tirto.id - Banjir terjadi di sejumlah titik di wilayah Kota Yogyakarta usai hujan deras pada Rabu (11/3/2020) sekitar pukul 14.00 WIB hingga sore. Tak hanya intensitas hujan, masalah tata ruang juga dinilai menjadi salah satu faktor penyebab banjir.
Salah satu titik yang terdampak bajir cukup parah adalah Klitren Lor RW 01, Kecamatan Gondokusuman.
“[Penyebabnya] ada talud yang jebol di Kali Belik, Klitren. Air sungai masuk kampung," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Hari Wahyudi saat dihubungi, Rabu (11/3/2020).
Jebolnya talud, kata dia, disebabkan karena kondisi konstruksinya yang sudah berumur dan sebelumnya tidak terpantau. Akibatnya saat hujan deras dan aliran sungai meningkat, talud jebol hingga air masuk ke perumahan warga.
Berdasarkan data dari laporan BPBD Kota Yogyakarta tinggi genangan air mencapai kurang lebih 100 centimeter. Daerah terdampak banjir meliputi warga RT 2 sebanyak 44 kepala keluarga (KK), RT 3 sebanyak 17 KK, dan RT 4 sebanyak 70 KK.
Selain di Klitren Lor, banjir genangan juga terjadi di sekitar Jatimulyo, Kricak, Tegalrejo. Di sana sedikitnya terdapat lima rumah terdampak banjir genangan karena luapan Sungai Butung, dan tiga rumah terdampak genangan karena selokan meluap.
Banjir juga terjadi di simpang tiga Jalan Kusumanegara dan Jalan IPDA Tut Harsono di sekitar depan kampus UST akibat aliran air gorong-gorong yang meluap.
Kurangnya Ruang Terbuka Hijau
Ahli Tata Ruang Wilayah dan Kota dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Retno Widodo Dwi Pramono kepada Tirto mengatakan banjir atau genangan di perkotaan dapat disebabkan oleh dua hal, yakni karena kiriman dari hulu atau karena curah hujan lokal.
Jika kiriman dari hulu, maka yang terjadi bisa jadi banjir bandang. Kalau karena hujan lokal, kata dia, maka terjadi banjir genangan dan itu menurutnya yang selama ini terjadi di Kota Yogyakarta.
Air genangan itu, kata dia, seharunya dapat dialirkan melalui saluran drainase atau diresapkan ke dalam tanah melalui lahan-lahan resapan. Namun jika masih terjadi genangan, maka dua hal itu bermasalah.
“Jika air meluap dari drainase ke jalan-jalan menjadi genangan berarti drainase tidak mencukupi, atau kondisi drainase tidak bagus sehingga air meluap ke jalan,” kata Retno, Kamis (12/3/2020).
Sedangkan terkait resapan, kata Retno, seharusnya Kota Yogya termasuk kota yang memiliki tanah dengan tingkat resapan yang tinggi. Jika sampai air tidak meresap, tapi malah menggenang dan mengakibatkan banjir, maka kemungkinan terjadi penutupan lahan terbangun.
“Di Kota Yogya rasio antara tanah yang tertutup bangunan dengan yang masih terbuka itu kecil. Jadi sudah banyak yang tertutup bangunan, paving, maupun aspal,” ujar dia.
Beberapa titik di kota dan kabupaten dilaporkan terjadi banjir seperti di kampung klitren Gondokusuman @PemkotJogja info via Mas Endro Sulaksono. pic.twitter.com/JcsViuEAj8
— TRC BPBD DIY (@TRCBPBDDIY) March 11, 2020
Hal itu, kata Retno, dapat menjadi masalah karena air yang turun akan kekurangan tempat resapan, sehingga dapat menggenang dan ketika intensitas hujan tinggi berakibat banjir.
Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada Pasal 29 disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit adalah 30 persen dari luas wilayah kota.
Artinya dengan luas wilayah Kota Yogya 32,5 kilometer persegi, maka sedikitnya diperlukan sekitar 10 kilometer persegi RTH. Akan tetapi, kata Retno, Kota Yogya masih belum dalam memenuhi luasan lahan terbuka hijau.
“[RTH Kota Yogya] pasti belum, sangat belum [terpenuhi]. Baik di Kota Yogya ataupun di Sleman itu belum terpenuhi. Dan itu jadi masalah di banyak perkotaan karena RTH yang 30 persen itu 20 persennya harus disediakan oleh pemerintah,” ujarnya.
Kata Retno 10 persen dari 30 persen luasan RTH itu menjadi tanggung jawab masyarakat ataupun swasta. Namun kata dia belum semua pihak swasta semisal hotel di Yogyakarta menyediakan 10 persen dari luasan lahan hotel untuk RTH.
“Intensitas hujan itu sesuatu yang tidak bisa kita intervensi karena dari Tuhan. Tapi [untuk antisipasi banjir] ya dengan cara membangun kita, menggunakan lahan itu yang paling utama termasuk infrastruktur seperti drainase,” kata dia.
Ruang Terbuka Hijau di Yogya Baru 18 %
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta Suyana mengatakan saat ini Kota Yogya memiliki lahan RTH seluas 18 persen dari total luas wilayah Kota Yogya. Pihaknya menargetkan setiap tahunnya akan ada pertambahan luasan, namun sulit untuk dapat mencapai 30 persen.
“Setiap tahun memang ada penambahan RTH tapi kalau harus 30 persen maka dari 14 kecamatan di Kota Yogya itu 4 kecamatan harus kita beli [untuk jadi RTH].” kata Suyana saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (12/3/2020),
“Itu ideal, tapi tidak mungkin tercapai apa gunanya. Jangan biacara RTH 30 persen itu tidak mungkin dimanapun,” kata dia.
Sejatinya, kata dia, selain pemerintah mengupayakan menyediakan RTH melalui lahan pemerintah, swasta atau masyarakat yang memiliki lahan juga diharusnya untuk memiliki RTH saat membangun rumah atau gedung.
“Yang mau minta izin [mendirikan bangunan] itu harus [menyediakan RTH]. Kalau misalnya lahannya 1.000 meter persegi, maka bangunan yang diperbolehkan hanya 70 persennya,” ujar dia.
Dengan demikian, kata dia, RTH selalu diupayakan untuk ditambah. Dan menurutnya jumlah RTH tidak menjadi satu-satunya masalah penyebab banjir.
“Misalnya Kota Yogya punya 30 persen RTH tapi ada [jadi satu] di kawasan selatan. Ya tetap banjir. Jadi sebaran RTH itu penting, target kita setiap kampung punya RTH,” kata Suyana.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz