dinyatakan bersalah dan divonis 2 bulan penjara dengan masa percobaan selama 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta. Florence juga didenda Rp 10 juta subsider 1 bulan penjara.
Kasus lain dialami oleh Wahyu Dwi Pranata, mahasiswa jurusan Teknik Elektro Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Pada tahun 2013, Wahyu dipaksa mengundurkan diri oleh kampusnya atau akan dijerat pasal pencemaran nama baik UU ITE. Pihak kampus menilai Wahyu terlalu kritis mengomentari kebijakan kampus melalui tulisannya di blog dan kanal Kompasiana. Salah satu tulisannya yang banyak dibaca yakni Kau Renggut Miliaran dari Kami Lalu Kau Perlakukan Kami Seperti Orang Miskin. Saat itu, ia langsung ditawari dua pilihan, dijerat kasus pencemaran nama baik dan UU ITE atau harus mengundurkan diri. Wahyu lalu memilih yang kedua.
Terus Meningkat
Kasus-kasus yang dijerat UU ITE semakin banyak. UU ITE yang paling banyak digunakan untuk menjerat kebebasan berpendapat di internet adalah pasal 27 ayat 3. Selama lima tahun terakhir, trennya meningkat pesat. Pada 2011, hanya tiga orang yang dijerat pasal 27. Angkanya meningkat lagi lagi tujuh orang pada 2012, lalu meningkat menjadi 21 orang pada 2013, dan naik lagi menjadi 41 orang pada 2014.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Direktur Eksekutif Information, Comunication, and Technology (ICT) Watch Donny Budi Utoyo mengatakan, sejak 2008 hingga 2015, ada 71 kasus pemidanaan pengguna internet akibat terjerat Pasal 27 atau 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selama 2014, ada 40 laporan kasus yang memidanakan pengguna internet dengan dasar dua pasal itu. Berdasarkan laporan Id.Techinasia, kenaikan pelaporan kasus pada tahun 2013 hingga 2014 sekitar 53 persen (41 kasus dari 72 kasus UU ITE).
Angka rata-rata kasus UU ITE hingga Oktober 2014 menunjukkan bahwa terdapat empat kasus yang dilaporkan per bulan. Sedangkan wilayah pelaporan kasus terjadi merata dari Aceh sampai ke Makassar.
Berdasarkan data yang diperoleh dari South East Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), sebanyak 92 persen kasus yang terjerat UU ITE dilaporkan dengan pasal defamasi atau pencemaran nama baik yang tertuang dalam pasal 22 ayat 3 UU ITE junto Pasal 45 UU ITE dan pasal 310-311 KUHP. Sisanya dilaporkan dengan pasal penistaan agama (5 persen) dan pengancaman (1 persen).
UU ITE dibuat dengan tujuan baik untuk melindungi masyarakat dari kejahatan digital. Sayangnya, UU ini kemudian banyak digunakan untuk hal-hal yang dikaitkan dengan pembungkaman atas kebebasan berekspresi. Padahal, kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam pasal 19, Deklarasi Universal HAM (DUHAM) PBB yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948.
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa ada batasan”.
Kebebasan bukan berarti tanpa batasan. Inilah fungsi kontrol yang harus dijalankan oleh pemerintah agar UU yang ada bisa memberikan batasan tanpa melanggar hak asasi manusia. UU ITE harus hadir untuk melindungi kepentingan publik, bukan menjadi alat untuk membungkam kreativitas dan kebebasan berekspresi. Untuk itu revisi terhadap undang-undang ini mendesak dilakukan untuk menunjukkan komitmen pemerintah terhadap demokrasi.
Pemerintah bukan tidak menyadari banyak kekurangan dari UU ITE ini. Untuk itu, pemerintah sudah mengajukan revisi UU ITE. Presiden Joko Widodo secara resmi sudah menyampaikan naskah RUU tentang perubahan atas UU ITE ke DPR melalui surat bernomor R-79/Pres/12/2015 tertanggal 21 Desember 2015.
Menkominfo Rudiantara menyatakan, revisi UU ITE difokuskan pada Pasal 27 ayat 3 terutama terkait pengurangan ancaman pidana pencemaran nama baik dari enam tahun menjadi empat tahun. Revisi juga untuk menegaskan bahwa pasal 23 ayat (3) merupakan delik aduan, sehingga harus ada laporan atau aduan dari korban pencemaran nama baik sebelum diproses oleh penyidik.
Revisi juga dilakukan terkait penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan yang sesuai sebagaimana proses yang diatur dalam hukum acara pidana. Tujuannya agar UU ITE sejalan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).