tirto.id - Kerajaan Kutai Kertanegara berdiri di wilayah hilir Sungai Mahakam (kini Desa Kutai Lama) sekira 1300. Semula, ia merupakan kerajaan Hindu. Hingga, monarki ini mengalami islamisasi sejak abad ke-16.
Jejak proses islamisasi di Kerajaan Kutai Kartanegara dapat kita tilik dalam naskahSurat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara atau lazim dikenal dengan nama singkat Salasilah Kutai.
Seturut penelusuran Muhammad Sarip dan Nabila Nandini dalam artikelnya yang terbit di jurnal Yupa(vol. 5, no. 1, 2021, PDF), Salasilah Kutaiditulis dalam aksara Arab-Melayu oleh Khatib Muhammad Thahir. Naskah kronik ini diselesaikan pada 30 Rabiul Awal 1265 Hijriah atau 24 Februari 1849.
“Sekurang-kurangnya terdapat tujuh salinan naskah Salasilah Kutai tulisan tangan tempo dulu. […] Salinan pertama terdapat di Berlin, yang selesai ditulis oleh Khatib Muhammad Thahir pada 1849,” tulis Sarip dan Nandini.
Selain itu, setidaknya masih ada enam salinan lagi yang ditulis oleh beberapa penulis berbeda. Karenanya, penjelasan tentang proses islamisasi di Kutai Kertanegara pun memiliki beberapa versi.
Menurut Sarip dan Nandini yang mengutip analisis ahli susastra Melayu Constantinus Alting Mees, penguasa Kutai Kertanegara yang pertama memeluk Islam adalah Raja Makota (1525-1600). Konversi itu terjadi pada 1575.
Proses Islamisasi di Kutai Kertanegara tidak bisa dilepas dari peran dua mubalig dari negeri Minangkabau, yaitu Tuan di Bandang dan Tuan Haji Tunggang Parangan. Sebelum singgah di Kutai Kartanegara, mereka lebih dulu berdakwah di Makasar.
Menurut Salasilah Kutai, Tuan Haji Tunggang Parangan-lah yang mengislamkan Raja Makota. Sementara itu, Tuan di Bandang tidaklah lama berada di Kutai Kertanegara karena memilih meneruskan dakwah di Makasar.
Untuk mendukung syiar Islam di Kutai Kertanegara, Tuan Haji Tunggang Parangan kemudian meminta Raja Makota membangun masjid. Masjid pertama ini dibangun sekira 1600. Namun, jejaknya kini sudah tak tersisa lagi.
“Tentu saja masjid ini tidak atau belum ditemukan tinggalan arkeologinya pada abad ke-21 karena bahan material dari kayu sudah lazim mengalami pelapukan, kalau tidak dibongkar sama sekali untuk diganti yang baru atau dipindah ke lokasi lain,” tulis Sarip dan Nandini.
Masjid Shiratal Mustaqiem
Meski masjid pertama itu hilang jejaknya, Kutai Kertanegara masih punya tinggalan masjid lain yang tak kalah penting nilai sejarahnya. Itulah Masjid Shiratal Mustaqiem yang terletak di Kota Samarinda.
Masjid ini diperkirakan mulai dibangun pada 1881 atas prakarsa Sayyid Abdurahman Assegaf, seorang saudagar asal Pontianak.
Singkat cerita, Sayyid Abdurahman kemudian menjadi tokoh terkemuka di Samarinda. Lain itu, ini juga dikenal sebagai pribadi yang tekun dan taat beragama. Kabar tentanya lantas menarik perhatian Sultan Kutai Kertanegara Aji Muhammad Sulaiman.
Pada 1880, Sultan Aji Muhammad Sulaiman mengangkatnya sebagai Kepala Adat dan Agama di Samarinda. Seturut Ridwan Tasa dkk. dalam Kilas Sejarah Masjid Shirathal Mustaqiem Samarinda (2004, hlm. 25), sang Sultan juga memberinya gelar Pangeran Bendahara.
Setahun kemudian, Sayyid Abdurahman mengajak tokoh-tokoh masyarakat Samarinda mendirikan masjid guna mendukung syiar Islam. Dia pun juga mengusulkan agar masjid itu didirikan di lahan yang biasa dijadikan arena judi dan sabung ayam di Samarinda Seberang.
Muhammad As’ad dalam artikelnya yang terbit di jurnal Al-Qalam(2013, PDF) menyebut Sayyid Abdurahman dan para tetua tidaklah serta-merta menggusur lahan itu. Mereka terlebih dulu melakukan pendekatan pada masyarakat sekitar dan pihak-pihak yang berkepentingan. Pendekatan halus itu pun berhasil.
“Pada tahun 1881, 4 tiang utama (soko guru) mulai dipancang dan pembangunan gotong royong mulai dilaksanakan,” tulis As’ad.
Empat tiang utama Masjid Shiratal Mustaqiem dikumpulkan oleh empat kepala adat terkemuka di Samarinda. Mereka adalah Kapitan Jaya, Petta Loloncong, Usulonna, dan tentu saja Sayyid Abdurahman. Semuanya merupakan kayu ulin yang khas Kalimantan dan terkenal kuat.
Pembangunan Masjid Shiratal Mustaqiem diperkirakan selesai secara keseluruhan pada 1891. Tarikhnya bertepatan dengan tahun 1331 Hijriyah sebagaimana dipahatkan pada mimbar masjid ini. Sultan Aji Muhammad Sulaiman disebut datang langsung ke Samarinda dan menjadi imam salat pertama di sana.
Masjid Khas Melayu Kalimantan
Masjid klasik yang berdiri di tepian Sungai Mahakam ini secara umum dibangun dengan langgam Melayu. Beberapa ciri khas Melayu, seperti yang dijelaskan Tawalinudin Haris dalam Masjid-Masjid di Dunia Melayu (2010, hlm. 291-5), melekat di masjid ini. Di antaranya berdenah persegi, beratap tumpang, memiliki kemuncak, dan dibangun diatas pondasi masif dan pejal.
Kekhasan lain yang tampak dari Masjid Shiratal Mustaqiem adalah kedekatannya dengan perairan. Ini menjadi tengara budaya masyarakat Melayu Kalimantan yang memang lekat dengan budaya sungai. Dari segi ilmu fikih pun, hal ini punya manfaat praktis.
“Penempatan masjid umumnya di bantaran Sungai Mahakam karena faktor kedekatan dengan sumber air. Hal ini mengingat tata cara ibadah muslim dimulai dengan wudu yakni proses penyucian diri menggunakan air,” tulis Sarip dan Nandini dalam artikel ilmiahnya.
Lantas, yang menjadikan masjid ini khas Kalimantan adalah bahan utama konstruksinya yang berupa kayu ulin (Eusideroxylon zwageri). Di awal pembangunannya, kayu ulin tersebut diperoleh dari empat kampung, yaitu Kampung Karang Mumus, Dondang, Kutai Lama, dan Loa Haur.
Masjid Shiratal Mustaqiem memiliki atap tumpang tiga dengan ruang utama berdenah bujur sangkar berukuran 20,23 x 20,23 meter. Masjid ini merupakan bangunan utama dari kompleks. Di sekitarnya kita bisa mendapati beberapa bangunan pendukung, di antaranya menara, rumah kaum, tempat wudhu, dan tempat pembelajaran Al-Quran.
Penulis: Ary Sulistyo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi