Menuju konten utama

Maskapai Penerbangan Indonesia Tak Dilarang Terbang di Eropa Lagi

Peringkat keselamatan penerbangan Indonesia naik seiring angka kecelakaan yang menurun.

Maskapai Penerbangan Indonesia Tak Dilarang Terbang di Eropa Lagi
Sejumlah penumpang turun dari pesawat Wings Air ATR 72/600 di Bandara Wiriadinata, Tasikmalaya, Rabu (28/3/2018). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

tirto.id - Sektor perhubungan udara Indonesia punya catatan baru soal aspek keselamatan. Dalam dua tahun terakhir ini, penerbangan Indonesia berhasil mendapatkan pengakuan positif dari dunia internasional.

Pengakuan itu di antaranya ketika meraih kategori 1 dari Federal Aviation Administration (FAA) pada Agustus 2016. Dengan kategori itu, maskapai dalam negeri dinyatakan aman untuk terbang lagi ke wilayah udara AS.

Selain itu, hasil audit dari Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) yang dilakukan International Civil Aviation Organization (ICAO) terhadap keselamatan penerbangan Indonesia mencatatkan hasil positif.

Pada akhir 2017, ICAO mengumumkan skor keselamatan penerbangan Indonesia menembus 81,15 persen dari audit pada 2014 sebesar 45 persen, atau di atas rata-rata skor global sebesar 60 persen.

“Dengan hasil [USOAP] ini Indonesia masuk dalam peringkat ke-55 dari sebelumnya berada pada peringkat 151 di antara negara-negara Asia Pasifik,” kata Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan pada November 2017.

Dengan pengakuan FAA dan ICAO, bisa dibilang standar keselamatan penerbangan Indonesia sudah sesuai dengan standar internasional. Maskapai nasional pun juga dapat lebih percaya diri untuk bersaing dengan maskapai asing. Namun, untuk mendapatkan pengakuan dari otoritas penerbangan internasional itu tidaklah mudah. Butuh waktu hingga bertahun-tahun agar standar keselamatan penerbangan Indonesia diakui dunia luar.

Dalam perjalanannya, industri penerbangan Indonesia memang pernah memasuki masa-masa yang suram. Bahkan, media-media asing sempat membuat tulisan mengenai bahayanya naik maskapai Indonesia. Misalnya, Businees Insider Australiayang memuat tulisan dengan judul “This Is Why They Tell You Not To Fly On Airlines From Indonesia”. Artikel yang ditulis Alex Davies ini dimuat pada 2013.

Telegraphjuga pernah memuat ulasan yang berjudul “How dangerous is flying in Indonesia?” pada Agustus 2015. Ada lagi, Sydney Morning Geralddengan judul tulisan “Indonesian airlines rank lowest in world for safety” pada 2016.

Pemerintah Indonesia pun tidak tinggal diam. Pelan tapi pasti, standar dan rekomendasi yang ditetapkan ICAO terus dipenuhi. Dalam pelaksanaannya, pemerintah berkoordinasi dengan lembaga-lembaga pemerintah terkait, termasuk maskapai. Pada 20 Mei 2018, ICAO akhirnya memberikan penghargaan Council President Certificate (CPC) kepada Indonesia atas komitmennya meningkatkan keselamatan penerbangan sesuai dengan ICAO.

Apa yang membuat skor USOAP dari ICAO terhadap Indonesia meningkat tajam?

Pada laman resmi ICAO, dijelaskan bahwa USOAP adalah audit yang dilakukan oleh ICAO, selaku badan PBB yang fokus kegiatannya di bidang penerbangan sipil. Audit tersebut dilakukan untuk menilai kemampuan suatu negara dalam menerapkan sistem pengawasan keselamatan, dan memastikan agar standar keselamatan penerbangan dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku secara internasional.

Prosedur dan ketentuan yang dimaksud itu tertuang di dalam dokumen bernama Annex. Saat ini terdapat 19 Annex, di mana di dokumen tersebut terdapat ribuan standar dan rekomendasi untuk diterapkan di dunia penerbangan.

Ada delapan komponen yang diaudit ICAO dalam USOAP tersebut, yakni legislasi, organisasi, lisensi personel, kelaikudaran, investigasi kecelakaan, aerodrome, navigasi udara, dan operasi. Dari kedelapan komponen yang diaudit tersebut, area organisasi mencatatkan perbaikan yang signifikan dari 23,08 persen menjadi 69,23 persen. Disusul area lisensi personel dari 36,96 persen menjadi 75 persen.

Area investigasi kecelakaan dari 32,35 persen menjadi 63,73 persen, aspek operasi dari 46,32 persen menjadi 88,24 persen. Aspek navigasi dari 56,25 persen menjadi 86,36 persen, aerodrome dari 53,15 persen menjadi 73,43 persen, kelaikudaraan dari 68,98 persen menjadi 91,44 persen, dan legislasi dari 57,14 persen menjadi 71,43 persen.

“Pertumbuhan terbesar ada di area organisasi, yakni terkait sistem penerbangan sipil, fungsi pengawasan keselamatan, kualifikasi personel teknis dan training,” kata Sigit Widodo, Kepala Bagian Humas Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub kepada Tirto.

Contoh perbaikan atau pemenuhan standar dari ICAO yang berhasil dilakukan Indonesia, salah satunya adalah mendirikan Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau AirNav Indonesia pada 2013.

Pelayanan navigasi udara sebelum 2013 diatur oleh Angkasa Pura (AP) I, AP II dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJPU). Hal ini tentu bertentangan dengan amanat ICAO: layanan navigasi udara harus diatur oleh satu lembaga. Contoh lainnya adalah membuat analisis beban kerja inspektur penerbangan guna mengetahui kebutuhan inspektur. Pada 2016, ICAO menemukan bahwa Indonesia belum memiliki analisa beban kerja inspektur.

Padahal, peran inspektur penerbangan sangatlah penting dalam meningkatkan keselamatan angkutan udara. Untuk itu, analisis beban kerja inspektur harus ada agar rasio antara inspektur dan jumlah pesawat yang ada dapat dijaga kecukupannya. Dengan jumlah pesawat yang ada di Indonesia saat ini, jumlah tambahan kebutuhan inspektur diperkirakan mencapai 600 orang.

Infografik USOAP

Naik Peringkat Versus Jumlah Kecelakaan

Data menunjukkan kenaikan peringkat keselamatan penerbangan Indonesia memang berbanding lurus dengan jumlah kecelakaan pesawat. Berdasarkan data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), tren kecelakaan angkutan udara terus menurun dalam 5 tahun terakhir ini.

Jumlah kecelakaan pada 2012 tercatat 13 kasus dengan korban 58 meninggal dunia. Tahun berikutnya, menurun menjadi 9 kasus dengan 2 korban meninggal. Jumlah kecelakaan pada 2014 menurun menjadi 8 kasus, hanya saja korban meninggal mencapai 169 orang.

Pada 2015, jumlah kecelakaan bertambah menjadi 11 kasus dengan 65 korban meninggal. Kecelakaan bertambah pada 2016 menjadi 19 kasus dengan 30 korban meninggal dunia. Namun, pada 2017 menjadi tahun yang baik bagi penerbangan sipil Indonesia, jumlah kecelakaan menurun menjadi hanya 7 kasus, dan tidak terdapat korban yang meninggal (zero passenger fatality). Pada 2017, ada 22 korban luka-luka, tapi karena faktor cuaca buruk.

“Ini artinya, kerja keras pemerintah, maskapai dan pihak terkait lainnya untuk memenuhi standar dari ICAO tidak sia-sia. Angka kecelakaan mampu ditekan,” tutur Gerry Soejatman, Konsultan Penerbangan CommunicAvia kepada Tirto.

Ia berharap standar keselamatan penerbangan yang membaik membuat pemerintah Indonesia lebih percaya diri ke depannya, terutama apabila terjadi kecelakaan pesawat yang merenggut korban jiwa. Menurutnya, tragedi jatuhnya Indonesia AirAsia pada 2014 sempat belum membuat pemerintah berbenah maksimal. Di atas kertas, jumlah kecelakaan pesawat meningkat pada 2015-2016.

“Kecelakaan itu bisa datang kapan saja. Saya berharap pemerintah lebih confidence dengan audit USOAP yang positif itu, terutama ketika menghadapi situasi buruk. Jangan latah, dan membuat buruk lagi,” tegas Gerry.

Baca juga artikel terkait MASKAPAI PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra