tirto.id - Bola panas polemik Undang-Undang Kesehatan usai disahkan DPR RI pada 11 Juli 2023 terus bergulir. Pasal-pasal yang dinilai kontroversial masih menjadi sorotan berbagai pihak yang menentang kehadiran UU Kesehatan, salah satunya terkait pendayagunaan tenaga medis dan kesehatan warga negara asing (WNA).
Pendayagunaan tenaga medis dan kesehatan asing dikhawatirkan menimbulkan masalah baru bagi sektor kesehatan di Indonesia, bila tidak diiringi regulasi, pengawasan dan rencana yang terukur.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI), salah satu organisasi profesi bidang kesehatan yang turut mengkritisi kebijakan ini, menilai pengadaan dokter asing harus dilakukan dengan penyetaraan kompetensi dan proses adaptasi yang harus diatur secara ketat. Hal ini diperlukan lantaran demografi penyakit dan teknologi medis yang ada di Indonesia bisa sangat berbeda di negara dokter asing tersebut berasal.
“Jadi harus melakukan uji kompetensi sama seperti dokter-dokter di Indonesia dan harus melalui proses adaptasi agar men-adjust skill mereka di sini,” kata pengurus PB IDI dr. Iqbal Mochtar saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (18/7/2023).
Iqbal sedikit bersyukur di draf terakhir RUU Kesehatan yang akhirnya disahkan, sudah terdapat aturan uji kompetensi dan persyaratan kompetensi bagi dokter asing. Menurut Iqbal awal mulanya aturan tersebut tidak ada dan akhirnya diakomodasi berkat dorongan masukan dari organisasi profesi.
“Jadi draf sebelumnya disebutkan bahwa persyaratan dokter asing ke Indonesia itu adalah telah memiliki pengalaman praktik selama lima tahun dan bisa masuk ke Indonesia tanpa uji kompetensi dan hanya menyertakan portofolio dan dokumen tertentu,” ungkapnya.
Menurut Iqbal, posisi organisasi profesi – seperti IDI dan lainnya – sama sekali tidak menolak masuknya dokter asing ke Indonesia. Hal ini disebabkan, masuknya dokter asing merupakan keniscayaan yang tak bisa ditolak dan sudah dilakukan banyak negara.
Permasalahan akan terjadi bila tidak ada aturan ketat dan tujuan jelas untuk mendatangkan dokter asing ke Indonesia.
“Karena kalau kita membuka keran seluas-luasnya akan ada banyak dokter dari berbagai negara yang masuk ke sini,” ungkap Iqbal.
Perbedaan Bahasa Jadi Kekhawatiran
Muncul kekhawatiran bila dokter asing sudah berada di Indonesia, salah satunya yaitu masalah komunikasi antara si dokter. Tak hanya dengan pasien, tetapi juga dengan tenaga kesehatan lainnya.
Masalah komunikasi itu bisa bermula dari kemampuan berbahasa Indonesia. Menurut Iqbal hal itu akan menjadi kendala bagi dokter asing yang akan bekerja dan melayani masyarakat Indonesia.
“Masyarakat kita beda dengan Singapura dan Malaysia yang sudah tahu bahasa Inggris. Sehingga dokter dari manapun bisa mudah memahami adaptasi. Sehingga komunikasi menjadi alat paling vital, sehingga mutlak mereka harus tahu bahasa Indonesia,” jelas Iqbal.
Menurut Iqbal, hingga saat ini pemerintah belum menyatakan kewajiban mampu berbahasa Indonesia menjadi syarat adaptasi tenaga kesehatan dan medis asing berpraktik di Indonesia. Suatu kesalahan besar bila pemerintah mengabaikan persyaratan bisa berbahasa Indonesia bagi dokter asing yang ingin berpraktik di sini.
Masalah komunikasi ini diamini Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah. Menurut Harif menyatakan dari sisi pelayanan, komunikasi merupakan hal yang sangat penting.
Apalagi kerjasama antara dokter asing dan perawat dalam negeri dalam menangani pasien, harus terjalin dari komunikasi yang saling memahami. Bila tidak, pasien justru menjadi korban dari kesalahan berkomunikasi ini.
“Kalau dokter asing tidak diwajibkan berbahasa Indonesia maka akan menjadi hambatan yang bisa saja yang jadi korban pasien. Karena komunikasi intens antara dokter dan perawat menentukan kelancaran proses pelayanan,” ujar Harif dihubungi reporter Tirto, Selasa (18/7/2023).
Dalam draf terakhir RUU Kesehatan, tercantum pada Pasal 248 sampai 255 soal regulasi pendayagunaan tenaga kesehatan dan medis warga negara asing (WNA).
Pada Pasal 248 ayat (1) disebutkan bahwa “Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang dapat melaksanakan praktik di Indonesia hanya berlaku untuk Tenaga Medis spesialis dan subspesialis serta Tenaga Kesehatan tingkat kompetensi tertentu setelah mengikuti evaluasi kompetensi”.
Adapun terkait persyaratan berbahasa Indonesia bagi dokter asing, tidak disebutkan dengan jelas kadar kewajibannya.
Namun disebutkan dalam Pasal 253 bahwa, “Fasilitas Pelayanan Kesehatan pengguna Tenaga Medis spesialis dan subspesialis serta Tenaga Kesehatan tingkat kompetensi tertentu warga negara asing wajib memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bahasa Indonesia bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing”.
Distribusi Dokter Asing Harus Tepat Sasaran
Selain masalah bahasa, persoalan lain yang harus dipikirkan pemerintah adalah pendistribusian dokter asing guna memenuhi kelangkaan tenaga medis dan kesehatan di suatu daerah.
Peneliti Global Health Security Policy Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan pendayagunaan dokter asing seharusnya dapat menutupi maldistribusi dokter spesialis di daerah terpencil Tanah Air. Mereka bisa dialokasikan untuk memenuhi kelangkaan dokter umum maupun dokter spesialis di daerah terpencil, bukan malah menempatkannya di kota-kota besar.
“Jadi dokter asing itu di negara maju, misalkan di Australia contohnya, dia tidak bekerja di kota-kotanya justru di wilayah terpencilnya yang memang kurang diminati dokter negara itu. Hal ini juga membantu penyebaran dokter yang memiliki spesialisasi spesifik yang mungkin belum ada di Indonesia,” ujar Dicky kepada reporter Tirto, Selasa (18/7/2023).
Masalahnya, Dicky berpendapat, apakah pemerintah bisa menjamin hak dan regulasi pada dokter asing ini, terutama jika ditempatkan di wilayah terpencil. Dicky menyatakan bahwa posisi mereka dalam sistem kesehatan nasional harus jelas karena berkaitan dengan hak asasi manusia dan hak pekerja internasional.
Ia juga menyoroti bahwa pemerintah perlu membenahi potensi sentimen antara tenaga kesehatan asing dan tenaga kesehatan dalam negeri. Kerja sama keduanya akan sangat membantu membangun sektor kesehatan di Indonesia. Sebaliknya, jika ada ketidaksetaraan, potensi konflik akan berimbas pada pelayanan kesehatan.
“Kalau dokter asing tidak mendapat penerimaan baik tentu menjadi masalah. Di sisi lain, artinya untuk memberi saran, tentu rekognisi kualifikasi harus jelas. Masalah adaptasi budaya dan bahasa menjadi penting,” tegas Dicky.
Manfaat dan Janji Regulasi Ketat
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Wakil Ketua Komisi IX Emanuel Melkiades Laka Lena menepis isu liberalisasi terkait pendayagunaan tenaga kesehatan dan tenaga medis asing di Indonesia. Ketua Panja RUU Kesehatan itu menilai dokter asing wajib menyesuaikan diri dengan kondisi Indonesia, di antaranya ada penyesuaian bahasa dan kompetensi.
“Namun dibuat lebih cepat, mudah, transparan dan terencana,” kata Melki beberapa waktu lalu.
Selasa, 18 Juli 2023, Melki menegaskan bahwa isu-isu miring soal UU Kesehatan cenderung digaungkan dalam bentuk hoaks. Termasuk isu liberalisasi dan pembahasan UU Kesehatan yang tidak melibatkan partisipasi publik.
“Jangan sampai karena kepentingan pribadi atau kelompok terganggu, kemudian kita membuat seolah-olah [UU Kesehatan] tidak untuk kepentingan banyak orang,” ujar Melki di Jakarta, Senin (17/7/2023).
Melki juga menyatakan UU Kesehatan akan memberikan pemerataan terhadap pelayanan yang berkualitas dan sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang berkualitas di seluruh tanah air.
Di sisi lain, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menepis anggapan bahwa pemerintah dan DPR RI membuka keran selebar-lebarnya bagi tenaga kesehatan dan medis asing melalui UU Kesehatan. Budi mengklaim meski ada dokter asing, mereka tidak bisa seenaknya berpraktik di Indonesia.
“Nomor satu itu ya kalau dibilang dokter asing dibilang mau blas-blasan masuk, enggak. Itu ada proses adaptasinya. Nomor dua dokter asing itu masuk itu kita batasin praktiknya, enggak boleh dia sendiri-sendiri,” kata Budi dalam Forum Medan Merdeka 9 di Kantor Kemenkominfo, Jakarta, Senin (17/7/2023).
Klaim Budi lagi, pendayagunaan dokter asing harus sesuai dengan kebutuhan dan permintaan dari instansi pelayanan kesehatan tertentu. Regulasinya telah diatur ketat dalam UU Kesehatan, katanya.
Budi menilai dengan adanya tambahan dokter asing justru menjadi kesempatan mereka berbagi ilmu kepada tenaga kesehatan dan medis dalam negeri. Ini bisa menjadi kesempatan dokter dalam negeri meningkatkan keilmuan mereka.
“Saya kasih contoh di olahraga deh, kalau kita melarang, misalnya saya juara kecamatan tapi dilarang bertanding dengan orang luar negeri karena takut kita nggak jadi juara, ya dia akan jadi juara kecamatan terus. Kalau dia mau maju ya dia harus berani ambil coach asing, dia bertandingnya di luar kecamatan,” ungkap Budi.
Budi percaya kemampuan dokter dan tenaga kesehatan dalam negeri dapat bersaing dengan dokter asing. Adapun ia menjamin tidak akan ada persaingan dalam sektor pekerjaan, karena kebutuhan dokter spesialis adalah masalah universal di berbagai negara. Hal ini agar dokter dalam negeri tidak khawatir lapak pekerjaan mereka diambil alih oleh dokter asing.
“Makannya, [dibilang] nanti akan ada rebound dokter asing masuk, rebound dari mana? Orang semuanya kurang,” tutur Budi.
Budi juga menegaskan bahwa dokter asing yang praktik tetap dibatasi oleh waktu kerja, yaitu dua tahun masa kerja dengan maksimal perpanjangan satu kali, atau total empat tahun masa kerja.
Adapun terkait pendayagunaan tenaga medis dan kesehatan asing untuk ditempatkan di daerah-daerah terpencil, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri memberi sinyal bahwa rencana tersebut bisa dilakukan. Hal ini sempat disampaikan oleh Juru bicara Kemenkes, Mohammad Syahril.
“Kan ada beberapa daerah yang tidak begitu diminati oleh dokter, nakes, ini saatnya kita semua bekerjasama para dokter mau ke situ. Insentif apa yang diberikan, kalau memang terpaksa tidak ada, kata pak menteri (Budi Gunadi Sadikin) mungkin TKA yang mau ke sana, kenapa tidak?,” ungkap Syahril dalam diskusi daring pekan lalu.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto