tirto.id - "Itu kan salah paham. Yang saya maksud buta itu bukan buta mata, bukan budek telinga, tapi buta hati. Matanya enggak buta, jadi enggak ada hubungannya dengan fisik."
"Memang kata Alquran bisu, budek, buta. Apa mereka tersinggung dengan ungkapan Alquran? Enggak, kan? Sebab yang dimaksud itu bukan fisik, tapi hatinya. Jadi enggak ada kaitannya dengan buta fisik, budek fisik."
Demikian klarifikasi calon wakil presiden nomor urut 01 Ma'ruf Amin, Selasa (13/11) kemarin. Pernyataan tersebut keluar setelah ia dituntut kelompok bernama Forum Tunanetra Menggugat.
Sabtu (10/11) kemarin, ketika meresmikan rumah relawan Barisan Nusantara (Barnus), pria yang lahir ketika Jepang menjajah Indonesia (1943) ini menyebut pengkritik Joko Widodo sebagai "budek" dan "buta" karena mengingkari pencapaian pemerintah selama empat tahun terakhir.
Begini kata Ma'ruf ketika itu: "Orang yang sehat dapat melihat jelas prestasi yang ditorehkan Pak Jokowi, kecuali orang yang budek saja enggak mau mendengar informasi dan orang yang buta saja yang enggak bisa melihat kenyataan."
Sebelum "buta" dan "budek", Ketua Majelis Ulama Indonesia ini juga sempat menyampaikan pernyataan kontroversial ketika bicara soal target kemenangan di Jawa pada Pemilu 2019, Senin (12/11) lalu. Saat itu, Ma'ruf mengatakan "kalau enggak milih orang Banten, jangan mengaku orang Banten."
Bermasalah
Dosen Komunikasi Politik dari Universitas Airlangga Suko Widodo menganggap Ma'ruf ingin mencari simpati dengan menggunakan diksi yang kerap bermasalah. Dalam konteks orang Banten misalnya, Ma'ruf dianggap hendak membangkitkan sisi emosional masyarakat di daerah itu.
Ada kemungkinan Ma'ruf hendak membangun sentimen identitas lewat pernyataannya tentang orang Banten, tambah Suko.
"Nah dalam konteks ke-Indonesiaan, seharusnya memang presiden dan wakil presiden rasional karena dia pemimpin. Jadi bukan [menyampaikan] bahasa-bahasa yang emosional. Kalau memang bahasa yang emosional tetapi harus indah [penyampaiannya]," kata Suko kepada reporter Tirto, Rabu (14/11/2018).
Meski begitu, Suko menilai pernyataan soal "orang Banten" masih bisa dimaklumi. Ini berbeda dengan pernyataan soal orang "budek dan buta."
"Kalau itu [budek dan buta] enggak boleh. Beda itu. Menyebut budek dan buta mengandung diskriminasi. Ada hal yang tidak mungkin soal etika komunikasi. Etika komunikasi politik itu harus ada karena publik itu terdiri dari beragam orang. Jangan sampai menyinggung perasaan orang lain," jelas Suko.
Kandidat presiden-wakil presiden harusnya berkomunikasi dengan pantas. Dan apa yang dikatakan Ma'ruf jelas tidak masuk dalam kategori itu.
"Audience kita beragam. Jadi harus hati-hati. Jangan hanya ingin mencari substansi terus mengeluarkan kata yang tidak elok," katanya.
Kritik juga disampaikan Direktur Politik PKS Pipin Sopian. Politikus asal Jawa Barat itu menganggap pemimpin perlu memberi contoh yang baik.
"Sebagai seorang pemimpin kita harus memberikan contoh keteladanan yang baik sebagaimana Rasulullah memberikan keteladanan dalam memberikan pesan," kata Pipin kepada reporter Tirto.
Pembelaan Tim Kampanye
Sekretaris Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Hasto Kristiyanto menganggap pernyataan Ma'ruf tidak perlu dipermasalahkan. Menurut Hasto, apa yang dikatakan Ma'ruf sebatas kritik terhadap oposisi.
Lebih dari itu, Hasto juga menuduh pernyataan Ma'ruf dimanfaatkan oknum tertentu. Ia menyebut ini sebagai "politisasi kaum difabel."
"Kami sangat menyayangkan adanya politisasi terhadap kaum difabel," kata Hasto di Posko Cemara, Jakarta.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino