Menuju konten utama

Masalah Pilkada Papua: Keamanan hingga Sistem yang Diskriminatif

Sejumlah pasangan calon sudah mendaulat sebagai pemenang versi hasil hitung cepat lembaga survei. Tapi tak demikian dengan Papua.

Masalah Pilkada Papua: Keamanan hingga Sistem yang Diskriminatif
Petugas melipat surat suara pilkada Papua di Kantor KPU Mimika, Papua, Senin (18/6/2018). ANTARA FOTO/Spedy Paereng

tirto.id - Pemilihan Kepala Daerah 2018 sudah digelar di sejumlah daerah. Sejumlah pasangan calon bahkan sudah mendeklarasikan diri sebagai pemenang versi hasil hitung cepat lembaga survei. Kondisi demikian nyatanya tak terjadi di provinsi paling Timur di Indonesia, yakni Papua dan Papua Barat.

Salah satu daerah yang seharusnya ikut serta dalam pilkada serentak adalah Kabupaten Paniai, Papua Barat. Pemilihan di daerah ini belum dilaksanakan lantaran terkendala sengketa calon yang seharusnya bertanding.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku pihak yang bertanggung jawab menggelar pilkada pun, belum bisa memastikan kapan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Paniai, Provinsi Papua Barat, akan diselenggarakan.

Pilkada Paniai awalnya diikuti lima pasangan calon yakni pasangan Meki Nawipa-Oktopianus Gobay, pasangan Hengki Kayame-Yeheskiel Teneuyo, pasangan Naftali Yogi-Marthen Mote, pasangan Yehuda Gobai-Yan Tebai, dan pasangan Yunus Gobai-Markus Boma.

Tiga pasangan calon terakhir kemudian batal ikut pilkada setelah Bawaslu Paniai membatalkan penetapan ketiganya lantaran terindikasi bermasalah dari aspek administrasi dukungan kartu tanda penduduk (KTP), sehingga Panwaslu setempat membatalkan SK penetapan paslon pilkada itu.

Hanya Meki Nawipa-Oktopianus Gobay dan Hengki Kayame-Yeheskiel Teneuyo yang kemudian dinyatakan lolos dan akan memperebutkan 100.843 pemilih dengan 266 TPS. Meski begitu, ada desakan pilkada dilakukan dengan satu calon.

“KPU wajib hukumnya menjalankan putusan Panwas lalu untuk menjalankan dua pasangan calon, tapi rakyatnya menolak,” kata Komisioner KPU Papua Musa Sombuk kepada Tirto, Minggu (1/7/2018).

Selain di Paniai, KPU juga belum menggelar pemilihan gubernur Papua di Kabupaten Nduga. Penyebab penundaan pilkada di kabupaten ini, menurut Pejabat Gubernur Papua Soedarmo seperti dikutip Antara, terjadi karena komisioner KPUD Nduga diberhentikan dan tugasnya diambil alih oleh KPU Papua.

Sejauh ini, Komisioner KPU Ilham Saputra menyebut sejumlah daerah di Nduga sudah menggelar pemilihan, meski begitu dia tak bisa merinci berapa jumlah distrik yang sudah berhasil menyelenggarakan Pilkada. “Saya masih menunggu laporan dari Dapil Papua,” kata Ilham kepada Tirto.

Diwarnai Peristiwa Kekerasan

Papua dan Papua Barat seharusnya menggelar delapan pilkada yakni Pilgub Papua, Pilbup Deiyai, Paniai, Puncak, Mimika, Mamberamo Tengah, Biak Numfor and Jayawijaya. Menjelang pilkada ini, sejumlah insiden mewarnai pelaksanaan pilkada.

Seperti yang terjadi pada Senin 25 Juni 2018. Kala itu, Polri mengklaim pesawat Trigana Air yang mengangkut 18 anggota Brimob dan terbang ke Bandara Kenyam, kabupaten Nduga, Provinsi Papua, ditembaki sekelompok orang saat mendarat. Akibat baku tembak di kabupaten Nduga, Papua, logistik pilkada terhambat untuk disalurkan sehingga penyelenggaraan Pilkada pun terpaksa ditunda.

Insiden serupa diklaim Polri terjadi di Distrik Torere, Obaja Foraro, Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Menurut polisi, penembakan dilakukan terhadap 9 anggota polisi yang membawa logistik pilkada dan hasil pemungutan suara.

Sementara di Kabupaten Paniai, sekelompok masyarakat memaksa KPU menggelar pilkada dengan satu calon yaitu Meki Nawipa-Oktopianus Gobay. Tuntutan itu didasari surat keputusan KPU Kabupaten Paniai yang hanya meloloskan satu pasangan calon bupati/wakil bupati. Setelah berkoordinasi dengan polisi, KPU akhirnya memutuskan untuk menunda pemungutan suara sampai situasi kembali kondusif.

Sistem Diskriminatif

Gangguan keamanan seperti yang diklaim polisi dianggap menjadi hambatan pelaksanaan pilkada. Namun, ada pula masalah pemilu yang sistemik.

Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch Indonesia, menjelaskan salah satu masalah dasar yang selama ini masih terjadi di Papua adalah noken. Penggunaan sistem noken telah disahkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47/81 /PHPU.A/VII/2009.

Penggunaan noken ini diketahui digunakan untuk pilkada di Kabupaten Deiyai, Jayawijaya, Mamberamo Tengah, Mimika, Paniai, serta Puncak. Sistem ini terus dijalankan dan membangun sistem yang oligarki. “Membiarkan sistem noken [itu] membuat suara bisa dimanipulasi,” kata Andreas kepada Tirto.

Tak hanya noken, masalah lain juga turut mewarnai seperti kecurigaan dan pandangan rasial terhadap warga Papua. Situasi semakin pelik karena partai politik, media, dan sistem hukum, diskriminatif terhadap warga Papua.

“Partai-partai terlalu jauh dari Papua. Mereka tak sepenuhnya mengerti aspirasi politik di Papua. Belum lagi kegiatan intel dan informan dari polisi dan militer. Bikin masyarakat sulit menilai mutu jurnalisme di Papua,” kata Andreas.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyebut masalah di Papua terjadi karena pendidikan politik di Papua masih bersifat jangka pendek. Menurutnya, seharusnya ada mekanisme pendidikan politik yang bersifat komprehensif, jangka panjang, dan dilakukan secara terus menerus.

“Jadi tidak bisa ketika datang pilkada, baru kita bicara soal pendidikan pemilih dan penguatan hak politik,” kata Titi.

Ia menyebut perlu ada komitmen dari seluruh elite yang mulai dari partai politik, KPU, dan pemerintah untuk mewujudkan Pilkada Papua yang kondusif. Selain itu Titi menyebut harus ada peningkatan dialog antar-kelompok kepentingan

“Ini enggak bisa dibebankan hanya pada KPU, ini memerlukan peran negara juga untuk hadir, bagaimana kemudian pemerintah pusat, pemerintah daerah elemen pemangku kepentingan yang ada berkontribusi mewujudkan itu,” katanya.

Baca juga artikel terkait PILKADA PAPUA 2018 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Mufti Sholih