tirto.id - Pemerintah Rusia punya segudang cara mengontrol narasi di dalam negeri terkait krisis Ukraina. Tak lama setelah Vladimir Putin mengumumkan “operasi militer khusus” pada 24 Februari lalu, badan pengawas media Roskomnadzor memerintahkan seluruh kantor berita menghapus liputan yang mengandung kata kunci “serangan”, “invasi”, sampai “deklarasi perang”.
Roskomnadzor menyasar media-media independen seperti harian Novaya Gazeta (dinakhodai oleh jurnalis peraih Nobel perdamaian Dmitry Muratov), radio liberal Echo Moskvy (beroperasi sejak menjelang kejatuhan Uni Soviet), dan stasiun televisi Current Time (diproduksi oleh jaringan media Radio Free Europe/Radio Liberal dan Voice of America). Sedikitnya 10 kantor berita jadi target investigasi Roskomnadzor karena dianggap sudah merilis “informasi tidak akurat tentang penembakan kota-kota Ukraina dan korban sipil di Ukraina sebagai akibat dari aksi Angkatan Darat Rusia.”
Jika masih nekat mewartakan dengan cara sendiri, mereka bisa terancam denda sampai 5 juta rubel (sekitar Rp700 juta) atau pemblokiran jaringan.
Otoritas Rusia juga membatasi akses jaringan media internasional seperti BBC, Deutsche Welle, RFE/RL, sampai situs berita independen berbasis di Latvia, Meduza—meskipun warga Rusia masih bisa menjangkaunya dengan layanan VPN.
Facebook pun diblokir karena dianggap mendiskriminasi media sokongan pemerintah, terutama yang berbahasa Inggris seperti RT (Russia Today) dan Sputnik.
Cengkeraman pemerintah pada arus informasi semakin kuat setelah pada 4 Maret lalu parlemen Duma, yang didominasi partai penyokong Putin, United Russia, menyetujui RUU yang menyatakan bahwa penyebar “berita bohong” tentang aktivitas militer Rusia di Ukraina dapat diancam dengan hukuman penjara sampai 15 tahun.
Selain itu, siapa pun yang berani menentang segala tindakan militer atau menyerukan agar Rusia dijatuhi sanksi juga dapat dipenjara hingga 3 tahun. Kendati demikian, massa masih turun ke jalanan di lebih dari 140 kota untuk memprotes perang. Sampai minggu pertama Maret, total 13 ribu demonstran sudah ditahan aparat, catat lembaga hak asasi manusia OVD-Info.
Pada akhirnya outlet media independen pun berguguran. Novaya Gazeta memutuskan menghapus segala materi tentang konflik yang tidak sesuai dengan pernyataan resmi Kementerian Pertahanan. Ekho Moskvy berhenti siaran. Stasiun televisi independen terakhir yang kritis terhadap Kremlin, Dozhd (TV Rain), juga menghentikan operasional.
“Inilah akhir dari demokrasi di Rusia. Setiap kebebasan sudah hilang,” demikian kesimpulan presenter Dozhd, Ekaterina Kotrik, kepada BBC.
Sarana Propaganda Pemerintah
Bagaimana cara pemerintah Rusia menyebarkan narasi krisis Ukraina sesuai dengan versinya? Salah satunya melalui televisi, sumber informasi utama bagi 70 persen penduduk dan siaran beritanya paling dipercaya oleh 51 persen pemirsa (di Rusia, saluran TV yang populer memang dimiliki oleh pemerintah atau korporat yang akrab dengan Kremlin).
Sebelum pasukan Kremlin menyerang, media-media propemerintah sudah menyebarkan narasi kebencian dan kecurigaan terhadap hasrat ekspansionis Amerika Serikat dan aliansi militer NATO ke perbatasan Rusia. Akhir Januari silam, contohnya, Current Time mencoba merangkum retorika agresif tersebut. Pada intinya, kubu Barat dituding melancarkan provokasi di Donbas, yang berpotensi menyebar jadi konflik berskala luas.
Dari sudut pandang Kremlin, pasukan Ukraina sudah disokong NATO untuk mengeskalasi ketegangan di Donbas, kota yang sejak 2014 menjadi titik bentrok antara separatis sokongan Rusia dan pasukan pemerintah Ukraina. Kemerdekaan mereka baru saja diakui oleh pemerintah Rusia pada 21 Februari.
Para pewarta berita Rusia juga gemar melontarkan pernyataan yang meremehkan Ukraina, misalnya bahwa pasukan mereka “akan dikalahkan dalam sehari” dalam perang, atau “tidak susah” untuk dihancurkan. Ukraina dinilai sebatas “boneka Amerika” atau “bidak dalam permainan geopolitik asing.”
Setelah perang meletus, jaringan TV populer di bawah ketiak Kremlin memfokuskan siarannya pada aktivitas militer di Donbas. Dilansir dari BBC, siaran populer Channel One mengulas tentang foto atau video hoaks tentang perangkat militer Rusia yang dirusak oleh tentara Ukraina. Selain itu, narasi yang menyalahkan pihak Ukraina pun gencar disuarakan. Jaringan stasiun TV Rossiya menyebut ancaman terhadap rakyat Ukraina sebenarnya berasal dari kalangan “nasionalis” Ukraina sendiri, yang menggunakan warga sipil dan anak-anak sebagai tameng. Seorang presenter dari Rossiya 24 lantas menyamakan hal tersebut dengan strategi Perang Dunia II, sekaligus mengejek kubu Ukraina “fasis” dan “Neo-Nazi”.
Area di sekitar kota-kota besar Kyiv dan Kharkiv yang porak poranda setelah dibombardir pasukan Rusia justru luput dari siaran mereka. Ketika diungkit, misalnya oleh saluran TV milik BUMN energi Gazprom NTV, kekacauan tersebut malah disebut “bohong” belaka. Sementara menurut siaran Rossiya 1, serangan rudal di Kharkiv adalah akal-akalan Ukraina, yang dituding sengaja menghancurkan dirinya sendiri dan membohongi masyarakat di dunia Barat.
Meminjam pandangan jurnalis Alexey Kovalev dalam tulisan Februari silam di Foreign Policy, “Di mata media pemerintah Rusia, Ukraina adalah negara boneka AS dan NATO yang tidak punya agensi, dikuasai oleh neo-Nazi didikan CIA, serta suatu ancaman eksistensial—namun pada waktu sama juga dipandang sebagai negara sebangsa yang bandel.”
Kovalev mengamati bagaimana isu Ukraina selalu jadi bahan olok-olok dalam pemberitaan televisi pemerintah dan pro-Kremlin. Acara bincang-bincang kerap mengundang tamu orang Ukraina, yang fungsinya sebatas untuk dipermalukan. Mereka dihadirkan untuk mengungkit masalah domestik Ukraina seperti korupsi atau pembungkaman oposisi. Di layar kaca inilah, Kovalev menulis, “Kemajuan Ukraina selalu diremehkan, sedangkan setiap kegagalannya—baik yang nyata atau hanya dugaan—dirayakan dengan heboh.”
Belum puas mengangkangi dunia pertelevisian, pemerintah juga berusaha mengontrol arus informasi di level anak sekolah. Dilansir dari The Independent, sejak 1 Maret, Kementerian Pendidikan memerintahkan guru-guru agar memberikan kelas daring terkait konflik di Ukraina untuk murid kelas 7 sampai 11. Mereka akan menerima pelajaran tentang “kenapa misi pembebasan di Ukraina diperlukan.”
Para guru dibekali semacam buku panduan dari pemerintah yang terang-terangan menyebut invasi ke Ukraina “bukan perang”. Tertuang klaim bahwa “bangsa Ukraina belum ada sampai abad ke-20, dan pada 2014 mereka mengalami kudeta berdarah yang berdampak pada munculnya rezim boneka Amerika.”
Dikutip dari Al Jazeera, manual dari pemerintah juga menjelaskan bahwa rakyat di Donetsk dan Luhansk berusaha melawan pemerintah Ukraina yang pro-AS, namun malah jadi korban “genosida” selama delapan tahun terakhir. Maka dari itulah pemerintah Rusia berusaha mencegah kejadian tersebut melalui “operasi khusus untuk menjaga perdamaian.”
Guru-guru tidak punya pilihan selain menurut, bahkan diminta menunjukkan bukti video bahwa mereka sudah memberikan materi ajar tersebut. Di samping itu, orang tua murid dilaporkan menerima surat edaran dari sekolah agar mengawasi konsumsi media sosial anak-anaknya, terutama dari TikTok, di antaranya menjauhkan mereka dari pemakaian tagar #нетвойне atau 'katakan tidak untuk perang' dan gelombang protes yang “tidak aman”.
Seiring itu, Kementerian Pendidikan merilis video edukasi berdurasi 30 menit berisi “pelajaran tentang perdamaian dunia”. Pembawa acaranya adalah Sofia Khomenko, penyanyi cilik berusia 12 yang beberapa tahun silam menarik perhatian publik lewat lagu tentang rasa cinta terhadap Rusia. Acara tersebut berusaha menjelaskan ingar-bingar di Ukraina tak lebih dari “misinformasi”. Anak-anak lantas diajari pentingnya memverifikasi sumber informasi dari internet—yang tentu kini sudah dipenuhi oleh narasi versi Kremlin.
Iklim Media di Rusia
Sebelum invasi ke Ukraina menjadi dalih rezim Putin untuk menguasai lanskap media, sejak pertengahan dekade 1990-an sampai 2011 Rusia sebetulnya merupakan pasar yang subur untuk industri media independen, ujar Vasily Gatov, peneliti di Annenberg Center on Communication University of Southern California, dalam wawancara dengan Variety awal Maret kemarin.
Administrasi Putin memang berusaha membatasi pergerakan media independen, namun awalnya hanya fokus pada usaha memengaruhi editorial di industri televisi. “Kemudian, seiring dimulainya Protes Musim Dingin 2011, mereka memulai kebijakan berkelanjutan untuk mengambil kendali atas semua media massa,” papar Gatov.
Demo anti-Kremlin pada 2011 disebut-sebut yang terbesar sejak kejatuhan Uni Soviet. Aksi yang dipicu oleh kecurangan dalam pemilu legislatif ini ikut melambungkan nama aktivis sayap kanan dan pegiat antikorupsi Alexei Navalny, yang menyebut partai penyokong Putin sebagai “partai penjahat dan pencuri.”
Kremlin kian mewaspadai industri media terutama setelah konflik Ukraina meletus pada 2014. Salah satunya dengan mengesahkan undang-undang untuk membatasi kepemilikan saham oleh pihak asing maksimal 20 persen.
Masih mengutip Gatov, Kremlin kala itu juga memperluas pengaruhnya ke ranah internet. Mereka meminta perusahaan mesin pencari seperti Google, Yandez—yang diakses belasan juta warganet Rusia—agar menyensor layanan beritanya. Akibatnya, topik tentang perang hampir tak pernah muncul di sana.
Terlepas dari itu, segelintir media independen masih dapat ditemui di Rusia.
Bisakah iklim media Rusia hari ini disamakan dengan situasi era Soviet? Dilansir dari tulisan jurnalis Andrei Aliaksandraŭ untuk Index on Censorship pada 2015, selama era Soviet, terdapat badan khusus yang menyensor langsung buku, majalah, dan film. Namanya Direktorat Jenderal untuk Perlindungan Rahasia Negara di Pers, atau disebut Glavit. Tidak ada produk jurnalisme atau karya sastra yang bisa terbit sebelum dapat izin dari Glavit. Tujuannya tak lain untuk “melawan propaganda anti-Soviet” dan menyediakan informasi dari sudut pandang yang dianggap paling benar.
Setelah Soviet bubar, penyensoran media secara langsung oleh pejabat nyaris tidak ditemukan. Aliaksandraŭ mengutip temuan media independen Meduza yang menyatakanbahwa di Rusia hanya tercatat dua kasus. Pada 2006, seorang pejabat di kawasan Altay meminta media lokal agar menulis yang baik-baik saja tentang gubernurnya dan membatasi publikasi kritis, sementara pejabat lainnya pada 2011 ketahuan membentuk tim khusus untuk mengecek konten artikel berita lokal sebelum dipublikasikan. Mereka semua dijatuhi hukuman oleh pengadilan.
Masih dilansir dari artikel Aliaksandraŭ, penyensoran media secara langsung sebenarnya dilarang oleh konstitusi negara-negara pasca-Soviet. Kendati demikian, penyensoran tetap ada meskipun dalam bentuk berbeda.
Andrei Soldatov, editor laman berita Agentura.ru, menyampaikan pada Aliaksandraŭ bahwa topik-topik di televisi didikte langsung oleh Kremlin—yang memang menguasai jaringan stasiun TV utama. Pada waktu sama, dikte secara tidak langsung diarahkan kepada radio, koran, dan media daring, yang penyampaian beritanya harus melalui perantara editor atau pemilik media.
“Akibatnya, kami menghadapi penyensoran paling mengerikan: sensor mandiri, yakni ketika jurnalis berusaha menduga-duga bagaimana menyampaikan cerita dan memberikan penekanan dengan cara tertentu demi menyenangkan sang editor atau bos pemilik media,” ujar Soldatov.
Sementara pakar media independen Irada Guseynova masih menganggap ada ruang bagi jurnalisme kritis meskipun sempit. Ia memberi contoh: “Jika kalian masuk ke toko buku di Moskow, masih ada buku-buku tentang [Mikhail] Khodorkovsky, salah satu pengkritik besar Putin, atau publikasi lainnya yang kritis terhadap otoritas.” Guseynova juga menyebut rakyat Rusia kala itu masih bisa mengakses media-media independen, seperti TV Rain, publikasi Novaya Gazeta, dan radio Ekho Movsky.
Kalangan analis bertanya-tanya kenapa kenapa Putin sempat membiarkan segelintir media independen di atas berdiri (sampai akhirnya dibungkam hari ini lewat aturan yang represif). Melansir tulisan Ann Cooper untuk lembaga swadaya Committee to Protect Journalists (CPJ), diduga alasannya tak lain karena Putin ingin menciptakan kesan bahwa Rusia masih memberikan ruang bagi jurnalisme kritis dan independen, atau dengan kata lain demokratis.
Cooper juga sepakat dengan pandangan direktur eksekutif CPJ, Joel Simon, bahwa rezim Putin sebenarnya “tidak berusaha untuk melakukan kontrol media secara mutlak karena menyadari bahwa untuk melakukannya di era internet mereka perlu menutup masyarakatnya dari dunia.” Maka dari itulah Putin dan kawan-kawannya mencoba untuk “mengelola” media dengan metode yang di antaranya melibatkan “tuntutan-tuntutan terkait keamanan nasional, audit pajak yang bersifat menghukum, manipulasi iklan pemerintah.”
Masih melansir Cooper, cara Putin mengelola dan memanipulasi media memang luar biasa, di antaranya dengan menggelontorkan anggaran negara besar-besaran, terutama yang menjangkau audiensi di luar negeri seperti Sputnik dan RT. Sebagai contoh, sejak 2016, RT cabang AS dilaporkan sudah menerima pendanaan 100 juta dolar (nilainya hari ini sampai Rp1,5 triliun) dari pemerintah Rusia.
Kremlin bersikeras RT sama saja seperti jaringan berita internasional BBC atau France 24 yang menawarkan “pandangan-pandangan alternatif” di lanskap media yang didominasi perspektif Eropa atau AS. Kendati demikian, media sokongan pemerintah ini senantiasa dikritik karena sarat dengan disinformasi—sampai-sampai fungsinya dipertanyakan karena menyerupai misi agen rahasia era Soviet KGB.
Editor: Rio Apinino