tirto.id - Selama 2022 lalu, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melakukan revitalisasi Masjid Jami’ Sultan Lingga. Pekerjaan revitalisasi itu akhirnya rampung pada 26 Desember 2022. Peresmian pembukaan masjid kuno itu lantas dihelat pada 12 Januari 2023 lalu.
Masjid cagar budaya yang terletak di Pulau Lingga itu pun kini tampak lebih menawan. Gubernur Kepulauan Riau H. Ansar Ahmad mengungkapkan bahwa salah satu tujuan revitalisasi adalah untuk mempercantik rupa masjid bersejarah itu. Karenanya, Pemerintah Kepri sengaja mendatangkan berbagai bahan terbaik untuk pekerjaan ini.
Selain itu, yang tak kalah penting, proyek revitalisasi itu juga bertujuan untuk semaksimal mungkin mengembalikan masjid ke bentuknya yang asli.
"Untuk itu saya pun minta agar atap masjid yang telah diganti dengan spandek untuk dikembalikan menggunakan genteng tanah liat. Begitu pula lantai halaman yang kita ganti dengan marmer" ujar Ansar Ahmad sebagaimana dikutip Kompas.com.
Kini, Masjid Jami’ Sultan Lingga makin siap sebagai destinasi wisata religi dan cagar budaya andalan Kepulauan Riau—bersama Masjid Raya Sultan Riau Penyengat.
Rampungnya revitalisai Masjid Jami’ Sultan Lingga tentu kabar yang menggembirakan. Pasalnya, masjid kuno ini merupakan tinggalan penting Kesultanan Melayu Riau-Lingga dalam konteks syiar Islam di dunia Melayu.
Kesultanan Riau-Lingga dan Syiar Islam
Kesultanan Riau-Lingga merupakan salah satu kerajaan Melayu Islam yang didirikan di Pulau Lingga. Kesultanan ini dibentuk pada 1824 usai pecahnya Kesultanan Johor-Riau akibat Traktat London (perjanjian antara kolonial Inggris dan Hindia Belanda).
Kesultanan Riau-Lingga didirikan oleh Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke-17 dengan wilayah kekuasaan yang mencakup Provinsi Kepulauan Riau sekarang. Semula, kesultanan ini berpusat di Tanjung Pinang, lalu pindah ke Pulau Lingga.
Pada masanya, menurut para sejarawan, Kesultanan Riau-Lingga tak hanya memainkan peran politik di dunia Melayu-Islam, tapi juga dalam pengembangan bahasa Melayu Riau sebagai bahasa standar yang kemudian berkembangmenjadi bahasa Indonesia.
“Pada masa kesultanan ini bahasa Melayu menjadi bahasa besar sejajar dengan bahasa-bahasa lain di dunia. Tokoh besar di belakang perkembangan bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-Bugis,” papar Heri Sunandar & Husni Thamrin dalam Aspek Sosio Politis Naskah dan Arkeologis (2015, hlm. 188).
Kesultanan Riau-Lingga juga menjadi salah satu pusat kegiatan pembelajaran Islam di kawasan Melayu. Para ulama berdatangan ke Pulau Penyengat yang merupakan pusat pengajaran dan syiar keIslaman di abad ke-19.
Lain itu, penganut tasawuf juga tumbuh subur di Kesultanan Riau-Lingga. Banyak masyarakat kesultanan yang menjadi pengikut tarekat Naqsabandiyah.
“Pada waktu Raja Ali bin Raja Ja’far menjabat Yang Dipertuan Muda ke-8 pada 1844, tarekat Naqsyabandiyah berkembang di Penyengat dan Lingga. Praktik tarekat di Penyengat dipusatkan di Masjid Raya, sedangkan pusat tarekat di Lingga ditempatkan di Robat, Daik, Lingga,” tambah Achmad Syahid dalam Sufistikasi Kekuasaan pada Kesultanan Riau-Lingga Abad 18-19 M(2005, hlm. 311).
Masjid Jami’ Sultan Lingga
Masjid Jami’ Sultan Lingga dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah III Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke-16(1787-1812), sekira masa awal sang sultan memindahkan pusat kesultanan dari Hulu Riau di Pulau Bintan ke Pulau Lingga.
Di Pulau Lingga, Sultan Mahmud Syah III memusatkan kegiatan pemerintahannya di Daik. Maka di sinilah dia membangun masjid jami’.
Terdapat dua versi sejarah terkait tarikh pasti pendirian Masjid Jami’ Sultan Lingga ini. Di inskripsi yang terdapat di mimbar masjid, tertulis tanggal 12 Rabiul Awal 1212 H (1792 M). Sejarawan mengasumsikan tanggal ini sebagai tahun dimulainya pembangunan masjid. Versi kedua menyebutkan bahwa pembangunan Masjid Jami’ Sultan Lingga dimulai sekitar 1801.
Sementara itu, data dari “Daftar Pemutakhiran Data Cagar Budaya Kab. Lingga” (2018, PDF) menyebut, “Sumber tempatan menyebutkan bahwa bangunan mesjid ini dimulai sekitar tahun 1803, di mana bangunan aslinya seluruhnya terbuat dari kayu.”
Masjid ini kemudian difungsikan sebagai masjid raya yang digunakan untuk sholat lima waktu, sholat Jumat, dan sholat hari raya serta sholat sunah lainnya. Pada mulanya, bangunan awal masjid kayu ini hanya mampu menampung 40 orang. Masjid ini lalu diperbarui menjadi bangunan beton bersamaan dengan dimbaruan padaMasjid Raya Sultan Riau Penyengat.
Selain bangunan masjid utama, di dekatnya juga terdapat situs Makam Sultan Mahmud Syah III. Abdul Malik dkk. dalam Sultan Mahmud Riayat Syah: Pahlawan Besar Gerilya Laut dari Lingga (2017, hlm. 68) menyebut setelah wafatnya, Sultan Mahmud Syah III lantas diberi gelar anumerta “Marhum Masjid Lingga”.
Setelah diperbarui menjadi bangunan beton, kapasitas Masjid Jami’ Sultan Lingga pun mengalami peningkatan. Kini, ia mampu menampung hingga 400 orang jemaah.
Selain sebagai tempat sembahyang, Masjid Jami’ Sultan Lingga juga merupakan tempat digalakkannya kegiatan pembelajaran agama, seperti baca-tulis Al-Quran dan bahasa Arab-Melayu. Di luar urusan ibadah dan pembelajaran, masjid kuno ini juga sempat difungsikan sebagai pusat kegiatan pemerintahan kesultanan sebelum dibangunnya Istana Damnah.
Para pengikut tarekat Naqsabandiyah juga memiliki ikatan dengan masjid ini. Tarekat Naqsabandiyah berkembang ketika Kesultanan Riau-Lingga diperintah oleh Yang Dipertuan Muda Raja Ali Haji (1808–1873). Di masjid inilah, para pengikut tarekat Naqsabandiyah dibaiat.
Penulis: Ary Sulistyo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi