Menuju konten utama

Menginvasi Ukraina, Mengurung Rakyat Rusia di Dunia Maya

Penggunaan Virtual Private Network (VPN) di Rusia meningkat setelah Kremlin melakukan aksi blokir besar-besaran.

Menginvasi Ukraina, Mengurung Rakyat Rusia di Dunia Maya
Asap mengepul ke udara dari kebakaran yang menurut keterangan Kementerian Pertahanan Ukraina adalah kapal Rusia, ditengah serbuah Rusia terhadap Ukraina yang terus berlanjut, di pelabuhan Berdiansk, Ukraina, Kamis (24/3/2022). Gambar didapat dari media sosial. ANTARA FOTO/Kirillovka.ks.ua/Handout via REUTERS/HP/djo

tirto.id - Sesaat setelah invasi terhadap Ukraina dimulai pada 24 Februari 2022, Pemerintah Rusia segera melakukan pemblokiran situsweb/aplikasi yang dianggap tak sejalan dengan kehendak Kremlin. Ini membuat BBC, Instagram, dan 400-an situs berita daring seketika tak bisa diakses masyarakat Rusia.

Kecewa terhadap pemblokiran membuat pengguna Virtual Private Network (VPN) meningkat. Windscribe, perusahaan penyedia VPN bernama Psiphon, misalnya, mengaku kedatangan pengguna baru asal Rusia hingga 20 kali lipat, hingga melejitkan jumlah penggunanya menjadi 1,1 juta orang.

Namun, pengguna baru asal Rusia tak bisa merasakan VPN secara permanen. Mereka hanya bisa menggunakan dalam masa percobaan. Pertama ini terjadi karena VPN tak gratis. Dan sejak invasi dimulai, Amerika Serikat serta Uni Eropa melakukan serangan balik dengan memblokir sistem pembayaran ala Barat, memblokade Rusia dari penggunaan SWIFT, VISA, dan Mastercard, serta Google Pay dan Apple Pay. Hal ini membuat para pengguna VPN asal Rusia tak bisa membayar fasilitas yang hendak mereka gunakan untuk terbebas dari pemblokiran internet.

Kedua, Rusia tak hanya memblokir situsweb/aplikasi, tetapi juga VPN. Tercatat semenjak invasi dimulai, sekitar 20 VPN diblokir atas titah Vladimir Putin.

"VPN kami blokir setiap hari," tegas Alexander Khinshtein, Kepala Komite Kebijakan Informasi, Teknologi Informasi, dan Komunikasi Rusia melalui VK, Facebook ala Rusia, pada 15 Maret 2022 lalu.

Masifnya pemblokiran situsweb/aplikasi serta VPN membuat masyarakat Rusia benar-benar terkurung di dunia maya. Mereka hanya dapat mengakses fasilitas yang direstui negara. Keadaan ini hampir tiga tahun lalu telah dirancang oleh Putin.

Internet Lokal ala Rusia

Vladimir Putin menandatangani peraturan tentang “kedaulatan internet” yang populer disebut Runet pada awal Mei 2019. Pemerintah Rusia menciptakan infrastruktur Domain Name System (DNS), sistem yang menyimpan informasi tentang nama host atau domain. Secara sederhana, seperti diwartakan CNN, Rusia hendak menciptakan jaringan internet sendiri yang mampu bekerja tanpa bantuan negara lain.

Ars Technica melaporkan, peresmian peraturan tersebut dilakukan sebagai bentuk keamanan nasional. Rusia khawatir negerinya diserang lewat siber. Selain itu, penciptaan “kedaulatan internet” dilakukan agar mereka dapat lolos jika menghadapi situasi genting: diadang atau diputus dalam mengakses internet dunia dengan alasan apa pun.

Hingga aturan ini ditandatangani, menurut BBC, ada 12 organisasi yang mengatur DNS dunia. Namun, tidak ada satu pun yang berasal dari Rusia. Rencananya, peraturan Runet akan mulai berlaku November tahun ini. Namun, mengingat penciptaan infrastruktur untuk mendukung Runet tidak mudah, perusahaan penyedia jasa telekomunikasi baru akan memberlakukan sistem ini secara efektif tahun depan.

Runet diperkirakan menelan biaya 20,8 miliar rubel atau sekitar Rp4,5 triliun. Hanya 23 persen warga Rusia yang setuju atas Runet, sisanya menolak.

Meski terdengar beralasan, apa yang dilakukan Rusia atas internetnya diduga sebagai bentuk sensor ketat, mirip sistem penyensoran internet ala Cina yang disebut The Great Firewall of China.

Sejak internet masuk ke Cina pada awal 1996, negara itu mulai membangun "tembok" untuk melakukan sensor terhadap internet. Penyensoran yang dilakukan pemerintah Cina mencakup pada pembicaraan netizen, mengendalikan situsweb asing, filterisasi konten, serta menurunkan laju lalu lintas internet dari Cina menuju luar negeri.

DNS yang hendak diciptakan oleh Rusia merupakan buku kontak bagi internet. Komputer dalam jaringan internet memiliki alamat unik yang membedakan antara satu dengan lainnya. Alamat itu bila menggunakan standar IPv4 memiliki rupa seperti 104.20.62.13. Pada standar IPv6, rupanya seperti 2400:cb00:2048:1::c629:d7a2.

Manusia pada umumnya sukar mengingat alamat itu. DNS kemudian memudahkannya. Ia menjadi jembatan antara bahasa manusia dengan bahasa komputer. Untuk mengunjungi komputer dengan alamat 104.20.62.13 yang merupakan alamat IP Tirto, pembaca hanya perlu mengetikkan “tirto.id” di address bar peramban yang digunakan.

Faktanya, masing-masing komputer atau server hidup tak hanya mengandalkan dirinya sendiri. Semua saling terkait.

Andrew Blum dalam Tubes: A Journey to the Center of the Internet (2012), mengatakan bahwa setiap komputer atau server atau situsweb atau konten di internet saling terkait. Situs berita, misalnya, yang mengunggah segala kontennya di Amazon Web Service, lalu memanfaatkan alat pelacakan dari Google Analytics, kemudian menautkan dengan sistem Facebook.

Menjaga agar segala kerja internet hanya dilakukan secara lokal, dalam hal ini dalam satu negara, sukar dilakukan.

“Setiap laman web diciptakan dari 1.000 hal berbeda. Jika kamu menjalankan situsweb di Rusia, kamu harus memastikan bagaimana mengamankan segala hal itu berasa dari mana saja,” tegas Blum.

Selain digunakan untuk melindungi pemerintah, kemungkinan Rusia juga ingin mengamankan konten-konten lokalnya agar tidak tergilas pemain asing. Intinya adalah proteksi seperti yang dilakukan Cina.

The Great Firewall of China sukses melambungkan pemain-pemain lokal. Di kategori mesin pencari, sebuah perusahaan bernama Baidu mencuat. Baidu terbilang sukses melayani pengguna internet Cina. Menurut data yang dipacak Statista, pada 2016 Baidu memperoleh pendapatan hingga $10,16 miliar. Namun, tentu Baidu berbeda dengan Google.

Sebagaimana diwartakan The Washington Post, saat seseorang melakukan pencarian di Baidu, ada sensor yang menghampirinya, terutama pada lema tertentu. Contohnya adalah “Tiananmen” dan “Tiananmen tank man”. Baidu akan secara otomatis menyeleksi kata-kata sensitif semacam itu.

Selain Baidu, ada pula perusahaan teknologi Cina lain yang akhirnya menjadi raksasa ketika warga tak bisa menikmati layanan dari perusahaan teknologi dunia. Pada 2016, Alibaba, e-commerce penantang Amazon, sukses mendulang pendapatan hingga $15,69 miliar.

Baca juga artikel terkait DAMPAK INVASI RUSIA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi